Pagi itu Ana dan pembantu rumah Zidan sedang menyiapkan sarapan untuk pria yang kini jadi suaminya juga kedua adik yang harus pergi menimba ilmu.
Beberapa menu masakan sudah tersaji di meja makan, meski Ana tidak terlalu biasa dengan dapur, tapi karena kini dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab, membuatnya sebisa mungkin untuk belajar.
“Pagi, Kak!” sapa Alisya yang langsung duduk di kursi meja makan, gadis itu sudah memakai seragam SMA.
Mikaila juga langsung duduk di sebelah Alisya, tapi gadis itu masih tidak mau bicara atau sekedar berbasa-basi menyapa dengan istri kakaknya.
Zidan yang baru sampai di ruang makan langsung menghampiri Ana yang sibuk menata piring dan alat makan. Tanpa Ana sadari, Zidan langsung mengecup sisi wajah Ana membuat wanita itu terkesiap dan menatap Zidan.
“Pagi, sayang!” sapanya dan langsung duduk di kursi.
Alisya terlihat senyum-senyum sendiri melihat kakaknya begitu manis memperlakukan Ana, sedangkan Mikaila tampak menatap sinis karena merasa tidak senang.
Mikaila merasa jika posisi dirinya di rumah sebagai putri nomor satu akan tergeser oleh kehadiran Ana, gadis itu merasa Ana lebih cantik, berperilaku baik, dan manis darinya. Mikaila memang selama ini selalu dimanja oleh sang ayah, karena itu kehadiran Ana membuatnya iri sebab Zidan mulai sangat perhatian pada Ana.
“Siapa yang masak? Kenapa nggak enak?!” Mikaila menaruh sendok ke atas meja sedikit kasar, membuat semua yang ada di meja makan terkejut.
Alisya mencoba mencicipi makanan yang dikata tidak enak oleh Mikaila, gadis itu malah merasa jika makanan itu sangat lezat.
“Ini enak, kenapa kak Mikaila bilang nggak enak?” tanya Alisya bingung.
Ana merasa bersalah karena adik suaminya tidak menyukai masakan darinya.
“Saya yang masak, jika tidak suka biar saya buatkan yang lain.” Ana bangkit dari tempat duduknya.
Namun, niat baik Ana ditolak mentah-mentah oleh Mikaila, gadis itu melempar serbet ke atas meja kemudian langsung berdiri.
“Nggak perlu! Mau dibuatkan yang lain pun akan tetap sama, hambar!” cibir Mikaila menatap sinis pada Ana.
“Mikaila, kamu bisa nggak sedikit sopan dengan Ana, bagaimanapun dia kakakmu sekarang,” ucap Zidan masih dengan nada lembut memberi pengertian.
Mikaila semakin membenci Ana karena kini kakaknya juga membela wanita itu. Mikaila mengambil tas dan menyematkan di pundak, ia langsung pergi meninggalkan ruang makan untuk pergi ke kampus.
Ana menghela napas kasar, ia tidak mengerti kenapa sikap adik pertama Zidan begitu sangat memperlihatkan jika tidak menyukai dirinya.
“Abaikan dia, kamu duduk lagi. Ayo makan!” ajak Zidan.
Ana hanya mengangguk, ia akhirnya kembali sarapan bersama Zidan dan Alisya.
_
_
_
“Aku berangkat ke kantor dulu,” pamit Zidan seraya mengulurkan tangan kanan ke arah Ana.
Ana bingung, ia menatap punggung tangan Zidan kemudian menatap wajah pria itu.
“Kamu nggak cium tanganku, aku pamit kerja, lho!” Zidan mengingatkan.
Sebelumnya Zidan tidak pernah berpamitan pada Ana dengan cara seperti itu, tapi setelah kejadian sore itu, membuat Zidan merasa untuk memperlihatkan jika mereka sepasang suami istri yang harmonis.
Ana baru tersadar, ia ingat jika Shima juga mencium punggung tangan Aditya ketika kakaknya itu hendak berangkat bekerja.
Ana meraih tangan Zidan, ia lantas mengecup punggung tangan suaminya. Zidan pun tersenyum, ia lantas balik mengecup kening Ana kemudian bersiap berangkat bekerja sekalian mengantar Alisya.
“Aku juga pamit, Kak!” Alisya langsung meraih tangan Ana dan mengecup punggung tangan kakak iparnya.
Ana hanya mengulas senyum, ia berdiri termangu menatap mobil Zidan yang meninggalkan garasi rumah itu.
Selepas Zidan pergi, Ana melakukan kegiatan layaknya seorang ibu rumah tangga, ia membereskan meja makan hingga mencuci peralatan.
“Mbak Ana, biar saya saja,” ucap pembantu Zidan ingin mengambil alih apa yang sedang dikerjakan Ana.
“Nggak apa-apa kok, Bi! Lagian mau ngapain, ayah juga sedang istirahat.” Ana memajang senyum dengan tangan yang masih terus mengusap piring dan peralatan lain.
Pembantu Zidan menghela napas, ia akhirnya membiarkan Ana mengerjakan pekerjaan itu.
Sebenarnya Ana hanya mencari kesibukan agar dirinya tidak jenuh dan kembali mengingat Arga. Dirinya yang tidak diperbolehkan bekerja membuat Ana memiliki banyak waktu luang, dan itu artinya ia akan lebih banyak memiliki ruang untuk terus mengingat mantan kekasih.
Saat siang hari, Ana menyiapkan makanan cair untuk ayah Zidan, sekarang Analah yang mengurus segala kebutuhan asupan gizi ayah Zidan.
“Yah, makan dulu.”
Ana membangunkan ayah Zidan kemudian membantu pria itu setengah duduk agar bisa mudah saat menyuapi ayah Zidan.
Ayah Zidan menatap Ana yang begitu perhatian, tidak menyangka jika putranya bisa memilih seorang gadis baik seperti Ana.
Ana menyuapi ayah Zidan dengan begitu telaten. Sesekali ia harus mengusap sisa makanan yang mengalir ke luar dari mulut dengan tissue.
Ana tiba-tiba teringat tentang orangtuanya, jika mereka sakit dan tidak bisa bangun seperti ayah Zidan, apa dia masih sanggup merawat kedua orangtuanya, mengingat jika perlakuan kedua orangtua Ana yang tidak pernah adil padanya.
Ayah Zidan menggerakkan tangannya, ia menyentuh tangan Ana yang sedang memegang sendok. Pria itu seperti bisa melihat kesedihan di mata Ana.
“Apa Yah? Ayah mau minta sesuatu?” tanya Ana yang memang tidak mengerti maksud dan keinginan ayah Zidan.
Ayah Zidan terlihat mengerakkan bibir, tapi tetap saja Ana tidak mengerti. Ana akhirnya hanya mengulas senyum, ia tidak mungkin memaksa pria itu bicara lebih jelas mengingat kondisi Ayah Zidan yang sudah lebih dari setengah tubuhnya tidak bisa digerakkan.
Ayah Zidan berkata, “Jangan bersedih, apapun masalahnya hadapi dengan senyuman. Zidan anak baik, dia tidak mungkin menyia-nyiakan dirimu.”
_
_
_
Hari-hari Ana kini terasa membosankan, setiap hari ia hanya mengurus ayah mertuanya kalau tidak mengurus rumah, sungguh membuatnya begitu jenuh.
Sore itu Ana terlihat sedang merapikan kamar, hingga Zidan pulang dan langsung menghampiri istrinya. Pria itu langsung mengecup kening Ana, membuat wanita itu terkejut.
“Bagaimana kabar ayah?” tanya Zidan seraya melepas dasi.
Ana terkejut, ia lantas menjawab, “Ayah baik, kondisinya juga stabil.”
Zidan hanya mengangguk, ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ana menatap punggung Zidan yang menghilang dari balik pintu, entah kenapa hatinya merasa aneh dengan sikap Zidan.
“Kenapa aku merasa ingin dia juga menanyakan kabarku? Saat dia diam dan tidak bertanya, hati ini merasa kalut,” gumam Ana seraya mencengkeram pakaian bagian dada.
Zidan memang pribadi yang baik dan hangat, hanya saja semenjak mereka menikah hingga sekarang, Zidan tidak pernah menanyakan bagaimana keadaan Ana atau sekedar menanyakan apakah Ana betah tinggal di rumah itu, apa yang diinginkannya atau sekedar berbasa-basi bertanya apa cita-cita Ana, membuat wanita itu merasa terabaikan.
Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat A
Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.Selama Ana mandi, Zidan tampak
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.
Zidan kembali ke rumah saat sore hari. Tidak mendapati Ana di lantai satu, Ia menebak jika istrinya berada di kamar.“Apa Ana di kamarnya, Bi?” tanya Zidan pada pembantu rumahnya.“Iya, tapi itu Mas, tadi sepulang belanja mbak Ana kelihatan marah, dia kasih barang belanjaan terus langsung ke kamar,” jawab pembantu Zidan.“Marah?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.“Oh, terima kasih Bi!”Zidan langsung naik menuju kamar, untuk melihat keadaan Ana apakah sesuai dengan apa yang dikatakan pembantunya.Zidan mendapati Ana berbaring dengan posisi miring, wanita itu tampak memeluk guling dan memunggungi pintu. Zidan pun berjalan mendekat, ia lantas duduk di tepian ranjang tepat di hadapan Ana.Mengetahui jika itu Zidan, Ana memutar tubuhnya, ia kini menghadap ke arah pintu.“An, ada apa? Ada masalah?” tanya Zidan dengan nada suara lemah lembut.
“Bagus sekali!”Suara pujian dan tepuk tangan dari tim yang mengurus rekaman Band Arga terdengar menggema di ruangan khusus itu, mereka merasa senang karena rekaman band Arga sangat lancar serta tidak memakan banyak waktu karena Arga dan band-nya sangat profesional. Album pertama mereka sudah dirilis dan terjual hampir jutaan copy dalam sebulan.Arga dan teman-temannya merasa bahagia karena mereka akhirnya bisa melangkah sejauh ini, perjuangan mereka selama bertahun-tahun tidaklah terbuang sia-sia.“Ayo kita rayakan!” ajak Lanie.“Mungkin aku akan istirahat dulu,” tolak Arga halus.“Iya, kami sedikit lelah. Kita rayakan esok saja!” timpal salah satu teman Arga yang sudah terlihat menguap.Salah satu dari mereka juga terlihat mengusap tengkuk dan lengan mereka.Lanie menghela napas pelan, kemudian ia mengulas senyum dan mencoba mengerti kondisi band yang bernaung pad
Sesaat sebelumnya, Zidan sedang bekerja tapi pikirannya tidak bisa fokus karena masalahnya dengan Ana. Ia merasa butuh menjelaskan kesalah pahaman antara dirinya dengan Ana agar tidak berlarut-larut yang mengakibatkan renggangnya hubungan mereka, atau sebenarnya agar tidak memperburuk hubungan mereka yang sudah tidak harmonis.Ponsel Zidan yang berada di atas meja berderit, membuyarkan lamunannya tentang Ana. Zidan menengok dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.“Rumah?” Zidan mengernyitkan dahi.“Halo.” Zidan menjawab panggilan itu.Pria itu tampak panik ketika mendengar pembantu rumahnya bicara, ia lantas menjawab ‘oke’ lalu segera memutus panggilan itu dan berdiri kemudia bergegas meninggalkan kantornya.Pembantu Zidan menghubungi majikannya itu sesaat setelah Ana keluar, ia tahu jika mantan kekasih majikanya begitu keras kepala dan nekat, karena itu ia segera menghubungi Zidan agar segera p
Malam itu Lanie mengajak Arga keluar, awalnya pemuda itu menolak karena ia takut jika ada penggemarnya yang melihat meski dirinya sudah memakai masker.“Lan, kenapa mengajakku ke tempat umum?” tanya Arga seraya mengamati sekeliling karena takut jika ada yang melihat mereka.Lanie tersenyum, ia tahu kekhawatiran Arga. Sebagai wajah baru idol di dunia hiburan, pastinya akan banyak fans juga hatters yang mengintai dirinya, karena itu pemuda itu terlihat cemas jika diajak ke tempat umum.“Tenang saja, aku sudah mengamankan sekeliling. Bahkan aku meminta pemilik resto untuk menutup sementara agar kita bisa makan dengan tenang,” jawab Lanie santai.“Begitu ya!” Arga memastikan.Ia kembali mengedarkan pandangan, Arga memang tidak melihat satu pengunjung pun yang masuk ke restoran itu. Hingga akhirnya Arga berani melepas masker yang ia kenakan.Lanie sudah memesan beberapa menu makanan untu