Revan, mengakui semuanya, dalam hatinya, dia ingin Venca menerima apa adanya.
Namun, sepertinya, gadis itu terlanjur kecewa, Rei berbohong. Andai saja dia mau terus terang, mungkin bapak Caca mau mempertimbangkan menerima pemuda itu. Rei, menunduk, serba salah, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Lantas saja, dia melanjutkan apa yang tadi dijelaskan. “Saat ini, saya sedang merintis usaha sendiri di Bandung, bidang kontraktor. Dan, Alhamdulillah, sedang berkembang,” katanya lagi. Bapak Hadipranoto—ayah Venca masih menatap Rei dengan tajam. Tangannya bersedekap, dia menunggu semua penjelasan dari Revan, satu hal yang ada dalam pikirannya: tidak boleh Venca berjodoh dengan orang selain dari daerah asal bapaknya. Tidak boleh, bisa jadi aib untuknya. Hening sejenak, tegang dan juga diwarnai dengan kecanggungan. “Revan, apa kamu asli orang Bandung?” Suaranya sedikit rendah sekarang. “Iya, Pak, ambu dan ayah asli sana, tetaRani hanya teringat tadi ketika Tara hanya menghubungi lewat sambungan telepon. Tetapi mampu membuat perempuan itu ketakutan. Tepat, sebelum dia pulang dari kantor.Tara juga ketakutan atas ancaman papanya. Lantas saja dia menekan pacarnya. Entah, semuanya begitu gelap, terus terang, lelaki itu juga memikirkan tanpa fasilitas papa, dia bisa apa?“Bagaimana, Ran, kamu sudah periksa lagi, soal telat datang bulan kamu?”“Belum,” jawabnya singkat. Dia tahu persis, akhir-akhir ini Tara berubahm bukan seperti cowok yang Rani kenal dahulu.“Kenapa belum?”“Aku belum sempat, lagi pula, rasanya semua itu enggak mungkin.”“Jangan main-main, Ran, ini masalah yang serius.”“Aku enggak main-main, Tar,” air mata Rani hampir berlinang. Dadanya seringkali sesak ketika dia harus berbicara dengan lelaki ini. Perempuan itu menghela napas. “Lagi pula, kalau memang kamu mau, aku bersedia pergi, agar kamu berbahagia dengan adikku.”Tara menggera
Satu hal yang tidak Venca mengerti tentang omongan ibu tentang cinta. Bagaimana mungkin bisa menjalani segala sesuatu dengan penuh rasa ikhlas, ada rasa saja tidak.Acara pertungan dan lamaran malam ini, harusnya, Venca bahagia. Atau Tara yang harusnya senang, paling tidak, mama tadi berkata. “Disodorin perempuan cantik dan perawan harusnya ya, seneng.”Namun, hal itu tidak berlalu untuk lelaki itu.Acara itu berlangsung khidmat dan juga lancar. Para orang tua yang bahagia ketika anak-anak mereka bertukar cincin.Ketika juru foto mengabadikan, pasangan itu hanya memasang wajah masam dan tegang.Ibu yang selalu membisikkan kata-kata sepanjang acara ditelinga Venca.“Senyum sedikit, Nduk,” katanya.Venca menanggapi dengan biasa. Tidak mampu tersenyum, sulit rasanya. Dadanya kalau bisa diganti sementara, dia ingin mengganti dengan apa pun di dunia ini ya g bisa membuatnya bisa bernapas leluasa.Tiada kata, dari Venca dan Tara,
Sekilas, Ayah tersenyum, mendengar Revan yang curhat, dan menunduk pada akhirnya."Revan, apa rencana kamu selanjutnya? Paling tidak, soal jodoh?"Revan mengangkat kepala, menatap Ayah yang makin hari kian bertambah usianya. Rambutnya makin putih, lalu, masalah kesehatannya. Revan bingung harus jawab apa. Enggak adil rasanya kalau memang harus membebani pikiran Ayah."Ini Ayah, Revan, apa pun yang kamu rasa, coba, bicarakan ke Ayah." Kali ini lelaki itu berwajah serius. Tampaknya apa pun soal anak, dia selalu menganggap itu serius.Revan menarik napas dan memejam. "Wajar kalo Revan masih menginginkan Venca?"Ayah tersenyum. "Apakah gadis itu juga masih menginginkan kamu?"Revan mengendikkan bahu, berpaling dari tatapan ayah."Yakin saja, Rei," ujar ayah. Revan menatap ayah lagi, lelaki setengah baya itu mengangkat alisnya, dan bergumam. "Hm?""Apa iya, dia mau menerima Revan lagi, setelah dibohongi?""Ayah, enggak
[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Ya, Gibran hanya menyuarakan apa yang dia lihat beberapa minggu ini di depan matanya. Kenyataannya Revan galau.Beberapa kali dia pergoki ada perempuan mencari Revan via telepon kantor. Diterima sambungan itu di ruangan rapat waktu itu, tetapi sikap sahabatnya itu biasa saja.Padahal, Gibran bisa pastikan, suara di seberang sana sangat ramah dan juga menggoda.Revan, hanya menerima begitu saja ponsel yang baru saja dipakan Gibran. Tanpa bertanya apa isinya, dan juga dia tidak melihat kotak keluar. Langsung memasukkan alat komunikasi itu ke dalam kantong jasnya.***[Hai, Ca, apa kabar? Kangen!]Venca, siang itu sedang fitting pakaian pengantin untuk minggu depan.Ya, pernikahan akan dilaksanakan minggu depan. Dan ini dipercepat, Caca dan Tara hanya menerima saja. Enggan komentar atau menyambut dengan senyuman."Karena itu sangat melelahkan," begitu pikir Caca.Dia ha
Venca hanya menunggu, menatap atasannya itu. Apa mungkin, Ibu Regina akan menyuruhnya pindah ke ruangan horor? Jantung gadis itu hampir saja mencelus, jawaban dari manajer SDM itu lama sekali.“Nanti, kamu akan pindah tugas, ya.”“M—maksudnya, Bu?”“Kamu akan jadi sekretaris dirut,” jawab Bu Regina pendek. Dia lantas saja masuk ke dalam ruangannya yang—tidak terlalu lebar.Venca melemaskan bahu. Sedikit lega di hati, walau tanggung jawab pekerjaannya semakin berat. Tidak masalah bukan? Dia meyakinkan dalam hati.“Jadi elo bakalan jadi sekretaris dirut?” tanya Silvi, teman satu ruangan Venca. Kepalanya nongol di meja kubikal.“Yup, mungkin mulai bulan depan.”“Ho, katanya dia cowok dingin, galak. Lo tahu kan, Mba Bunga yang anaknya Bapak Reno itu, masa dicuekin sama dia.”“Dia masih sendiri?” Caca mengalihkan pandangan ke wajah Silvi. “Ya iyalah, menurut lo? Kan gue bilang cowok.”“Ap
Rani, menangis sambil menggigil ketakutan. Dia bingung harus ke mana? Air mata masih deras mengalir, kosong sungguh hatinya, memeluk tas slempang yang dia bawa.Rintik hujan mengisi Jakarta pagi menjelang siang itu.Sementara, Venca masih sibuk memutar setir. Sama bingungnya dengan kakak—tiri yang barusan Ibu lantang katakan.Sesekali, adiknya menoleh ke Mbaknya yang masih sesengukan. Tak kalah memang hatinya pun sakit mendengar Ibu mengusir Mbaknya tadi. Apa lantaran hamil? Mengapa semua kehormatan keluarga itu penting sekali untuk Ibu dan Bapaknya."Kita—makan dulu aja, Mbak, gimana? Caca lapar."Rani mengangguk pasrah. Tidak bohong memang dirinya pun kelaparan, memang beberapa minggu ini selalu kelaparan begini. Dia baru tahu tadi pagi kalau dirinya berbadan dua, mungkin karena ini yang membuatnya selalu kelaparan.Caca memutar setir, berhenti di pelataran parkir restoran makanan khas Korea."Lo kan enggak suka makan di s
Rani menegakkan badan, dia juga takut dan mengatisipasi pertanyaan Caca.Jantungnya berdebar tak karuan kali ini, dia benar-benar takut kepada siapa pun dan terhadap apa pun.“Mau tanya apa, Ca?” tanya Rani takut-takut, suaranya hampir menghilang.Dalam hati Caca pun tahu, dia akan bersikap selalu hati-hati kepada kakaknya ini. Sesame perempuan, adiknya ini mengerti luka hati kakaknya terlalu banyak.“Kita kan selalu jujur, dalam hal apa pun, 'kan?”Rani ragu menjawab. "Iya." Suaranya hampir tidak terdengar."Pacar lo siapa, Mbak?"Rani sudah menduga, Venca akan menanyakan hal itu. Namun, sekali lagi, dia menggeleng. "Mbak masih belum mau membicarakan itu, Ca."Caca menarik napas, dia mencoba paham akan situasi ini.“Enggak apa-apa, Mba.” Dalam hati, adiknya itu masih menerka-nerka, siapa? Kalau saja dia pernah melihat, ada satu atau dua prang yang pernah berjumpa dengan Caca. Lantas membuan
"Nduk, kamu hari ini jadi istri orang, paling ndak, senyum," pinta Ibu, dia berdiri di belakang Venca yang sedang dirias pagi itu menjelang akad.Sungguh berat apa yang akan dijalani Venca. Dalam hati terus menangis semalaman, atau seminggu ini.Sesekali dalam tangisnya, jemari lentik menari di atas tuts ponsel. Mengirim pesan untuk Rei. Terakhir tadi sebelum dirias.[Rei, hari ini, Venca menikah. Walau Caca kecewa sepenuhnya kepadamu. Tetapi, Caca tetap berharap hari ini ada badai besar, atau kamu datang membatalkan acara akad ini, Rei. Bisakah kita masih saling bertegur sapa atau setidaknya menjadi teman yang baik walau Caca menjadi istri orang.]Kata-kata 'senyum' berulang-ulang terdengar ditelinga. Gadis itu memaksakan seulas senyuman, ketika tim perias selesai dengan wajahnya."Lho, ya, begitu, tho, anak Ibu, makin cantik," ujar Ibu.Caca tentu saja tidak peduli. Mungkin ini salah satu takdirnya yang sangat sial.