Bunyi mesin Scoopy berderu.
Elisa mengendarai Scoopy hitamnya dengan helm berwarna biru kesayangannya, mengenakan seragam putih abu-abu dan jaket denim berwarna biru. Sudah pasti ia akan berangkat ke sekolah pagi itu. Ia melewati jalanan dekat area tempat tinggalnya, sebuah kompleks pertokoan di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pagi hari biasanya banyak pedagang jajanan di pinggir jalan yang menjajakan dagangannya untuk sarapan atau bekal.
"Pagi, Pak Yanto!" Elisa menyapa seorang tukang bubur ayam yang mangkal di pinggir jalan dari atas motornya.
"Eh, pagi Sa!" Pak Yanto menyahut sambil berteriak.
Kemudian Elisa melewati seorang ibu penjual jajanan basah, tidak jauh dari tempat Pak Yanto mangkal.
"Pagi, Bu Sumi!" Elisa menyapa Bu Sumi sambil melambai kecil ke arahnya.
"Pagi, Dek!" Bu Sumi menyahutinya sambil tersenyum.
Elisa pun melanjutkan perjalanannya ke sekolah, keluar dari daerah tempat tinggalnya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pengemudi ojek dengan seragamnya yang berwarna hijau.
"Pak Dwi!" Elisa tiba-tiba menyapanya.
"Oi, Sa!" Pak Dwi menyahut dengan sedikit kaget karena sapaan Elisa yang tiba-tiba.
Ya, seperti yang bisa kalian tangkap, Elisa adalah seorang gadis yang periang dan ramah. Semua orang yang dikenalnya pasti disapanya dengan wajah sumringah meskipun di pinggir atau tengah jalan sekalipun. Orang-orang di sekitar tempat tinggal Elisa juga sudah sangat mengenal Elisa, anak Pak Dahlan, penjual soto yang cukup terkenal di daerah sana.
Elisa terus melajukan motornya sampai berhenti di sebuah lampu merah. Ia tidak suka melanggar peraturan sekecil apapun itu. Perfeksionis. Namun tiba-tiba mesin motornya mati! Ia mencoba memencet tombol gas dan menghidupkannya kembali tapi tidak bisa.
"Ayo dong, Scooby-doo," gumam Elisa dengan resah. Scooby-doo adalah nama pemberian Elisa untuk motor Scoopy kesayangannya itu. Namun meskipun telah dicoba, Scooby-doo tak kunjung menyala. Maklum, usianya sudah sekitar 5 tahun, mungkin sudah waktunya pensiun.
Elisa melihat jam tangannya. Jam 6.30. Tiga puluh menit lagi sampai bel sekolahnya berbunyi.
Lampu merah pun berubah menjadi kuning dan kemudian hijau. Elisa mendorong motornya ke tepi jalan. Ia menurunkan penyangga motornya lalu mencoba mengayuh starter kaki, berharap motornya bisa menyala.
Nihil! Tidak ada hasil.
Ia pun menoleh ke kanan dan ke kiri mencari bengkel, tapi tidak ada satu bengkel pun dalam jangkauan pandangannya. Lagipula masih terlalu pagi, pasti tidak ada bengkel yang buka. Akhirnya ia berinisiatif menelepon ayahnya karena sudah tidak ada jalan lain. Setelah beberapa detik terhubung, ayahnya pun mengangkat teleponnya.
"Yah, motornya mogok," kata Elisa sambil cemberut. "Ayah ke sini bisa ya?"
"Kamu di mana, Nak?" tanya ayahnya cemas.
“Di deket lampu merah Jalan Pattimura, Yah.” Elisa menjawab.
"Ya udah, tunggu di situ dulu ya kira-kira 5 menitan. Ini Ayah ke sana sama Mas Qodir," kata ayahnya.
"Iya cepetan ya, Yah," rengek Elisa.
Sekitar 5 menit berlalu. Ayahnya pun datang berboncengan dengan Mas Qodir, tetangga belakang rumah yang juga merupakan pegawai ayahnya. Ayahnya turun dari motor dan menghampiri Elisa yang berdiri di samping motornya.
"Sini, Ayah bawa ke bengkel. Tapi terus kamu gimana? Naik angkot nggak apa-apa ya?" tanya ayahnya sambil memegang setir motor itu.
"Iya Yah, nggak apa-apa. Elisa keburu-buru nih, Yah. Elisa langsung berangkat ya." Elisa pamit mencium tangan ayahnya. Ia segera berlari mencari angkot dan menghentikannya, lalu naik ke atas angkot itu. Angkot itu, seperti selayaknya sebuah angkot, berhenti beberapa kali untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Elisa melihat jam tangannya lagi. Pukul 6.47. Ia pun mulai gelisah. Diperlukan waktu kira-kira 10 menit sampai ke sekolahnya.
Akhirnya setelah duduk di dalam angkot dengan hati gelisah, pukul 6.58 ia pun sampai di depan sekolahnya. Sialnya, ia tidak bisa turun langsung di depan gerbang sekolah. Masih ada jalan yang harus dilewati kira-kira sepanjang 200 meter.
Ia pun turun dari angkot, tak lupa membayarnya, lalu berlari sambil menggendong tasnya yang berwarna merah muda. Ia berlari sekuat tenaga mengejar waktu.
Enggak boleh telat! Enggak boleh telat! Elisa membatin.
Elisa adalah siswa teladan. Ia tidak pernah telat sekalipun semasa hidupnya. Ia tidak mau mengisi buku tata tertibnya dengan sekecil apapun pelanggaran sekolah, tidak boleh ada tinta merah, semuanya harus tinta biru atau hitam.
Tinggal 30 meter lagi sampai gerbang sekolah. Ia melihat petugas gerbang sudah berdiri di samping gerbang menunggu bel masuk! Jantungnya semakin berdegub dan adrenalinnya terpacu.
Dan... yang ditakutkannya pun terjadi. Bel masuk berbunyi! Tinggal selangkah lagi, dan untungnya Elisa berhasil menerobos masuk gerbang yang hampir tertutup itu.
Di dalam gedung sekolah, dlihatnya guru Matematika yang akan mengajar di jam pelajaran pertamanya hari itu, keluar dari ruang guru. Ia pun segera berlari menuju kelas berharap sampai duluan sebelum Bu Yustin, guru Matematikanya itu, sampai ke kelas.
Setelah berlari mengejar waktu, akhirnya ia pun sampai di kelas dan langsung duduk di kursinya. Napasnya masih terengah-engah. Lili, sahabatnya sekaligus teman sebangkunya, melihatnya dengan heran.
"Eh, aku pikir kamu nggak masuk loh," katanya pada Elisa.
"Scooby-doo mogok, terpaksa naik angkot pas jam udah mepet," jawab Elisa sambil terengah-engah. Tepat setelah ia berhenti berkata, Bu Yustin pun masuk kelas dan pelajaran dimulai.
***
Jam 9.15. Jam istirahat.
Elisa berjalan ke kantin bersama 3 orang sahabatnya, Lili, Agusta dan Meria. Mereka termasuk salah satu grup sahabat perempuan yang populer di angkatan kelas 10.
Elisa terkenal sebagai gadis yang pintar. Ia sering meraih rangking 1 di kelasnya, bahkan rangking paralel satu angkatan. Dari zaman SD pun ia sudah seperti itu. Kabar itu sudah berkembang di kalangan teman-teman seangkatannya.
Ia adalah gadis yang ceria dan ramah. Mungkin Tuhan begitu menyayanginya karena selain diberi otak yang cerdas, ia juga dianugerahi paras yang cantik. Kulitnya putih, matanya lebar dan bersinar, hidungnya kecil dan bibirnya mungil. Pipinya berwarna merah merona meskipun tidak memakai riasan sekalipun. Rambutnya berwarna hitam legam, lurus dan panjang sepinggang. Posturnya tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 160 cm. Tidak heran kalau ia menjadi salah satu idola sekolah.
Sementara tiga sahabatnya yang lain juga tidak kalah menawannya. Lili adalah seorang gadis yang pandai merias diri. Sifatnya yang lembut dan polos membuat siapapun pasti terpesona dengan kharismanya yang bak seorang Putri Keraton. Sedangkan Agusta kebalikannya. Ia memiliki aura girl crush dan berambut pendek, salah satu atlet basket sekolah. Sifatnya terlihat cuek namun sebenarnya ia sangat perhatian kepada teman-temannya. Dan yang terakhir adalah Meria. Ia sangat supel dan lucu. Ia terkenal tidak hanya di angkatannya namun juga di antara para kakak kelas.
Mereka semua menarik dan memiliki sifat masing-masing yang unik. Satu lagi mereka kesamaan mereka, sama-sama mengikuti tim paduan suara sekolah. Di sanalah mereka bertemu dan menjadi dekat, lalu terbentuklah Geng Vocalista ini.
Pagi itu mereka duduk bersama di satu meja sambil menunggu pesanan mie instan mereka jadi. Lili menoleh ke arah kiri ke sekumpulan kakak kelas laki-laki yang duduk di satu meja. Yang ia tahu, beberapa dari mereka adalah anggota tim basket sekolah. Salah satu anggotanya bernama Anton, dan ia saat ini sedang memandang ke arah Agusta.
"Eh, Ta. Lagi diliatin sama Kak Anton tuh," katanya kepada Agusta sambil mengisyaratkan pandangannya mengarah ke Anton.
Agusta melihat ke arah Anton dengan ekspresi wajah datar namun dilihatnya Anton sudah asyik mengobrol dengan teman-temannya lagi. Agusta pun tersenyum dengan datar pula pada Lili.
"Ta, kamu jangan dingin-dingin dong sama cowok. Kayak si Elisa tuh... Dia tetep baik sama semua cowok yang suka sama dia, meskipun ujung-ujungnya ditolak juga semuanya." Mereka semua tertawa mendengar perkataan Meria itu.
“Ah, kamu, Mer. Biang gosip,” canda Elisa mencoba merendah.
"Bukan gosip, orang udah sampe masuk radio sekolah. 'Untuk kamu yang selalu mengganggu pikiranku. Elisa, maukah kamu jadi pacarku?'" Mereka semua pun tertawa mengingat cara cheesy yang dilakukan Bachtiar untuk menyatakan cintanya pada Elisa.
Elisa pun ikut tertawa. Sambil memandang sahabat-sahabatnya itu, ia bersyukur karena memiliki sahabat-sahabat yang baik dan menyayanginya. Teman-teman sekolahnya pun juga memperlakukannya dengan baik. Belum lagi banyak laki-laki yang juga menaruh perhatian padanya. Tapi Elisa berpikir. Apakah semua kebahagian ini bisa bertahan dalam waktu yang lama? Karena ia punya mimpi besar, dan sebuah mimpi pastilah membutuhkan banyak pengorbanan...
Elisa duduk terdiam di depan laptop di dalam kamarnya. Di sebelahnya terdapat sebuah lemari khusus tempat menyimpan semua piala dan sertifikat. Semuanya itu ia dapatkan selain dari predikat sebagai juara kelas, peraih nilai tertinggi, dan lomba-lomba akademik, juga dari bidang non-akademik seperti menyanyi. Ia menatap layar laptopnya yang sudah terlihat lama dan agak butut. Ia sedang memandangi situs sebuah kampus ternama di Inggris, Cambridge University. Dibacanya seluruh program studi yang tersedia dan fasilitas-fasilitas yang ada di sana. Ini bukan kali pertamanya menelusuri website kampus prestisius tersebut. Mungkin sudah ketiga kalinya dalam minggu ini. Ya, memang ia bercita-cita kuliah di kampus tersebut. Inggris dan bahasanya telah memiliki tempat tersendiri di hati Elisa. Cita-citanya untuk bisa kuliah di Inggris bahkan sudah ada semenjak hari pertamanya masuk SMA. Namun ia tahu pasti bahwa cita-citanya tersebut bukanlah cita-cita yang mudah digapai. Itu sem
Kriiiiing!! Tangan Alex meraih telepon seluler di atas meja dekat tempat tidurnya dan mematikan alarmnya. Ia meregangkan badannya di atas kasur besar berukuran king size, masih berselimutkan selimut berwarna krem yang tebal dan lembut. Ia pun bangkit duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Tentu saja tidurnya sangat nyenyak malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bagaimana tidak? Kasurnya sangat besar, empuk dan tebal. Belum lagi bantal dan guling yang semuanya memiliki standar kualitas hotel. Kamarnya sangat luas bisa dibilang seluas lapangan voli, dengan nuansa abu-abu muda. Fasilitas yang lengkap seperti TV berukuran besar, kulkas kecil, AC, home theater, dan water heater pasti membuatnya semakin betah di kamar. Kamarya itu pun memiliki area belajar sendiri dan terdapat beberapa buah sofa empuk untuk bersantai. Ia pun turun dari tempat tidurnya dan segera menuju ke kamar mandi dalam kamarnya, yang pintunya tak jauh dari tempatnya tidur. Serasi d
Alex, Joshua, dan Steven sedang mengikuti pelajaran ketiga mereka pagi itu, Bahasa Jepang. Mereka mengikuti pelajaran dengan serius, seperti selayaknya murid-murid yang lain di sana. SMA Akasia terkenal sebagai SMA yang disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai moral. Mereka bertiga berada di dalam kelas yang sama, kelas 10-A. Pembagian kelas di sana tidak berdasarkan kategori nilai siswa, tetapi selalu diacak setiap kenaikan kelas agar para siswa dapat bersosialisasi dengan siswa-siswa lainnya dalam satu angkatan. Siswa-siswa yang memiliki kelebihan dalam bidang akademik juga diharapkan bisa membantu siswa lain yang masih dirasa kurang. Kriiing! Jam 09.15. Bel istirahat pertama berbunyi. Siswa-siswa pun langsung berhamburan keluar kelas. Di sana ada peraturan, semua siswa harus keluar kelas pada saat jam istirahat agar dapat saling bersosialisasi dengan siswa-siswa dari kelas lainnya dan menggunakan semua fasilitas s
Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Hai," sapa Steven memecah suasana. "Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya. Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. "Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image. "Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu. "Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken. "Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang n
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa berlari menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV di ruang tamu. "Aduh duh duh... jangan lari-lari, udah malem, Sa! Ntar dikira tetangga ada gempa bumi," omel ayahnya dengan menunjukkan ekspresi kaget. "Yah, Yah, tau nggak?" tanya Elisa bersemangat. "Kasih tau dulu dong, baru Ayah bisa tahu," canda ayahnya. "Ih... Ayah, ih!" Elisa menepuk bahu ayahnya melihat kejahilan ayahnya itu, kemudian ia melanjutkan, "Ayah tau Pak Bambang langganan kita kan?" "Iya tau. Kenapa emangnya?" tanya ayahnya santai. "Pak Bambang itu ternyata salah satu orang paling kaya di Indonesia, Yah! " Elisa berbicara sambil membelalakkan matanya. Ayahnya seperti tidak terkejut, ia hanya terdiam sejenak. "Udah tau," jawab ayahnya yang membuat Elisa terkejut. Ekspresi wajah Elisa mendadak berubah menjadi kesal karena merasa dikerjai oleh ayahnya. "Kok Ayah nggak kasih tau Elisa sih?" Elisa mengernyitkan dahinya. "Lah kamu nggak pernah
Hari itu hari libur sekolah setelah selesai ujian, tapi Elisa sedang berdiri di depan cermin mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan riasan tipisnya. Wajahnya terlihat agak tegang dari biasanya. Ia menghela nafas panjang kemudian mengepalkan kedua tangannya menghadap ke atas. "Elisa, kamu pasti bisa!" Ia berseru pada dirinya sendiri memberi semangat, kemudian mengangguk penuh keyakinan. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV pagi itu. "Ayah, Elisa berangkat. Doain Elisa ya," kata Elisa sambil mencium tangan ayahnya. Kemudian ayahnya bangkit berdiri dari kursinya. "Pasti, Nak. Ayah doain yang terbaik buat kamu. Pokoknya kamu harus fokus ngerjain tesnya. Oke?" Ayahnya memberi semangat sambil mengelus kepala Elisa. "Oke, Ayah. Elisa berangkat ya." Elisa tersenyum pada ayahnya lalu berjalan keluar rumah menuju tempat Scooby-doo terparkir. Ayahnya mengantarnya sampai ke depan rumah. Elisa mengenakan helm
"Hai!" Sapa gadis itu, dan memilih tempat duduk di sebelah kanan Elisa. "Hai!" balas Elisa. "Ternyata kamu juga daftar beasiswa di sini. Masih ingat aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Elisa cukup terkejut. Seingat Elisa, gadis itu adalah seseorang dengan kesan yang kuat. Namun ternyata ia ramah juga. "Iya masih, kok," jawab Elisa juga dengan tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan ya waktu itu. Meta," kata gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aura percaya dirinya begitu kuat. "Elisa." Elisa menjabat tangan Meta. "Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi di sini," kata Meta merasa tak percaya. "Katanya cuma ada 3 orang yang bakal lolos program beasiswa ini. Semoga kita berdua termasuk salah satunya ya," harapnya. "Amin, amin...," jawab Elisa. Mereka berdua saling tersenyum. Elisa lega karena ia dan Meta tidak harus saling mengalahkan satu sama lain karena ada tiga orang yang memiliki kesempa