Share

Bab. 7 Tamu tak Terduga

  “Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. 

  “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. 

  Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. 

  “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. 

  “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. 

  “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya Randi menyelidik.

  “Eem … itu—.” Belum sempat Andira melanjutkan perkataannya, sang ayah tiba-tiba menghampiri mereka berdua di ruang tamu. Danu tampak sumringah dengan kedatangan calon menantunya itu. Senyum mengembang di kedua sudut bibirnya. 

  “Eh … ada Nak, Randi. Pagi sekali datangnya, dari mana?” tanyanya pada kekasih anaknya itu. 

  “Tadi ada urusan di luar dan kebetulan lewat, jadi sekalian mampir kesini, Pak. Tapi, sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu,” jawabnya sembari menggamit lalu mencium punggung tangan ayah dari kekasihnya itu.

  “Apa yang ingin kamu bicarakan dengan bapak, Nak?” tanya lelaki paruh baya yang kini telah duduk di sofa tepat depan calon menantunya. 

  “Saya sangat mencintai putri Bapak. Jadi, saya ingin meminta izin untuk meminang Andira. Harap Bapak mau memberikan restu pada kami agar secepatnya saya bisa mengajak orang tua saya kemari untuk melamar Andira,” ungkapnya. 

  “Sebelum saya menjawab. Saya akan bertanya dulu pada Andira. Apa kamu bersedia, Nak?” tanyanya pada sang putri yang dibalas anggukan oleh sang putri. 

  “Tentu saja Dira mau menikah dengan Randi, Yah,” ucapnya malu-malu. Gadis cantik itu menundukkan wajah, dia menjawab pertanyaan sang ayah dengan tersipu. 

  “Baiklah, karena Andira sendiri sudah bersedia. Jadi, bapak hanya bisa memberikan restu dan mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua,” ucapnya dengan binar bahagia tampak di mata pria paruh baya tersebut. Akhirnya apa yang dia harapkan untuk bisa melihat putri kesayangannya menikah, akan segera terwujud. 

  Andira dan Randi saling menatap dan tersenyum bahagia karena keinginan mereka sebentar lagi akan terlaksana. Sekarang hanya tinggal meminta restu pada kedua orang tua Randi.  

  Ibu Asih datang dari dalam dengan membawa minuman, dia ikut duduk bersama mereka. “Silahkan diminum tehnya Nak, Randi,” ucapnya tersenyum ramah. 

  “Terima kasih, Bu.”

  Mereka berbincang hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 pagi. Danu Akhirnya berpamitan untuk pergi ke toko.

  “Yah, Dira ikut. Tadi kan, sudah janji mau bantuin Ayah di toko hari ini,” ucapnya pada sang ayah yang mulai berjalan ke dalam untuk mengambil kunci motor. 

  “Kamu di rumah saja, Dira.  Kan, ada Randi, nanti saja kamu susul bapak ke toko,” tolak Danu halus. Dia tidak mungkin membiarkan sang putri meninggalkan calon menantunya kecewa karena ditinggal. 

  “Tidak apa-apa ,Pak. Saya juga sekalian mau pamit, sebentar lagi mau ada meeting dengan klien. Mari, saya antar sekalian saja, Pak.” Randi berniat memberi tumpangan untuk calon mertuanya tersebut. 

  “Ah … tidak usah repot-repot, Nak. Kalau sekarang bapak kamu antar, nanti saya pakai apa untuk mengirim kain pesanan para pelanggan?” tolak Danu halus. 

  Akhirnya tanpa mengulur waktu lagi Randi berpamitan dan pergi dari rumah sang kekasih. Sementara Andira bersiap-siap untuk ikut sang ayah pergi ke toko. 

  “Yuk, Yah. Dira sudah siap.” Andira berjalan menghampiri sang ayah yang sudah siap di ruang tamu. 

  Pak Danu keluar rumah dengan diikuti sang putri. Dia menaiki motor dan mulai menghidupkanya. Dira naik di jok belakang sebelum ayahnya menginjak pedal gas dan mulai melajukan kendaraan roda dua tersebut menjauhi rumah mereka.

  Akan tetapi, tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedang mengawasi dari dalam sebuah mobil. Di dalam mobil tampak seorang lelaki sedang menghubungi bosnya. 

  [“Tuan, sepertinya kekasih dari Nona Andira sedang merencanakan sesuatu. Dia datang pagi-pagi kerumah Nona Andira,”] ucapnya pada bosnya di seberang panggilan.

  [“Baiklah, kau boleh kembali.”] Sambungan telepon terputus sepihak. 

  Sementara itu, Andira dan ayahnya baru saja sampai di toko kain. Dia membantu ayahnya membersihkan toko dan merapikan kain-kain yang berantakan. Setelah selesai, dia berjalan ke meja kasir untuk melihat pembukuan toko yang ternyata mengalami penurunan. 

  “Yah, Dira keluar dulu, ya. Dira mau mencoba menawarkan kain-kain kita pada butik yang mungkin membutuhkan pemasok bahan.” Andira mencium punggung tangan sang ayah sebelum meninggalkan toko. 

  “Iya, hati-hati di jalan,” ucapnya pada sang putri.

Andira mengangguk menanggapi ucapan sang ayah. Gadis itu mengambil katalog dan tas selempang, dia mulai melangkahkan kaki keluar dari toko. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang lelaki berjas biru tua yang sangat dia kenal berjalan ke arahnya. 

  Gadis itu menggigit bibir bawahnya, untuk apa lelaki itu datang kemari dan dari mana dia tau toko ayahnya berada. Sapaan lelaki itu membuyarkan lamunan Andira. 

  “Andira Atmaja.” 

  Gadis itu membulatkan mata karena terkejut. Bagaimana lelaki itu bisa tau nama lengkapnya? Apakah dia mencari tahu informasi tentang dirinya selama ini? 

  “Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau tau kalau ayahku mempunyai toko di sini?” tanyanya pada lelaki tersebut. 

  “Bukan hal sulit bagiku mengetahui tentangmu juga toko ayahmu” ujar lelaki berkemeja biru tersebut. 

  “Lalu, apa yang kau butuhkan hingga harus datang kemari?” ucap Andira sinis.

  Lelaki berkemeja biru itu menyeringai. “Aku akan membeli semua kain di toko ayahmu,” ucapnya sombong. 

  Gadis itu mengembuskan napas berat mendengar perkataan lelaki di depannya tersebut. Bagaimana bisa dengan entengnya lelaki itu mengatakan akan membeli semua kain di toko ayahnya. Apa lelaki itu hanya ingin pamer? Pikirnya. 

  “Siapa yang datang, Nak?” Pak Danu datang dari dalam toko dan menghampiri sang putri.

  Lelaki paruh baya itu memandang ke arah lelaki yang berdiri di depan putrinya itu. Dia tampak memperhatikan lelaki tersebut dengan seksama karena selama ini dirinya belum pernah melihat lelaki tersebut. 

  Edgar memandang lelaki paruh baya itu dengan tatapan datar. “Perkenalkan, saya Edgar. Lelaki yang mencintai Putri Bapak,” ujarnya. 

  Sontak saja hal itu membuat Andira dan ayahnya membulatkan mata karena terkejut. Bagaimana bisa ada dua lelaki yang mencintai putrinya. Selama ini dirinya tidak pernah melihat putrinya membawa lelaki lain ke rumah selain Randi, lalu kenapa ada lagi lelaki yang menginginkan putrinya. 

  “Saya ingin menikahi Putri Bapak,” imbuhnya lagi. 

  "A-apa? Apa yang baru saja kamu katakan? Jangan bercanda, ya." Danu benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Danu memandang sang putri dengan tatapan tak percaya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status