"Sampai kapan kau akan terus menjaganya dari jauh, Arian?"
Maxime menyesap minuman dinginnya. Ia bersandar santai di kursi yang menghadap jendela besar, memandangi gedung-gedung tinggi dengan tatapan iseng. Sementara itu, di belakang meja kerja besar yang tertata rapi, Arian duduk dengan ekspresi dingin. Jemarinya mengetuk meja dalam ritme pelan, tapi Maxime tahu persis itu adalah tanda pria itu sedang berusaha meredam amarah. Arian tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus pada layar laptop, seakan menelaah sesuatu dengan serius. Namun, Maxime tahu isi kepala sahabatnya itu tidak sedang berada di sini. Maxime meletakkan gelasnya dengan bunyi ‘klik’ di meja kaca. "Semakin kau mengulur waktu, semakin ia menderita. Tentukan langkahmu sekarang sebelum terlambat. Arian akhirnya mengangkat wajah. Tatapannya tajam. "Aku tahu." "Kalau kau tahu, kenapa tidak melakukan sesuatu?" Maxime mengangkat alis. "Maksudku, ayolah, Arian. Ini bukan pertama kalinya Reynold berusaha menyentuh Nazharina. Kau sudah mencium gelagatnya sejak lama, bukan?" Arian mengatupkan rahang. "Aku akan bertindak." Maxime bersiul pelan. "Akhirnya. Setelah sekian lama, pria besar ini memutuskan untuk bertindak." Arian meliriknya tajam. "Diam." Maxime justru terkekeh, menyilangkan kakinya di atas meja. "Jadi, rencanamu apa? Langsung datang ke rumahnya? Atau kirim bunga seperti lelaki kalem penuh penyesalan?” Arian menghela napas. "Aku akan berbicara dengannya. Itu saja." Maxime mendengus. "Kau benar-benar payah dalam urusan percintaan." Arian meliriknya malas. "Kalau kau ingin tetap bekerja di sini, kurangi komentar tidak pentingmu." Maxime hanya tertawa, lalu berkata lebih serius, "Arian, dengarkan aku. Nazharina butuh kepastian. Kau mau dia kembali? Lakukan sesuatu. Kalau tidak, lepaskan." Arian terdiam. Maxime menatapnya tajam. "Aku punya banyak kenalan lelaki baik-baik yang mungkin bisa menjadi calon suaminya." Arian menegang. Maxime tersenyum penuh kemenangan. "Oh? Jadi kau tidak suka dengar itu?" Arian mengepalkan tangan. "Jangan macam-macam, Max." "Kalau begitu, lakukan sesuatu." Maxime mencondongkan tubuhnya. "Jangan hanya berdiri di balik layar. Nazharina bukan boneka kaca yang bisa kau awasi tanpa bicara dengannya. Ia butuh tahu bahwa kau masih di sini." Arian menatap mata sahabatnya itu untuk waktu yang lama. Lalu, ia berdiri. Maxime tersenyum lebar. "Akhirnya, kau keluar juga dari persembunyianmu." Arian menarik napas panjang, lalu mengambil jas. Matanya kembali dingin, tetapi kali ini dengan tekad yang lebih jelas. Maxime menyipitkan mata. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" Arian menyampirkan jasnya di lengan. "Sampaikan ke manajemen bahwa mulai sekarang, GM di Velaris Grand Royale Hotel adalah orang yang ditugaskan dari pusat." Maxime mengangkat alis, waspada. "Oke... Jadi siapa orang dari pusat yang kau maksud?" Arian menoleh sekilas. "Tentu saja aku." Maxime langsung berdiri tegak. "Tunggu, apa maksudmu? Kau ingin mengambil alih langsung? Itu gila!" Arian hanya tersenyum kecil, tetapi tidak ada kelakar dalam sorot matanya. "Aku tidak bercanda, Max." Maxime menatapnya seakan pria itu telah kehilangan akal sehatnya. "Arian, kau adalah pemilik utama. Velaris hanya salah satu anak perusahaan dalam jaringan bisnismu. Kalau kau turun tangan langsung untuk mengelola satu hotel saja, bagaimana dengan perusahaan utama? Para pemegang saham tidak akan suka mendengar ini." Arian menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, ekspresinya tetap tenang. "Ada kau, kan?" Maxime melotot. "Aku?! Aku ini asisten pribadimu, penasihat perusahaan, sahabat yang setia. Tapi aku bukan eksekutif yang bisa menjalankan perusahaan sebesar itu sendirian!" Arian menepuk pundaknya ringan. "Maka dari itu, kau harus mulai belajar, Max." Maxime mendengus. "Br*ngsek. Kau benar-benar membuat hidupku semakin berat." Arian terkekeh kecil. "Anggap saja ini tantangan baru." Maxime menatapnya dengan frustasi, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat lebih lama. Jika Arian sudah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa mengubahnya. Maxime menghela napas panjang, lalu menatap Arian dengan serius. "Baiklah. Tapi ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku..." Arian menatapnya sekilas, menunggu. Maxime menyipitkan mata. "Kau melakukan ini semua demi Nazharina, kan?" Arian diam sejenak. Lalu, perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum samar. Maxime langsung menunjuknya. "Ah, lihat ekspresimu! Aku tahu aku benar!" Arian mengabaikan komentar itu. Ia meraih ponselnya, lalu mulai melangkah menuju pintu. Maxime masih mengikuti dari belakang. "Arian, jangan pura-pura tidak dengar. Aku bertanya padamu, br*ngsek!" Arian berhenti di ambang pintu, lalu menoleh sedikit. "Aku akan mempersiapkan diriku." Maxime mendadak kehilangan kata-kata. "Aku sudah cukup lama menunggu," lanjut Arian dengan suara rendah. "Sekarang, aku akan mengambil langkah pertama." *** Langit mulai redup saat suara ketukan terdengar dari balik pintu rumah kecil itu. Awalnya pelan, lalu makin keras, seperti orang di luar sana menolak untuk menyerah. Nazharina menoleh pelan. Napasnya tertahan. Tak banyak yang tahu alamatnya, apalagi datang tanpa kabar. "Nazh! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!" Itu suara Kinoshita. Nazharina sempat ragu, tapi akhirnya berdiri dan membuka pintu. Kinoshita langsung menerobos masuk. "Astaga, aku kira kau pingsan!" gerutunya. "Kau tak masuk kerja berhari-hari, ponselmu mati. Dan yang lebih gila… Reynold juga hilang." Nazharina membeku. "Apa?" "Dia tak pernah muncul lagi sejak kau tak masuk kerja. Manajemen cuma bilang posisi GM akan diganti oleh orang dari pusat. Tapi—itu belum semua." Nazharina mengerutkan alis. "Masih ada lagi?" Kinoshita menatapnya lekat-lekat. "Shelby… diterima kerja di hotel. Sebagai staf administrasi." Nazharina nyaris tak percaya. "Shelby?" "Yep. Padahal sebelumnya tak ada posisi kosong, tapi entah kenapa dia bisa langsung masuk. Seperti ... ada yang membantunya dari atas." Nazharina terdiam, mencoba mencerna. Shelby, orang yang membuatnya dipecat dulu... kini satu kantor lagi dengannya? Tapi yang aneh, tidak ada kemarahan muncul darinya. Hanya... lelah. "Dan dia bertingkah seolah kita tak pernah punya masalah di masa lalu dengannya," tambah Kinoshita tajam. Nazharina hanya menunduk. “Biarkan saja. Aku tak peduli sama sekali tentang Shelby.” Kinoshita menghela napas, lalu duduk di sampingnya. “Nazh, aku tak tahu apa yang terjadi malam itu. Tapi aku tahu satu hal.. Reynold tak pergi karena kebetulan. Kalau dia disingkirkan… pasti ada orang kuat di baliknya.” Nazharina diam. Ia tahu itu benar. Tapi siapa? "Dan sekarang, manajemen bilang GM baru langsung dari pusat. Artinya, dia punya kuasa penuh. Kalau kau mau, kita bisa minta kembalikan posisimu ke bagian resepsionis." Nazharina memejamkan mata. Bayangan malam itu masih menghantui. Tapi... jika semua benar, jika Reynold hilang dan Shelby hanya bayangan dari masa lalu, mungkin ia bisa mulai lagi. "Aku akan kembali besok," bisiknya. Kinoshita tersenyum lebar. "Bagus! Itu baru Nazharina yang kukenal!" Nazharina menatap temannya itu dan ia merasa sedikit lebih tenang. Tapi jauh di dalam hatinya, ada pertanyaan yang terus mengganggu pikiran. Siapa sebenarnya GM baru itu? Dan kenapa ada perasaan ganjil yang terasa aneh di dadanya? *** Pagi harinya, Nazharina tergesa menuju ruang pertemuan. Ia hampir terlambat. Saat berbelok di koridor, langkah yang terburu-buru membuatnya tidak menyadari seseorang melintas dari arah berlawanan. Bruk! Tubuhnya membentur dada seseorang. Hangat. Kuat. Ia nyaris terjatuh, tapi tangan itu menahan lengannya dengan sigap. Nazharina menatap ke atas. Wajah yang tak pernah ia duga akan ia lihat lagi—muncul begitu dekat. Dan dunia seakan berhenti berputar. Napas Nazharina tercekat. Ia membeku. Arian, dia ada di sini?“Aku akan pulang. Dan kau, Max, siapkan tim Public Relations terbaik. Kita akan melakukan damage control. Dan cari tahu setiap jejak Shelby. Setiap koneksinya. Setiap orang yang dia ajak bicara.”Maxime mengangguk. “Siap. Tapi Arian, ini akan jadi perang yang kotor. Mereka akan menyerang Nazharina secara pribadi.”Arian menghela napas, matanya menatap ke luar jendela. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhnya. Tidak lagi.”Malam itu, Arian tiba di rumah Nazharina. Ia memeluknya erat, menenangkan tubuh Nazharina yang masih gemetar.“Aku sudah bicara dengan tim PR. Mereka akan mengeluarkan pernyataan besok pagi. Kita akan mengumumkan hubungan kita secara resmi.”Nazharina mendongak, terkejut. “Apa?! Sekarang?”“Ya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Biarkan mereka tahu. Biarkan mereka bicara. Aku tidak peduli.” Arian menatapnya dalam. “Aku hanya ingin kau aman. Dan aku ingin dunia tahu kau adalah milikku.”Nazharina merasaka
“Nazh! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!”Itu suara Kinoshita.Nazharina menghela napas lega, lalu segera membuka pintu. Kinoshita langsung menerobos masuk, wajahnya penuh kekhawatiran.“Astaga, Nazh! Kau baik-baik saja? Aku nyaris gila mencarimu! Ponselmu tidak aktif, kau tidak masuk kerja, dan... dan ada desas-desus aneh di hotel!” Kinoshita memeluknya erat, lalu menarik diri, menatap Nazharina dari ujung kepala sampai kaki.“Aku baik-baik saja, Kinoshita,” Nazharina tersenyum tipis. “Maaf membuatmu khawatir. Ada... urusan mendadak.”“Urusan mendadak sampai menghilang begitu saja? Aku kira kau diculik lagi!” Kinoshita menghela napas, lalu matanya menyipit. “Omong-omong soal diculik... kau tahu, sejak kejadian yang dulu itu, saat Reynold menghilang, ada banyak bisik-bisik aneh tentangmu. Dan sekarang, setelah kau menghilang lagi, gosipnya makin liar!”Nazharina menunduk. Ia tahu gosip itu. Shelby pasti dalangnya.“Mereka bilang apa?” Nazharina bertanya, suaranya pelan.Ki
Di luar rumah tua tempat pesta digelar, Arian berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan. Ia tiba sejak dua jam lalu. Timnya menyisir wilayah, tapi tidak ada langkah ceroboh. Tidak malam ini. Ia datang sendiri. Berpakaian hitam pekat, jas yang rapi, dan tatapan yang tajam membelah gelap malam.Maxime, yang mengikutinya diam-diam, mendekat pelan. “Kau yakin tidak mau aku masuk bersamamu?”Arian tak menoleh. “Aku butuh dia merasa aman. Aman untuk menunjukkan kelemahannya. Jika kau masuk, dia akan memasang wajah keras.”Maxime mengangguk. “Jadi... bagaimana rencananya?”Arian hanya menatap bangunan bercahaya itu. “Aku akan bicara. Dan aku akan menang.”**Langkah Arian tenang saat ia memasuki rumah tua itu. Musik hampir padam. Ruangan itu mendadak sunyi saat sosoknya muncul.Julian yang sedang berdiri di dekat bar, terkejut — hanya sedetik. Tapi itu cukup. Ia cepat memulihkan diri, lalu menyeringai. “Arian. Aku tidak tahu kau bisa secepat ini.”“Aku tidak suka terlambat ke pes
Arian menunjuk sebuah area di peta. “Fokuskan pencarian di sekitar sini. Ini adalah rute tercepat dari rumah menuju wilayah terpencil tanpa melewati banyak mata. Dan ada properti yang dulu pernah ia incar untuk proyek gagalnya. Dia mungkin menggunakannya untuk menyembunyikan sesuatu.”Maxime melihat ke titik yang ditunjuk Arian. “Itu akan membutuhkan izin khusus untuk menyisirnya. Wilayah itu dikendalikan oleh... kelompok lama Julian.”“Aku tidak butuh izin.” Suara Arian dingin. “Aku akan masuk sendiri jika perlu. Cari tahu di mana pusat kendali kelompok lama Julian. Jika mereka melindunginya, mereka juga akan hancur.”Ponsel Arian berdering lagi. Nomor Julian. Arian langsung mengangkatnya, menyalakan loudspeaker agar Maxime bisa mendengar.“Sudah menemukan teka-tekiku, Arian?” suara Julian terdengar riang. “Kurasa kau butuh sedikit bantuan.”“Katakan di mana dia, Julian,” Arian menggeram.“Sabar. Aku hanya ingin memastikan kau tahu apa yang akan kau hadapi. Nyonya Laurent baik-
"Arian memang sangat mencintaimu, bukan?" Julian bertanya, suaranya tiba-tiba terdengar... aneh. Tidak sinis lagi, melainkan lebih seperti sebuah pengamatan yang dalam.Nazharina tidak menjawab.Julian hanya mengangguk pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Menarik." Ia menatap Nazharina lagi, senyum tipis kembali ke bibirnya, tapi kali ini terasa berbeda, hampir seperti janji. "Aku akan kembali besok."Pintu gudang tertutup kembali, meninggalkan Nazharina dalam kegelapan. Ia menatap ke arah pintu yang terkunci, merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Julian di akhir. Tatapannya itu... Itu bukan sekadar rival.Dan Nazharina tahu, permainan ini, bagi Julian, baru saja dimulai. Bukan hanya untuk Arian, tapi juga, entah bagaimana, untuk dirinya.***”Malam itu terasa panjang di gudang terpencil. Nazharina tidak bisa tidur. Setiap derit kayu, setiap suara angin, terasa seperti langkah kaki. Ketakutan akan apa yang akan terjadi padanya, pada bayinya, dan pada Arian, terus men
Julian tersenyum miring. "Kau kelemahannya. Titik paling rentannya. Selama ini, aku hanya mendengarnya. Betapa dia terobsesi denganmu. Betapa dia melindungimu. Dan sekarang... aku akan membuktikannya sendiri.""Kau gila!" Nazharina berteriak, amarah dan ketakutan bercampur. "Apa kau tidak tahu aku sedang hamil?! Kau tidak bisa melakukan ini!"Wajah Julian sedikit berubah. Ada kilatan aneh di matanya. "Aku tahu kau hamil," katanya, dengan suara sedikit lebih rendah. "Selamat. Aku ikut senang karena itu akan membuat Arian semakin putus asa.” Nada "selamat" itu terdengar dingin, seperti sarkasme. "Lepaskan aku! Aku mohon!" Nazharina mencoba membuat suaranya putus asa, berharap memancing simpati. "Apa kau tidak punya hati? Aku tidak bersalah! Bayiku tidak bersalah!"Julian bangkit berdiri. Ia menatap Leo. "Pastikan dia tidak kekurangan apapun. Makanan sehat. Air bersih. Dan jangan sentuh dia sama sekali." Suaranya kembali datar. "Aku tidak ingin bayi itu kenapa-kenapa. Aku hanya in