Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri mematung. Sebuah koper kecil tergenggam erat di tangan kanannya. Siang menyengat, tapi hatinya dingin seperti awan mendung yang menggantung berat di atas kepala.
Arian berdiri di ambang pintu, masih seperti biasa. Datar, tak terbaca, seolah tak ada yang layak ditanggapi hari ini—termasuk perpisahan mereka. “Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin ini adalah pertemuan terakhir?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya. Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. “Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk ujung hidung yang sebenarnya tidak gatal. Membuang rasa malu. Tak apa, dia sudah terbiasa. Begitu pikirnya. Nazharina sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, sedingin itu. Seharusnya dia tahu kalau Arian yang telah ia kenal selama delapan belas tahun dan menjadi suaminya selama sepuluh tahun itu tak akan pernah mau menjabat tangannya. Tidak dulu saat pertama kali mereka dikenalkan ketika ia berumur 12 tahun, tidak juga saat ini ketika ia sudah resmi bercerai dengan lelaki tanpa ekspresi itu. “Aku pamit. Terima kasih karena telah menjagaku selama ini. Jaga dirimu baik-baik, Arian.” Susah payah Nazharina membuat nada suaranya terdengar normal, tapi entah kenapa rasa sesak di dada membuat ia terdengar seperti ingin menangis. Ah, sial. Ia tak boleh terlihat sedih di hadapan lelaki yang bahkan tak pernah menganggapnya ada. Ia membalikkan badan, berjalan menuju SUV hitam yang menunggunya. Sebelum naik, ia menoleh sekali lagi. Menatap balkon tempat ia biasa termenung. Tempat di mana ia sempat memiliki sebuah keluarga. Menatap Arian, yang masih berdiri di sana, diam seperti patung. “Tak kusangka, hari ini terjadi juga. Akhirnya aku meninggalkan rumah yang telah memberiku tempat berteduh dan berlindung selama 18 tahun. Selamat tinggal,” ucapnya dalam hati dengan mata yang berembun. Desahan napas sedih mengiringi geraknya yang langsung duduk di belakang sopir pribadi Arian. Pria itu yang akan mengantar untuk pulang ke rumah lamanya. “Terima kasih Ernando, atas pelayananmu selama ini. Terima kasih karena mau mengantarkan aku ke mana-mana. Senang bisa mengenalmu.” Nazharina berusaha beramah-tamah dengan salah satu orang kepercayaan Arian itu. “Sama-sama Nyonya. Saya juga merasa terhormat karena pernah melayani Anda,” sahut Ernando dengan senyum pahit. Nazharina membuang pandangan keluar dengan tatapan kosong. Tak ada siapa pun yang memahami bagaimana perasaannya saat ini, kecuali dirinya sendiri. “Kau tak perlu memanggilku lagi dengan sebutan Nyonya, Ernando. Aku dan Arian sudah resmi bercerai.” Mobil melaju, meninggalkan rumah itu. Meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi. Dan meninggalkan seseorang yang selama ini tak pernah menyayanginya. Arian masih berdiri di tempatnya. Memandang mobil yang membawa Nazharina semakin menjauh. Kakinya berat untuk melangkah, seperti hatinya yang berat untuk mencegah Nazharina agar tak pergi, meski ia sangat ingin berkata demikian. Ia tak bisa melarang Nazharina untuk pergi. Dan untuk pertama kali dalam hidup… Ia bertanya-tanya apakah ia telah kehilangan sesuatu yang sebenarnya sangat berharga? * Nazharina berdiri di depan pagar besi tua yang sudah mulai berkarat. Rumah itu masih seperti yang ia ingat—kusam, sedikit terbengkalai, tetapi tetap memberikan rasa akrab yang membawanya kembali ke masa lalu. Aroma kayu basah bercampur dengan tanah yang mengering setelah hujan pagi tadi. Ia menarik napas dalam, mencoba mengisi paru-parunya dengan keberanian sebelum akhirnya mendorong pintu pagar dan melangkah masuk. Hening. Tidak ada suara langkah kaki pelayan, tidak ada suara mobil mewah yang masuk ke garasi, tidak ada denting gelas kristal dari ruang makan seperti di rumah tempatnya tinggal selama ini. Yang ada hanyalah keheningan yang menggema, seakan menyambut kepulangan yang tertunda bertahun-tahun lamanya. Meletakkan koper di dekat sofa, Nazharina menyapu pandang ke seluruh ruangan. Debu menumpuk di beberapa sudut, perabotan masih sama seperti yang ia tinggalkan belasan tahun lalu. Ada kehangatan samar di tempat ini, meskipun sepi. Kini, ia sendiri lagi. Namun, belum sempat menikmati momen tersebut, suara ketukan di pagar depan membuyarkan lamunannya. "Nazharina?" Suaranya melengking, penuh rasa ingin tahu yang tidak terselubung. Nazharina menoleh. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan berdiri di sana dengan kedua tangan bertumpu di pinggangnya, seakan siap melancarkan interogasi. Ia mengenakan long dress longgar dengan corak bunga-bunga yang sudah pudar warnanya, rambutnya disanggul tinggi, dan matanya menyorotkan sesuatu yang sulit diartikan—antara terkejut, skeptis, dan puas. "Jadi kau benar-benar kembali," lanjutnya, tanpa menunggu jawaban. "Aku pikir hanya desas-desus belaka." Nazharina menahan napas sejenak sebelum melangkah mendekat. "Selamat sore, Aunty." Aunty Ersa—tetangganya sejak kecil, yang selalu memiliki kebiasaan untuk tahu segalanya tentang semua orang. Ia memiringkan kepala, menyipitkan mata seakan meneliti setiap inci dari Nazharina. "Kudengar kau sudah bercerai," ujarnya begitu saja, tanpa basa-basi. "Sungguh mengejutkan. Kukira kau sudah terbiasa hidup nyaman di rumah suamimu yang kaya itu." Nazharina tersenyum tipis. Ia sudah mengantisipasi ini. "Aku hanya ingin menjalani hidup yang lebih sederhana, Aunty." Aunty Ersa tertawa kecil, geli. "Oh, tentu. Tapi berapa lama kau akan bertahan? Hidup di lingkungan ini tidak seperti di rumah mewah yang penuh dengan pelayan. Kau harus belanja sendiri, memasak sendiri, bahkan membersihkan rumah sendiri. Aku penasaran... apakah kau bisa?" Nada suaranya terdengar manis, tetapi setiap katanya membawa tantangan terselubung. Nazharina tetap tenang. "Aku akan mencobanya," jawabnya tanpa ragu. Aunty Ersa mengangkat alis, lalu tersenyum miring, seakan menunggu kapan Nazharina akan menyerah. "Baiklah. Kita lihat saja nanti," ujarnya sebelum berbalik, meninggalkan Nazharina dengan keheningan sore yang kembali menyelimuti. Nazharina merapatkan pagar dengan perlahan, kembali masuk ke dalam rumah. Ia tahu bahwa kepulangannya tidak akan luput dari perhatian, dan ia tahu bahwa Aunty Ersa tidak akan menjadi satu-satunya orang yang mengawasi setiap langkahnya. Saat Nazharina hendak menutup tirai, sesuatu membuatnya berhenti. Perasaan aneh menjalar di tengkuknya, seolah ada mata yang mengawasi. Naluri membawanya menoleh ke arah rumah sebelah. Jendela di lantai atas sedikit terbuka, dan di baliknya—di tengah kegelapan—ada siluet seseorang berdiri diam. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, seperti bayangan tanpa suara. Nazharina menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan dorongan untuk segera menutup tirai dan berpura-pura tidak melihat apa pun. Tetapi nalarnya menolak. Dari yang ia dengar sebelum pulang kemari, rumah itu kosong. Tidak ada yang menempatinya selama bertahun-tahun. Jadi, siapa yang berdiri di sana?Kinoshita melanjutkan, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan malam. “Aku juga pernah dengar... dari salah satu mantan rekan kerja kita di butik. Katanya... Nyonya Clara pernah datang dan meminta maaf padamu, atas insiden tuduhan gila itu.”Nazharina mengangguk perlahan. “Itu benar. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang membuatnya tiba-tiba berubah.”Kinoshita mencondongkan tubuh. “Desas-desus bilang, ada seseorang berpengaruh yang menampar Nyonya Clara dan mengancam jabatan suaminya. Katanya, kalau dia tidak meminta maaf padamu, suaminya akan kehilangan posisi penting di dewan pemilik saham perusahaan.”“Aku...” Nazharina tampak terpukul, “Aku tidak tahu soal itu.”“Dan... tak lama setelah itu, Shelby juga dipecat. Mendadak. Tanpa penjelasan.”Hening.Kinoshita menatapnya tajam, tapi dengan kelembutan yang tak bisa disangkal. “Apa kau tak merasa semua ini bukan kebetulan? Bahwa mungkin... selama ini, Tuan Arian menjagamu dari jauh?”Nazharina masih
Nazharina langsung menyikut Arian dengan lembut. “Arian...”Tapi Arian justru mengangkat bahu. “Hanya bercanda.”“Astaga...” Kinoshita menutup wajah dengan kedua tangan. “Saya bersumpah demi kucing saya, saya tidak lihat apa-apa!”“Sayang sekali,” sahut Arian ringan.Nazharina nyaris menjatuhkan mapnya karena tertawa tertahan.Arian bersandar ringan pada counter, mendekatkan wajahnya sedikit. “Tapi tentu saja, masalah pelanggaran area terbatas bukan perkara kecil. Bisa saja... berujung pada sanksi. Atau bahkan... pemecatan.”Kinoshita menarik napas panjang seperti baru keluar dari kolam es. “Tuan Arian... saya mohon... jangan main-main soal pemecatan. Saya masih punya cicilan, kucing, dan... harga diri.”Arian tertawa. Benar-benar tertawa.Itu tawa rendah, hangat, dan—membuatnya tampak manusiawi. Tak ada kesan superioritas. Tak ada tekanan.“Tenang. Aku tidak akan memecatmu,” katanya, melirik Nazharina sekilas. “Tapi... aku akan mempertim
Maxime tertawa. “Kau terlalu banyak diam. Setidaknya sekarang aku tahu alasannya. Coba tebak, Nazh… saat kau tak muncul ke kantor, semua orang mengira kau sedang dalam misi rahasia. Ternyata misinya... bernuansa kasur.”Nazharina hampir tertawa, tapi memilih tetap menjaga wajah dinginnya. “Aku tak akan membahas ini.”“Tentu tidak. Tapi izinkan aku mengingatkan—gosip kantor lebih kejam dari kenyataan. Dan kau baru saja memberi mereka materi untuk seminggu penuh.”Nazharina menyipitkan mata. “Aku akan pasang batas, Max.”“Bagus. Karena kalau tidak, aku khawatir ruangan ini akan berubah jadi ruang konsultasi pranikah... atau—”“Cukup,” potong Nazharina, meski suaranya terdengar terlalu lembut untuk terdengar mengancam.Maxime mengedip jahil. “Oke, Nyonya yang setengah-resmi. Tapi satu hal terakhir...”Nazharina menoleh malas. “Apa lagi?”Maxime mengangguk ke arah perutnya. “Kalau tiba-tiba kau mulai mual-mual, aku akan jadi orang pertama yang men
Pintu kaca buram itu terbuka tanpa ketukan. Maxime menyelip masuk dengan gaya seenaknya, satu tangan membawa dua cangkir kopi. Senyum jahil langsung mengembang begitu melihat Arian sedang berdiri di dekat jendela, dengan senyum kecil yang tidak biasa.“Ini untukmu, Bapak CEO yang sedang mabuk asmara,” kata Maxime sambil meletakkan kopi di meja Arian.Arian hanya melirik, tak bereaksi. Tapi Maxime tahu betul, sikap datar itu hanya kedok dari pria yang sedang menyembunyikan sesuatu.“Pagi yang cerah, bukan?” sindir Maxime sambil menjatuhkan diri ke sofa. “Tapi sepertinya cuaca di kamarmu lebih panas dari kemarin.”Arian hanya menggeleng, melirik sekilas. “Apa kau selalu punya waktu untuk urusan pribadi orang lain?”“Kalau itu melibatkan teman lama dan wanita yang selama ini membuatnya susah tidur, tentu saja,” jawab Maxime santai. “Kau terlalu bersinar hari ini. Matamu bahkan tidak sekaku biasanya.”Arian kembali ke mejanya. “Max.”“Aku serius. Kau d
"A-Astaga, Kinoshita! Berhenti!" seru Nazharina panik, mengejar langkah cepat temannya yang langsung menuju lorong kamar.Tapi terlambat.Kinoshita sudah sampai di depan pintu kamar yang terbuka sedikit, dan apa yang dilihatnya membuat dia terdiam membeku.Di dalam, Arian duduk santai di tepian kasur, hanya mengenakan celana panjang, dada bidangnya telanjang, rambutnya berantakan dengan cara yang sangat... sangat intim.Kinoshita menutup mulutnya erat-erat, menahan teriakan. Matanya membulat seperti piring. Ia mundur cepat, membentur dinding dengan bunyi 'duk' kecil.Nazharina buru-buru menarik lengannya, menyeretnya keluar sebelum Arian sempat sadar.Mereka berdua jatuh ke sofa, napas memburu."Nazh!" Kinoshita akhirnya bersuara, setengah berbisik, setengah menjerit. "Kau tidur dengan Tuan Arian!"Nazharina memejamkan mata, mengutuk nasibnya."Aku bisa jelaskan semuanya," desahnya, berusaha terdengar tenang."Astaga, astaga..." Kino
Arian membalik tubuh Nazharina, mencium tulang belakangnya dengan lembut, lalu kembali mengisinya, kali ini lebih dalam, lebih perlahan, seolah ingin membuat malam itu bertahan selamanya.Nazharina mengerjap pelan, berusaha mengatur napas yang masih memburu. Tubuhnya terasa lemas, nyaris tak bisa bergerak, tapi kehangatan aneh menyelimuti hatinya.Lengan kekar itu menariknya kembali ke dalam pelukan. Kulit panas mereka kembali bersentuhan, membangkitkan bara yang belum sepenuhnya padam."Kau pikir aku puas hanya sekali?" bisik Arian di telinganya, suaranya serak dan berat oleh hasrat yang belum reda.Nazharina menggeliat kecil, mencoba berpaling, tapi Arian sudah membalik tubuhnya hingga kini ia menatap pria itu. Wajah Arian berada sangat dekat, matanya menatap dengan dalam."Aku ingin melihatmu lebih jelas," gumam Arian, mengusap helai rambut yang menempel di pipi Nazharina.Sebelum Nazharina bisa membalas, Arian kembali menunduk, mencium bibirnya perl