Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik.
"Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang harganya di label lima juta tiba-tiba dikenakan enam juta lima ratus ribu saat di kasir?!" Matanya langsung menatap Nazharina. "Dan kau! Bukankah kau yang melayaniku tadi?" Nazharina menelan ludah. "Saya memang yang melayani Anda, Nyonya. Tapi saya selalu memeriksa harga sebelum transaksi. Bisa jadi ini hanya kesalahan sistem—" "Omong kosong!" potong Nyonya Dee tajam. "Jangan berani-berani menyalahkan sistem butik ini atas ketidakbecusanmu!" Beberapa pelanggan lain mulai berbisik-bisik, membuat situasi semakin tidak nyaman. Shelby menutup mulutnya dengan tangan seolah terkejut. "Oh tidak... Nazharina, kau tidak mungkin menukar label harga, kan? Sistem tidak mungkin salah. Jadi ini pasti karena label harganya tertukar," katanya dengan nada manis tetapi penuh tuduhan terselubung. Nazharina langsung menoleh ke arah Shelby, merasakan kemarahan perlahan membuncah di dadanya. Shelby sudah merencanakan ini. Pasti dia yang menukar label harga sebelum pelanggan membeli gaun itu. Namun sebelum Nazharina bisa membela diri, sebuah suara laki-laki terdengar dari sisi ruangan. "Tunggu dulu. Sepertinya ada yang tidak benar di sini." Semua mata langsung tertuju pada pria yang melangkah maju dari bagian tengah butik. Ia tinggi, mengenakan setelan kasual tetapi tetap terlihat mahal. Rambutnya hitam sedikit berantakan, tetapi memberi kesan santai yang elegan. Rahangnya tegas, dan matanya tajam saat menatap ke arah Nyonya Dee dan Shelby. "Kesalahan seperti ini seharusnya diselidiki lebih dulu, bukan langsung menyalahkan staf," katanya dengan tenang tetapi penuh wibawa. Nyonya Dee menatap pria itu dengan ekspresi tidak sabar. "Dan Anda siapa?" Pria itu tersenyum tipis. "Hanya pelanggan yang kebetulan mendengar bagaimana Anda memperlakukan seorang staf tanpa bukti yang jelas." Shelby terlihat gelisah. Nazharina menatap pria itu dengan rasa penasaran. Ia tidak mengenalnya, tetapi pria itu berbicara seolah benar-benar ingin membelanya. "Saya sering berbelanja di butik-butik mewah," lanjut pria itu. "Dan saya tahu betul bahwa staf dilatih untuk memastikan harga sebelum transaksi. Jika terjadi kesalahan, ada dua kemungkinan: pertama, ada kesalahan sistem. Kedua, seseorang sengaja menukar label harga." Mata pria itu menatap lurus ke arah Shelby. Shelby tersentak, lalu cepat-cepat memasang ekspresi tidak bersalah. "Tentu saja kami akan menyelidiki ini lebih lanjut..." "Bagus," kata pria itu. "Karena sebelum menyalahkan seseorang, lebih baik memastikan siapa yang benar-benar bersalah, bukan?" Nazharina masih berdiri terpaku, belum sepenuhnya bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Tetapi satu hal yang jelas—pria ini baru saja menyelamatkan dirinya dari situasi yang bisa merusak reputasinya. Dan Shelby jelas tidak menyukainya. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah Nyonya Dee. Tatapannya tajam, tidak terintimidasi sedikit pun oleh kemarahan wanita tersebut. "Jika kita ingin menyelesaikan masalah ini dengan adil," katanya, "maka kita perlu melihat bukti lebih dulu." Ia kembali menatap Shelby dengan tatapan curiga. Shelby tersentak, ekspresinya berubah sesaat sebelum kembali mengontrol dirinya. "Tentu saja," katanya dengan nada santai, tetapi ada ketegangan halus dalam suaranya. "Kami bisa memeriksa ulang sistem untuk memastikan apakah ada kesalahan pencatatan." Pria itu tersenyum tipis. "Menarik sekali." Shelby mengerjap. "Apa maksud Anda?" Pria itu melangkah lebih dekat ke meja kasir. "Karena tadi, saat tuduhan ini masih diarahkan ke staf baru, Anda terlihat sangat yakin bahwa ini bukan kesalahan sistem. Tapi sekarang, begitu ada kemungkinan seseorang lain yang bertanggung jawab, Anda justru mulai menyalahkan sistem. Bukankah itu aneh?" Ruangan terasa lebih hening. Bahkan beberapa pelanggan yang tadinya hanya mengamati kini mulai memperhatikan dengan lebih serius. Shelby membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi, jelas sedang mencari cara untuk keluar dari situasi ini. "Saya hanya tidak ingin menuduh siapa pun tanpa bukti." Pria itu mengangguk pelan. "Itu bagus. Tapi kalau begitu, kenapa Anda tadi langsung membiarkan staf baru ini dituduh tanpa bukti?" Shelby menggigit bibirnya. Ia jelas tidak menyangka pria ini akan begitu kritis. Mira, kasir butik, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Sebenarnya... kita bisa mengecek kapan perubahan harga terakhir dilakukan." Shelby menegang. Wajahnya pucat pasi. Nazharina melihat bagaimana ekspresi wanita itu berubah. Mira mulai mengetik di sistem. Beberapa detik kemudian, ia mendongak. "Perubahan harga terakhir terjadi sekitar satu jam yang lalu. Dan hanya staf yang memiliki akses ke sistem yang bisa melakukannya." Pria itu melipat tangannya. "Siapa saja yang memiliki akses tersebut?" Mira tampak ragu, lalu melirik ke arah Shelby. Shelby buru-buru tersenyum. "Tentu saja, saya juga memiliki akses. Tapi saya tidak mungkin mengubah harga tanpa alasan, kan?" "Apakah ada staf lain yang mengubah harga selain Anda dalam beberapa jam terakhir?" tanya pria itu lagi. Mira mengecek sistem, lalu menggeleng. "Tidak ada." Mata pria itu kembali menatap Shelby. "Jadi, jika satu-satunya orang yang bisa mengubah harga adalah Anda, dan tidak ada orang lain yang melakukannya hari ini... bukankah itu berarti—" "Saya tidak melakukannya!" Shelby buru-buru memotong. Suasana makin memanas. Shelby tampak panik. "Ini pasti kesalahan sistem! Kasir juga seharusnya mengecek ulang harga sebelum transaksi! Bisa saja ada kesalahan entri sebelumnya!" "Tapi bukankah tadi Anda bilang sistem tidak mungkin salah?" tanya pria itu, suaranya penuh sindiran halus. Nazharina merasakan sesuatu yang mirip kepuasan saat melihat Shelby akhirnya terpojok. Tetapi ia tahu, Shelby bukan orang yang mudah dikalahkan. Nyonya Dee menatap tajam ke arah Shelby. "Jadi? Apakah ini kesalahan sistem, atau kesalahan staf? Karena kalau ini kesalahan staf, aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab." Shelby terlihat berpikir keras, mencari cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Nazharina tahu bahwa ini akan menjadi perdebatan yang alot. Shelby masih memiliki celah untuk lolos. Shelby tampak berpikir keras, matanya berputar mencari jalan keluar. Seluruh butik menunggu jawabannya. Lalu, dengan ekspresi yang dibuat-buat, Shelby menghela napas dan meletakkan tangan di dadanya, seolah merasa sangat bersalah. "Saya... saya benar-benar tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, Nyonya Dee," katanya dengan suara lirih. "Mungkin ada kesalahan kecil saat saya memeriksa sistem tadi pagi. Saya bisa bersumpah bahwa saya tidak pernah bermaksud menipu pelanggan." Nazharina mengepalkan tangannya. Sungguh jawaban yang cerdik. Shelby tidak menyangkal, tetapi juga tidak mengakui secara langsung. Ia menggunakan kata-kata yang terdengar seperti permintaan maaf tanpa benar-benar bertanggung jawab. Nyonya Dee menyipitkan matanya. "Jadi, kau mengakui bahwa kau yang mengubah harga?"Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”“Tapi kau terdengar seperti itu.”Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”Nyonya Dee menatapnya lama.Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.Saat itulah suara lain menyela.“Cukup.”Semua orang menoleh ke arah s
“Apa... apa yang kau lakukan?” Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hany
"Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Butik mewah itu tak pernah sepi dari perbincangan, terlebih jika ada sesuatu yang menarik untuk digunjingkan.Pagi ini, di sudut ruang staf, beberapa karyawan berkumpul dengan wajah penuh antusiasme. Bisikan mereka terdengar samar, namun sesekali diiringi tawa cekikikan."Aku melihatnya kemarin sore," ujar seorang wanita berambut sebahu, Nadya, dengan nada penuh arti. "Dia duduk berdua dengan pria itu di kafe dekat butik. Ngobrol intens setelah pulang kerja. Aku yakin, salah satu dari mereka akan diajak singgah ke rumah."Shelby, yang sedang merapikan kuku dengan ekspresi malas, menoleh dengan ketertarikan. "Dia? Maksudmu, si wajah polos itu? Nazharina?""Iya." Nadya mengangguk, matanya berbinar penuh gosip. "Yang lebih menarik, dia bahkan tak masuk kerja hari ini. Sakit, katanya. Tapi siapa yang percaya?"Seorang lagi, Emma, menimpali dengan suara dramatis, "Aku yakin dia tak bisa bangun dari tempat tidur."Tawa cekikikan pecah di antara mereka."
"Kau beruntung," gumam Arian akhirnya. "Aku bisa saja membunuhmu di sini dan menghilangkan jejakmu tanpa ada yang tahu."Darren menahan napas, ngeri dengan ketenangan yang menyelimuti suara itu."Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Arian. "Karena kau tidak sebanding dengan risikonya. Aku tidak akan mengotori tanganku untuk sampah sepertimu."Arian berjongkok, menyamakan tinggi mereka, lalu menepuk pipi Darren dengan ringan—hampir seperti seorang teman lama yang sedang berbincang."Tapi dengarkan aku baik-baik, Darren," katanya, suaranya lebih pelan, lebih dingin. "Jika kau berani muncul lagi dalam hidup Nazharina… jika kau bahkan mencoba mendekatinya satu langkah saja… aku akan menemukanmu."Darren merasakan bulu kuduknya berdiri."Aku akan menghancurkan hidupmu," lanjut Arian, tatapannya gelap dan tanpa belas kasihan. "Aku akan memastikan kau tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Dan kalau itu belum cukup…" Ia menyeringai kecil, ekspresi yang le
“Apa... apa yang kau lakukan?” Darren tersenyum miring. “Aku hanya ingin bersenang-senang, sayang. Masuklah.” Nazharina menggigil, tetapi dengan tangan gemetar, ia membuka pintu rumahnya. Begitu masuk, Darren menutup pintu dan menguncinya. Ia memandang sekeliling. “Tempat yang nyaman. Sepertinya cocok untuk sedikit... permainan.” Nazharina mundur perlahan. “Darren, tolong. Jangan lakukan ini.” Darren mendekat, jemarinya yang dingin menyentuh wajahnya. “Sayang sekali kalau wajah cantik ini harus rusak. Tapi aku suka meninggalkan kenangan.” Ia mencengkeram bahu Nazharina dan mendorongnya ke sofa. Pisau itu masih di tangannya, tetapi sekarang ia mulai menarik kasar pakaian Nazharina. Nazharina menjerit, meronta, tetapi Darren lebih kuat. “Kau tahu,” gumamnya sambil merobek kancing blus Nazharina, “Aku suka melihat ketakutan di mata wanita. Mereka selalu terlihat lebih hidup saat ketakutan.” Nazharina menangis. Ia memukul, menendang, tetapi setiap perlawanan hany
Shelby menunduk sedikit, bibirnya bergetar seolah sedang menahan rasa malu. “Saya... mungkin telah melakukan kesalahan saat memperbarui harga di sistem. Tetapi saya sama sekali tidak berniat buruk.”Pria yang tadi membela Nazharina tersenyum tipis. “Lucu sekali. Saat semua orang menuduh staf baru ini, kau langsung percaya diri menyalahkannya. Tapi sekarang, begitu terbukti bahwa hanya kau yang bisa mengubah harga, tiba-tiba ini jadi ‘kesalahan kecil’?”Shelby menoleh tajam ke arahnya. “Saya tidak bermaksud seperti itu!”“Tapi kau terdengar seperti itu.”Shelby menggigit bibirnya, lalu menoleh ke arah Nyonya Dee dengan wajah memelas. “Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini hanya kesalahan teknis. Saya janji akan lebih berhati-hati ke depannya. Tolong jangan biarkan kesalahan ini mencoreng reputasi butik kami.”Nyonya Dee menatapnya lama.Suasana begitu tegang hingga Nazharina bisa mendengar suara napasnya sendiri.Saat itulah suara lain menyela.“Cukup.”Semua orang menoleh ke arah s
Nazharina sedang sibuk merapikan deretan gaun di rak ketika suara tinggi seorang wanita menggelegar di seluruh butik. "Ini tidak bisa diterima! Kalian pikir aku bodoh?" Seluruh butik mendadak hening. Beberapa staf langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita dengan pakaian mahal dan tas bermerek berdiri di depan kasir dengan ekspresi marah. Ia mengacungkan secarik struk belanja ke arah Shelby, yang berdiri di belakang meja kasir dengan ekspresi pura-pura terkejut. Nazharina merasa jantungnya berdebar saat menyadari siapa pelanggan itu. Nyonya Dee. Salah satu pelanggan VIP yang terkenal perfeksionis dan tidak segan-segan mengkritik jika ada sedikit saja kesalahan dalam pelayanannya. Shelby menoleh ke arah Nazharina dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Oh, Nyonya Dee, mungkin ada sedikit kesalahan. Tapi saya yakin bukan niat staf kami untuk membuat Anda merasa tidak nyaman," katanya manis. Nyonya Dee tidak terpengaruh. "Aku mau jawaban! Bagaimana bisa gaun yang ha
Langit masih kelabu ketika Nazharina melangkah keluar dari rumahnya pagi itu. Udara dingin sempat menggigit kulitnya, tetapi ia tidak membiarkan keraguan merayap ke dalam hati. Hari ini, ia memulai sesuatu yang baru—tanpa embel-embel sebagai istri seseorang, tanpa bayang-bayang nama besar yang pernah menaunginya.Butik tempatnya bekerja terletak di pusat kota, di sebuah gedung megah dengan arsitektur modern yang dipenuhi kaca reflektif. Sebuah plakat elegan dengan huruf berwarna emas terpampang di atas pintu masuk, menyatakan nama butik yang selama ini hanya ia kenal dari majalah mode.Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.Dari dalam, butik itu tampak lebih menawan. Lantainya berkilau, dipadukan dengan pencahayaan yang memancarkan kemewahan. Rak-rak pakaian tersusun rapi, menampilkan koleksi eksklusif dari berbagai desainer ternama. Tidak ada yang tampak biasa di tempat ini.“Nazharina, bukan?”Nazharina menoleh. Seorang wanita muda dengan seragam butik yang sama mendekatinya,
Di depan rumah megah itu, Nazharina berdiri dengan koper di tangannya. Arian, seperti biasa, hanya menatapnya tanpa ekspresi.Siang hari ini matahari menyengat kulit, namun hati Nazharina seakan gelap kelabu. Ada mendung yang menciptakan awan hitam dalam jiwanya. Seakan ingin menjatuhkan hujan air mata, namun guruh di hati menahannya.Ia tak tahu apakah tangisan itu perlu?Haruskah ia bersedih saat ini?Bagaimana kalau ternyata mulai hari ini ia bisa mencoba hidup yang sesuai dengan kemauannya?“Terima kasih atas waktumu Arian. Akhirnya selesai juga. Bolehkah kita berjabat tangan karena mungkin tak akan ada lagi pertemuan setelah ini?” Nazharina menyodorkan tangan pada lelaki tampan namun beraura dingin di hadapannya.Sedetik... dua detik... hingga beberapa detik Arian tak menyambut uluran tangan itu, hanya menatap Nazharina dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.“Ternyata tak boleh,” gumam Nazharina pelan, seraya menggenggam kembali jemari tangan dan memilih untuk menggaruk uju
“Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini,” ucapnya pilu. Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja. “Ibunya meninggal?” tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka. “Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran,” jawab pria itu. “Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini.” “Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini,” jawab pria itu dengan yakin. Alicia terkejut. “Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!” suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan. “Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian.” Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu. “Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang.” Sang guru masuk. Men