“Kau gemetar,” Maxime menyenggol lengan Arian dengan bisikan nakal. Hanya mereka berdua yang bisa mendengar.
Arian melemparkan tatapan peringatan. Tapi Maxime tak berhenti. “Jangan bilang kau gugup.” Arian berusaha mengabaikan ejekan itu. Melihat Nazharina dari kejauhan saja sudah cukup membuatnya kehilangan fokus. Sekarang, wanita itu berdiri tepat di hadapannya. Dekat. Sangat dekat. Panas-dingin. Campur aduk. Ia tidak menyangka akan bereaksi seperti ini. Maxime yang berdiri tak jauh dari mereka melipat tangan di dada, menahan tawa. “Grogi, Arian?” Arian menajamkan tatapannya ke arah Maxime. “Diam.” Maxime hanya terkekeh. Sementara itu, Nazharina masih membeku. Namun, sebelum sempat ia membuka mulut, Arian sudah melepaskan genggamannya dan melangkah pergi, meninggalkannya terpaku di koridor hotel. Arian di sini? Pikir Nazharina. Apa dia ada urusan bisnis di hotel ini? Atau— *** Sejak pagi, para staf berbisik-bisik, membicarakan sosok GM baru yang akan menggantikan Reynold. Sedangkan Nazharina, ia hanya ingin kembali bekerja seperti biasa, melupakan insiden yang baru saja terjadi. Namun, saat suara langkah-langkah berat bergema di lantai, Nazharina merasakan sebuah perasaan yang terlalu familiar. "Aku ingin mengenalkan seseorang kepada kalian," suara manajer HRD menggema di antara para staf yang berkumpul di lobi utama. "Beliau adalah General Manager yang baru ditugaskan dari pusat untuk memimpin Velaris Grand Royale Hotel." Nazharina menegakkan tubuh. Namun, detik berikutnya, ia menegang. Sosok yang berdiri di hadapan mereka adalah seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan kembali ke kehidupannya. Arian. Pria yang sudah lama ia coba lupakan. Arian di sini? Sebagai GM baru? Jantungnya berdegup kencang. Pria yang dulu pernah menjadi suaminya, kini berdiri di depan semua orang dalam balutan jas hitam mahal, mata tajam, rahang tegas. Ketampanannya yang dingin masih sama. Bahkan lebih mengintimidasi dari sebelumnya. Dan ketika mata mereka bertemu, sejenak dunia berhenti berputar. Saat staf lain sibuk mengagumi ketampanan pria itu, Nazharina hanya bisa menatap dengan ekspresi dingin. “Oh Tuhan… dia terlalu tampan,” bisik Kinoshita dengan penuh kagum. Shelby yang berdiri di sebelahnya menyeringai. “Benar. Aku bahkan tidak keberatan jika dimarahi pria seperti itu.” Yang lain sibuk berbisik, Nazharina hanya diam. Jadi ini alasan kenapa takdir mempertemukan mereka lagi pagi ini. Ia ingin menganggap ini kebetulan yang menyebalkan. Tapi sepertinya bukan. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan Nazharina tidak yakin apakah ia siap menghadapinya. Nazharina hanya diam, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa lebih cepat dari biasa. Sementara itu, manajer HRD kembali berbicara, "Silakan, Tuan Arian." Saat nama itu disebut, Nazharina merasakan dunia seolah kembali berhenti. Arian melangkah lebih maju, lalu berbicara dengan nada tegas namun santai. “Selamat pagi. Saya Arian. Saya tidak suka basa-basi. Lakukan pekerjaan kalian dengan profesional. Jangan bikin masalah. Itu saja.” Langsung. Tegas. Dan hanya Nazharina yang tahu, nada itu—dulu sering ia dengar. Suara yang dulu pernah membuatnya merasa aman. Dan juga sendiri. Setelah perkenalan singkat, semua orang mulai bubar. Tapi Nazharina tetap di tempat. Ia sadar, hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu. Arian menatapnya. Sorot matanya... terlalu dalam. Terlalu akrab sekaligus asing. Ia masih memikat—dan lebih berbahaya dari yang Nazharina ingat. Rahangnya yang tegas, rambutnya yang tertata rapi, dan jas hitamnya yang terlihat begitu mahal membingkai posturnya yang tegap. Tatapan matanya dingin, tetapi di baliknya ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuat Nazharina merasakan sesak di dadanya. Tanpa bisa dicegah, bibirnya melontarkan pertanyaan yang tadi belum sempat terucap. "Apa yang kau lakukan di sini?" Nazharina terpaku melihat pria yang dulu pernah menjadi suaminya kini berdiri di hadapannya dengan jas mahal dan aura mendominasi. "Aku pemilik hotel ini," jawab Arian santai, namun tatapan matanya menusuk tajam. Nazharina merasakan sesuatu mencengkeram dada. Tentu saja. Tentu saja dunia tidak akan semudah itu membiarkannya lepas dari bayangan pria ini. Mata Nazharina melebar. Jantungnya seperti dihantam keras oleh kenyataan. Ia ingin percaya bahwa pria ini hanya bercanda. Tetapi, tidak. Ekspresi Arian terlalu serius untuk sebuah lelucon. Pemilik? Bukan sekadar GM? Jadi, selama ini… pekerjaan itu, rekomendasi itu—semuanya karena Arian? Arian masih menatapnya, seolah menunggunya mengatakan sesuatu. Namun, sebelum Nazharina bisa mengumpulkan pikirannya, suara Maxime memecah keheningan. "Arian, jangan melihatnya seperti itu. Tatapanmu bisa bikin wanita ini pingsan, tahu," ujarnya dengan nada menggoda. Arian melirik Maxime tajam, tetapi pria itu hanya terkekeh. Tapi Nazharina... ia tahu. Hidupnya baru saja berubah. Bukankah posisinya saat ini masih sebagai sekretaris pribadi GM? Yang berarti… Ia akan menjadi sekretaris pribadi Arian dan akan bekerja langsung di bawah mantan suaminya itu. Setiap hari. Satu ruangan. Satu lingkungan kerja. Apa dunia sedang bercanda? Saat keluar, Nazharina merasa udara di luar terasa lebih sesak daripada sebelumnya. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Dan sebelum sempat menarik napas dengan benar, suara Kinoshita sudah lebih dulu menyergap. “Kau beruntung sekali, Nazh! Aku benar-benar iri padamu!” ujar gadis itu dengan ekspresi penuh antusias. “Siapa sangka kau akan bekerja begitu dekat dengan GM setampan itu? Tuhan, aku bersedia menukar posisi denganmu kapan saja!” Nazharina tersenyum pahit. Menukar posisi? Kalau bisa menukar posisi sekarang juga, ia pasti akan melakukannya tanpa pikir panjang. “Sepertinya kau memang selalu beruntung, ya?” suara lain muncul, kali ini dari seorang staf perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka. “Bisa bekerja langsung di bawah GM baru yang… yah, kita semua tahu betapa mempesonanya dia.” Kinoshita mengangguk cepat. “Benar! Ini seperti di drama-drama romantis! Sekretaris pribadi jatuh cinta dengan bosnya yang super tampan dan mapan. Siapa tahu kalian nanti—” “Berhenti di situ,” potong Nazharina dengan suara yang lebih dingin dari yang ia maksudkan. “Aku di sini hanya untuk bekerja.” Kinoshita cemberut, tetapi tetap tertawa kecil. “Yah, setidaknya kau bisa menikmati pemandangan indah setiap hari.” Shelby yang sedari tadi diam akhirnya angkat suara. “Sayangnya... pria seperti Tuan Arian itu pasti punya standar tinggi. Rasanya sulit membayangkan dia tertarik pada... janda.” Hening. Beberapa staf saling pandang. Nazharina tak bereaksi. Ia hanya menatap Shelby, lalu berbalik tanpa sepatah kata pun. Jika Shelby tahu siapa dirinya dulu bagi Arian... Tapi Nazharina tidak butuh pengakuan dari siapa pun. Ia hanya butuh ketenangan. Dan sekarang, kedamaian itu sudah lenyap sejak Arian muncul kembali. Tapi ini bukan waktunya untuk lari. Jika Arian benar-benar kembali untuk alasan yang lebih dari sekadar pekerjaan— ...maka ia akan menghadapi segalanya. Dengan kepala tegak.“Aku akan pulang. Dan kau, Max, siapkan tim Public Relations terbaik. Kita akan melakukan damage control. Dan cari tahu setiap jejak Shelby. Setiap koneksinya. Setiap orang yang dia ajak bicara.”Maxime mengangguk. “Siap. Tapi Arian, ini akan jadi perang yang kotor. Mereka akan menyerang Nazharina secara pribadi.”Arian menghela napas, matanya menatap ke luar jendela. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhnya. Tidak lagi.”Malam itu, Arian tiba di rumah Nazharina. Ia memeluknya erat, menenangkan tubuh Nazharina yang masih gemetar.“Aku sudah bicara dengan tim PR. Mereka akan mengeluarkan pernyataan besok pagi. Kita akan mengumumkan hubungan kita secara resmi.”Nazharina mendongak, terkejut. “Apa?! Sekarang?”“Ya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Biarkan mereka tahu. Biarkan mereka bicara. Aku tidak peduli.” Arian menatapnya dalam. “Aku hanya ingin kau aman. Dan aku ingin dunia tahu kau adalah milikku.”Nazharina merasaka
“Nazh! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!”Itu suara Kinoshita.Nazharina menghela napas lega, lalu segera membuka pintu. Kinoshita langsung menerobos masuk, wajahnya penuh kekhawatiran.“Astaga, Nazh! Kau baik-baik saja? Aku nyaris gila mencarimu! Ponselmu tidak aktif, kau tidak masuk kerja, dan... dan ada desas-desus aneh di hotel!” Kinoshita memeluknya erat, lalu menarik diri, menatap Nazharina dari ujung kepala sampai kaki.“Aku baik-baik saja, Kinoshita,” Nazharina tersenyum tipis. “Maaf membuatmu khawatir. Ada... urusan mendadak.”“Urusan mendadak sampai menghilang begitu saja? Aku kira kau diculik lagi!” Kinoshita menghela napas, lalu matanya menyipit. “Omong-omong soal diculik... kau tahu, sejak kejadian yang dulu itu, saat Reynold menghilang, ada banyak bisik-bisik aneh tentangmu. Dan sekarang, setelah kau menghilang lagi, gosipnya makin liar!”Nazharina menunduk. Ia tahu gosip itu. Shelby pasti dalangnya.“Mereka bilang apa?” Nazharina bertanya, suaranya pelan.Ki
Di luar rumah tua tempat pesta digelar, Arian berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan. Ia tiba sejak dua jam lalu. Timnya menyisir wilayah, tapi tidak ada langkah ceroboh. Tidak malam ini. Ia datang sendiri. Berpakaian hitam pekat, jas yang rapi, dan tatapan yang tajam membelah gelap malam.Maxime, yang mengikutinya diam-diam, mendekat pelan. “Kau yakin tidak mau aku masuk bersamamu?”Arian tak menoleh. “Aku butuh dia merasa aman. Aman untuk menunjukkan kelemahannya. Jika kau masuk, dia akan memasang wajah keras.”Maxime mengangguk. “Jadi... bagaimana rencananya?”Arian hanya menatap bangunan bercahaya itu. “Aku akan bicara. Dan aku akan menang.”**Langkah Arian tenang saat ia memasuki rumah tua itu. Musik hampir padam. Ruangan itu mendadak sunyi saat sosoknya muncul.Julian yang sedang berdiri di dekat bar, terkejut — hanya sedetik. Tapi itu cukup. Ia cepat memulihkan diri, lalu menyeringai. “Arian. Aku tidak tahu kau bisa secepat ini.”“Aku tidak suka terlambat ke pes
Arian menunjuk sebuah area di peta. “Fokuskan pencarian di sekitar sini. Ini adalah rute tercepat dari rumah menuju wilayah terpencil tanpa melewati banyak mata. Dan ada properti yang dulu pernah ia incar untuk proyek gagalnya. Dia mungkin menggunakannya untuk menyembunyikan sesuatu.”Maxime melihat ke titik yang ditunjuk Arian. “Itu akan membutuhkan izin khusus untuk menyisirnya. Wilayah itu dikendalikan oleh... kelompok lama Julian.”“Aku tidak butuh izin.” Suara Arian dingin. “Aku akan masuk sendiri jika perlu. Cari tahu di mana pusat kendali kelompok lama Julian. Jika mereka melindunginya, mereka juga akan hancur.”Ponsel Arian berdering lagi. Nomor Julian. Arian langsung mengangkatnya, menyalakan loudspeaker agar Maxime bisa mendengar.“Sudah menemukan teka-tekiku, Arian?” suara Julian terdengar riang. “Kurasa kau butuh sedikit bantuan.”“Katakan di mana dia, Julian,” Arian menggeram.“Sabar. Aku hanya ingin memastikan kau tahu apa yang akan kau hadapi. Nyonya Laurent baik-
"Arian memang sangat mencintaimu, bukan?" Julian bertanya, suaranya tiba-tiba terdengar... aneh. Tidak sinis lagi, melainkan lebih seperti sebuah pengamatan yang dalam.Nazharina tidak menjawab.Julian hanya mengangguk pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Menarik." Ia menatap Nazharina lagi, senyum tipis kembali ke bibirnya, tapi kali ini terasa berbeda, hampir seperti janji. "Aku akan kembali besok."Pintu gudang tertutup kembali, meninggalkan Nazharina dalam kegelapan. Ia menatap ke arah pintu yang terkunci, merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Julian di akhir. Tatapannya itu... Itu bukan sekadar rival.Dan Nazharina tahu, permainan ini, bagi Julian, baru saja dimulai. Bukan hanya untuk Arian, tapi juga, entah bagaimana, untuk dirinya.***”Malam itu terasa panjang di gudang terpencil. Nazharina tidak bisa tidur. Setiap derit kayu, setiap suara angin, terasa seperti langkah kaki. Ketakutan akan apa yang akan terjadi padanya, pada bayinya, dan pada Arian, terus men
Julian tersenyum miring. "Kau kelemahannya. Titik paling rentannya. Selama ini, aku hanya mendengarnya. Betapa dia terobsesi denganmu. Betapa dia melindungimu. Dan sekarang... aku akan membuktikannya sendiri.""Kau gila!" Nazharina berteriak, amarah dan ketakutan bercampur. "Apa kau tidak tahu aku sedang hamil?! Kau tidak bisa melakukan ini!"Wajah Julian sedikit berubah. Ada kilatan aneh di matanya. "Aku tahu kau hamil," katanya, dengan suara sedikit lebih rendah. "Selamat. Aku ikut senang karena itu akan membuat Arian semakin putus asa.” Nada "selamat" itu terdengar dingin, seperti sarkasme. "Lepaskan aku! Aku mohon!" Nazharina mencoba membuat suaranya putus asa, berharap memancing simpati. "Apa kau tidak punya hati? Aku tidak bersalah! Bayiku tidak bersalah!"Julian bangkit berdiri. Ia menatap Leo. "Pastikan dia tidak kekurangan apapun. Makanan sehat. Air bersih. Dan jangan sentuh dia sama sekali." Suaranya kembali datar. "Aku tidak ingin bayi itu kenapa-kenapa. Aku hanya in