Keesokan harinya Clara terbangun karena ada yang mengetuk pintu. Sejenak Clara memandang ke tempat tidurnya, tidak ada yang berubah. Syukurlah berarti tidak terjadi apa-apa selama Clara tertidur.
"Nona Clara. Apakah nona sudah bangun?" Suara Bi Imah terdengar dari balik pintu.
"Iya bi..." Clara beringsut dari tempat tidurnya. Melangkahkan kakinya untuk membuka pintu.
"Sarapan nona Clara" Bi Imah masuk ke dalam kamar.
"Bibi kenapa repot-repot. Tunjukkan saja di mana dapurnya,aku akan ke sana untuk makan. Diantar seperti ini seperti nyonya besar saja"
"Nona tidak usah sungkan. Bibi sudah terbiasa melayani orang. Lagipula tuan Rama yang menyuruh agar makanan nona Clara diantar ke kamar"
"Apakah semua tamu diistimewakan seperti ini bi?" Tanya Clara.
"Tidak pernah ada tamu di rumah ini nona Clara. Paling-paling ibunya tuan Rama yang datang. Itu pun sangat jarang karena beliau tinggal di luar negeri. Menikah lagi dengan orang sana dan menetap di sana setelah 5 tahun kematian ayah tuan Rama.Tuan Rama tidak suka keramaian. Jadi rumah ini selalu sepi" jawab Bi Imah.
"Begitu rupanya. Lalu kenapa dia membawaku ke rumahnya?" Clara berbisik pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Masih heran dengan sikap Rama.
"Kalau nona bosan nona bisa pergi ke taman belakang rumah. Nanti bibi tunjukkan jalannya."
"Baik bi" balas Clara.
Tiga bulan sudah Clara berada di rumah Rama. Rama terlalu sibuk dan pulang larut malam saat Clara sudah tertidur. Jadi mereka jarang sekali bertemu. Entah kenapa Rama menahan Clara di rumahnya. Tidak diperbolehkan keluar dari rumahnya yang megah. Semua keperluan Clara dipenuhi tanpa kekurangan suatu apapun. Tapi terlalu lama di rumah itu membuat Clara seperti terpenjara dalam sangkar emas.
Perut Clara semakin terlihat membuncit. Semua orang yang bekerja di rumah Rama sudah tau bahwa Clara sedang hamil.
Sore itu Clara berjalan menikmati suasana di taman belakang. Terlihat Bi Imah sedang memberi makan ikan koi di kolam yang cukup besar yang entah ada berapa ratus ikan koi yang besar dan indah di dalamnya. Clara menghampiri Bi Imah.
"Boleh aku bantu Bi?" Tanyanya pada Bi Imah.
"Silahkan nona" Bi Imah menyerahkan makanan ikan pada Clara.
"Bagaimana kondisi kandungan nona Clara? Apakah baik-baik saja?" Tanya Bi Imah.
"Iya Bi. Setiap bulan tuan Rama mengirim dokter datang kemari untuk memeriksa kandunganku" jawab Clara.
"Tidak menyangka tuan Rama akhirnya akan punya seorang putra" Bi Imah tersenyum memandang Clara. Clara tersenyum kecut. Ini bukan anaknya, bisik Clara dalam hati. Sampai saat ini Clara tidak tau kenapa Rama memperlakukan dia seperti itu. Orang lain akan menyangka bahwa Clara adalah istrinya. Hanya saja Rama tak pernah sekalipun menyentuh Clara.
Clara melamun menatap ikan-ikan di kolam. Tidak tau dia harus senang atau sedih saat ini. Dia tidak punya siapa-siapa. Ayahnya benar-benar sudah tidak peduli. Dia telah dibuang. Satria mencampakkannya saat dia berada di titik terendah dalam hidupnya. Teman yang dianggap saudara justru menjebaknya. Lengkap sudah penderitaannya. Kemudian tiba-tiba Rama datang seperti memungut seekor kucing lusuh yang tersesat di jalanan. Membawanya ke rumahnya, merawat dan mengurungnya dalam sangkar emas.
Rama tidak mungkin mencintai Clara. Sikapnya begitu angkuh dan dingin saat berada di depan Clara.
"Bi...Bi Imah..." Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil Bi Imah. Bi Imah segera beranjak hendak menghampiri asal suara tersebut. Belum sempat Bi Imah melangkahkan kakinya, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Dia terlihat begitu anggun dan elegan. Wajahnya masih cantik dengan dandanan sederhana namun berkelas. Wanita itu memandang Clara dengan heran.
"Selamat datang nyonya besar" Bi Imah sedikit membungkukkan badan memberi hormat. Clara melihat Bi Imah dan mengikuti gerakannya meski tak tau siapa orang yang ada di depannya.
"Ini siapa bi?" Tanya wanita yang dipanggil nyonya besar itu sambil terus memperhatikan Clara. Dia adalah ibu Rama, Nyonya Triana.
"Ini nona Clara, Nyonya. Istri tuan Rama. Dia sedang mengandung anaknya tuan Rama" jelas Bi Imah. Clara tercekat. Jantungnya berdegup kencang.
"Nyonya...saya..." Clara gugup.
"Kenapa Rama tidak pernah bilang kalau dia sudah menikah? Apalagi aku akan punya cucu. Dasar anak tidak tau diri." Alih-alih marah, Nyonya Triana justru menunjukkan rasa senang. Matanya bersinar dan dia tersenyum bahagia. Clara masih kebingungan. Nyonya Triana menghampiri Clara memeluknya kemudian mengelus perut Clara.
"Lihat saja aku akan buat perhitungan dengan suamimu. Bisa-bisanya hal besar begini tidak memberitahuku" wajahnya cemberut tapi masih meninggalkan senyum bahagia. Clara tidak tau harus mengatakan apa. Dirinya merasa bahwa selama ini dia dikendalikan oleh Rama. Tidak boleh berbuat atau berbicara sesuka hati. Apalagi hal yang menyangkut ibunya dia harus berhati-hati. Jangan sampai salah bicara atau dia akan mati.
"Nyonya besar baru saja sampai. Barangkali ingin beristirahat lebih dulu. Nanti kita bisa bicara lagi setelah tuan Rama pulang." Clara tersenyum. Sebisa mungkin dia berhati-hati menjaga ucapannya.
"Iya..iya...aku memang sedikit lelah. Aku akan beristirahat dulu. Oh ya, karena kamu adalah istrinya Rama, maka kamu tidak boleh memanggilku nyonya. Panggil aku ibu" kata nyonya Triana.
"Baik Nyonya...maaf, ii...ibu" Clara masih canggung.
"Biar saya antarkan Nyonya besar ke kamar." Bi Imah mengambil koper Nyonya Triana dan mengantarkan wanita itu ke dalam kamarnya. Clara menghembuskan napasnya yang seakan tertahan sejak tadi.
Apalagi ini? Kenapa bisa makin runyam begini.
"Kemarilah Clara. Duduk di dekatku" Nyonya Triana memanggil Clara untuk duduk bersamanya di ruang keluarga. Dengan sedikit gemetar Clara datang dan duduk di samping nyonya Triana. Apa yang akan terjadi hari ini? "Ibu belum sempat bertanya kapan kalian menikah? Kenapa tidak mengabariku?" "Itu...saya..." Clara gugup benar-benar takut salah bicara. "Maafkan saya bu. Saya tidak bisa jelaskan. Biar Tuan Rama nanti yang menjelaskan pada ibu" "Memangnya kenapa?" Masih dengan rasa kebingungan, apa yang harus Clara katakan. Selama ini semua orang di rumah itu mengira bahwa Clara adalah istrinya Rama. Tanpa ada yang berani bertanya kapan menikah atau darimana asal Clara. Clara berpikir sejenak. "Ibu... sebenarnya saya dan tuan Rama...kami..." Tiba-tiba Rama masuk ke ruangan itu. "Ibu..kapan ibu datang?kenapa tidak memberitahuku?" Rama memeluk dan mencium tangan nyonya Triana. Ternyata dia juga bisa bersikap lunak, Clara menatap Rama dengan heran. Bukan seperti Rama yang selama ini dia
"Jaga dirimu baik-baik Clara. Nanti jika cucuku sudah lahir, segera beritahu ibu" Nyonya Triana berpesan pada Clara sebelum kembali ke luar negeri. "Apa ibu tidak ingin menginap di sini lebih lama?" Clara bertanya karena merasa jika ada Nyonya Triana dia terlindungi dari sikap Rama yang selalu dingin dan kasar."Ibu sudah satu minggu di sini. Tuan Smith sudah menelepon ibu beberapa kali agar ibu segera kembali" Tuan Smith adalah suami kedua Nyonya triana."Rama, jaga Clara baik-baik. Aku lihat terkadang kau menyuruhnya melakukan sesuatu seperti atasan pada bawahan. Kalian itu pasangan, tidak baik seperti itu" Nyonya Triana mengingatkan Rama. Terbiasa mendikte Clara sehingga terkadang Rama tidak menyadarinya."Ibu tenang saja" balas Rama."Baiklah. Ibu pergi dulu"Mereka mengantar kepergian Nyonya Triana sampai ke halaman. Sebuah mobil mewah sudah menunggu untuk mengantarkan Nyonya Triana.Setelah kepergian Nyonya Triana, Rama bergegas masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun mempedulika
Hari ini Clara dan Rama akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Rama memberikan gaun berwarna nude untuk dipakai Clara. Hari ini juga pertama kalinya Clara akan menghirup udara bebas di luar sana sejak dia masuk ke rumah Rama.Wajah Clara sumringah. Dengan dandanan natural namun terlihat sangat cantik. Wajahnya yang tirus dengan mata bulat kecoklatan,hidung mancung dan bibir yang tipis kemerahan, membuat Clara nampak mempesona. Sebelumnya dia tidak pernah berdandan, hanya sekedar memakai skincare untuk kebutuhan sehari-hari.Sejenak Rama terpana ketika melihat Clara keluar dari dalam rumah. Clara tersenyum dan menghampiri Rama yang bersandar pada mobil mewahnya."Saya sudah siap, tuan" masih dengan senyumannya sambil memegangi perutnya yang besar. Menggoyang-goyangkan gaunnya dengan manja."Masuk ke mobil!" Perintah Rama, tidak ingin Clara menyadari bahwa dia terpesona kali ini."Baik, tuan" Clara bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalana
Clara berjalan melewati ruang kerja Rama. Pintunya sedikit terbuka. Clara mengintip ke dalam ruangan itu. Terlihat Rama duduk menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya di atas meja. Clara melirik jam dinding. Sudah pukul 8 pagi kenapa Tuan Rama tidak berangkat kerja. Tapi Clara tidak berani mengganggunya. Clara menuju meja makan. Melihat makanan masih utuh belum tersentuh sama sekali. "Bi Imah.." Clara memanggil Bi Imah "Iya nona" Bi imah menghampiri Clara. "Kenapa makanannya masih utuh? Apa tuan Rama belum sarapan?" "Belum nona. Tadi saya sudah memanggil tuan Rama ke ruang kerjanya. Tapi tuan tidak juga bangun. Tidak biasanya tuan Rama seperti ini" jawab Bi Imah. Mendengar penjelasan Bi Imah,Clara cepat-cepat kembali ke ruang kerja Rama. Membuka pintu dan menghampiri Rama. "Tuan Rama.. Anda tidak apa-apa?" Tanya Clara. Tidak ada jawaban. Dia menempelkan tangannya ke dahi Rama. Suhu tubuhnya panas sekali. "Anda demam, tuan" Clara segera memanggil Bi Imah agar membantunya m
Hari ini seperti biasa Clara berada di taman belakang. Berjalan-jalan sambil menikmati cuaca cerah dan bunga-bunga yang mulai bermekaran. Wanita hamil harus melakukan olahraga raga ringan, setidaknya berjalan-jalan agar persalinannya nanti mudah. "Nona Clara, tuan Rama memanggil anda ke ruang kerja" tiba-tiba Bi Imah muncul. "Ada apa bi?" Tanya Clara heran. Tidak biasanya Rama memanggilnya ke ruang kerja. "Saya tidak tau, non. Sebaiknya nona datang saja ke sana" "Baiklah, Bi. Terimakasih " Clara bergegas pergi ke ruang kerja Rama. Mengetuk pintu. "Masuk!" Suara Rama terdengar dari dalam. Clara membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. "Duduk!" Kata Rama. Clara menurut dan segera duduk. "Hari ini aku akan mengatakan sesuatu padamu. Mungkin akan membuatmu sakit hati dan kemudian membenciku, tapi itu hak mu." Rama terdiam sejenak. Clara nampak kebingungan tidak mengerti apa yang ingin dikatakan oleh Rama. "Clara, bukankah kau ingin tau kenapa aku membawamu ke sini dan mengu
Rama melajukan mobilnya secepat mungkin menuju rumah sakit. Clara membuka matanya perlahan. Tubuhnya sudah terbaring di ranjang rumah sakit dan beberapa perawat mendorongnya menuju ruang operasi persalinan. Karena Clara mengalami pendarahan jadi dia harus segera di operasi Caesar untuk mengeluarkan bayinya. Udara dingin menyentuh kulitnya saat ranjangnya memasuki ruang operasi. Seorang perawat membantunya duduk. "Nona, dokter akan memberikan suntikan anestesi. Mungkin akan terasa sakit, mohon tahan sedikit " Clara memejamkan matanya. Merasakan sebuah suntikan di tulang belakangnya. Kemudian perawat kembali membantunya untuk merebahkan diri. Beberapa detik kemudian separuh tubuhnya tidak merasakan apa-apa lagi. Dokter mengecek kaki Clara memastikan sudah tidak ada rasa. Kemudian mereka memulai operasi Caesar. Clara merasa sangat mual. Kedua tangannya gemetar dan keringat dingin keluar dari keningnya. Perawat menyekanya dengan tisu. "Tidak apa, nona. Ini tidak akan sakit" perawat
Rama masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Clara dan bayinya. "Tuan, apa kau tidak ingin memberi nama untuk bayiku"? Tanya Clara. Rama mengernyitkan keningnya. Apakah Clara sudah tidak marah lagi? "Aku ingin. Tapi aku tidak tau ini pantas atau tidak" jawab Rama. "Maafkan saya, tuan. Saya terbawa emosi dan marah atas perlakuan tuan pada saya" Clara masih menatap bayinya. Mengelus kepalanya dengan lembut. "Saya sudah merenungkannya. Tindakan tuan tidak sepenuhnya salah. Mungkin jika saya yang berada di posisi itu saya juga akan melakukan hal yang sama seperti tuan" lanjut Clara. "Clara...aku...aku minta maaf" Rama merasa canggung. Selama ini dia tidak pernah mengucapkan permintaan maaf apalagi kepada orang yang statusnya ada di bawah Rama. Clara menoleh memandang Rama. "Tuan tidak perlu minta maaf. Lagipula tuan sudah mengurusku dengan baik selama ini. Kalau tidak, aku pasti akan menjadi gelandangan seperti yang tuan katakan waktu itu" "Itu artinya kau sudah memaafkanku?" T
Ini adalah novel Perdana saya. Berawal dari hobi menulis dan akhirnya mencoba untuk membuat novel di platform. Terimakasih kepada editor yang sudah memberi masukan dan sudah membantu saya. Saya masih butuh banyak belajar lagi. Mohon dukungannya untuk para pembaca yang Budiman. Jangan lupa untuk memberi masukan yang membangun untuk saya agar bisa berkarya lebih baik lagi. Kritik dan saran saya terima dengan senang hati. Saya berharap bisa menjadi penulis profesional seperti para senior-senior di sini. Terimakasih kepada para pembaca yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca novel saya. Novel ini hanya fiksi semata. Jika ada kesamaan nama tokoh ataupun kejadian, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.