Share

4. NYONYA BESAR DATANG

Keesokan harinya Clara terbangun karena ada yang mengetuk pintu. Sejenak Clara memandang ke tempat tidurnya, tidak ada yang berubah. Syukurlah berarti tidak terjadi apa-apa selama Clara tertidur.

"Nona Clara. Apakah nona sudah bangun?" Suara Bi Imah terdengar dari balik pintu.

"Iya bi..." Clara beringsut dari tempat tidurnya. Melangkahkan kakinya untuk membuka pintu.

"Sarapan nona Clara" Bi Imah masuk ke dalam kamar.

"Bibi kenapa repot-repot. Tunjukkan saja di mana dapurnya,aku akan ke sana untuk makan. Diantar seperti ini seperti nyonya besar saja"

"Nona tidak usah sungkan. Bibi sudah terbiasa melayani orang. Lagipula tuan Rama yang menyuruh agar makanan nona Clara diantar ke kamar"

"Apakah semua tamu diistimewakan seperti ini bi?" Tanya Clara.

"Tidak pernah ada tamu di rumah ini nona Clara. Paling-paling ibunya tuan Rama yang datang. Itu pun sangat jarang karena beliau tinggal di luar negeri. Menikah lagi dengan orang sana dan menetap di sana setelah 5 tahun kematian ayah tuan Rama.Tuan Rama tidak suka keramaian. Jadi rumah ini selalu sepi" jawab Bi Imah.

"Begitu rupanya. Lalu kenapa dia membawaku ke rumahnya?" Clara berbisik pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Masih heran dengan sikap Rama.

"Kalau nona bosan nona bisa pergi ke taman belakang rumah. Nanti bibi tunjukkan jalannya."

"Baik bi" balas Clara.

Tiga bulan sudah Clara berada di rumah Rama. Rama terlalu sibuk dan pulang larut malam saat Clara sudah tertidur. Jadi mereka jarang sekali bertemu. Entah kenapa Rama menahan Clara di rumahnya. Tidak diperbolehkan keluar dari rumahnya yang megah. Semua keperluan Clara dipenuhi tanpa kekurangan suatu apapun. Tapi terlalu lama di rumah itu membuat Clara seperti terpenjara dalam sangkar emas.

Perut Clara semakin terlihat membuncit. Semua orang yang bekerja di rumah Rama sudah tau bahwa Clara sedang hamil.

Sore itu Clara berjalan menikmati suasana di taman belakang. Terlihat Bi Imah sedang memberi makan ikan koi di kolam yang cukup besar yang entah ada berapa ratus ikan koi yang besar dan indah di dalamnya. Clara menghampiri Bi Imah.

"Boleh aku bantu Bi?" Tanyanya pada Bi Imah.

"Silahkan nona" Bi Imah menyerahkan makanan ikan pada Clara.

"Bagaimana kondisi kandungan nona Clara? Apakah baik-baik saja?" Tanya Bi Imah.

"Iya Bi. Setiap bulan tuan Rama mengirim dokter datang kemari untuk memeriksa kandunganku" jawab Clara.

"Tidak menyangka tuan Rama akhirnya akan punya seorang putra" Bi Imah tersenyum memandang Clara. Clara tersenyum kecut. Ini bukan anaknya, bisik Clara dalam hati. Sampai saat ini Clara tidak tau kenapa Rama memperlakukan dia seperti itu. Orang lain akan menyangka bahwa Clara adalah istrinya. Hanya saja Rama tak pernah sekalipun menyentuh Clara.

Clara melamun menatap ikan-ikan di kolam. Tidak tau dia harus senang atau sedih saat ini. Dia tidak punya siapa-siapa. Ayahnya benar-benar sudah tidak peduli. Dia telah dibuang. Satria mencampakkannya saat dia berada di titik terendah dalam hidupnya. Teman yang dianggap saudara justru menjebaknya. Lengkap sudah penderitaannya. Kemudian tiba-tiba Rama datang seperti memungut seekor kucing lusuh yang tersesat di jalanan. Membawanya ke rumahnya, merawat dan mengurungnya dalam sangkar emas.

Rama tidak mungkin mencintai Clara. Sikapnya begitu angkuh dan dingin saat berada di depan Clara.

"Bi...Bi Imah..." Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil Bi Imah. Bi Imah segera beranjak hendak menghampiri asal suara tersebut. Belum sempat Bi Imah melangkahkan kakinya, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Dia terlihat begitu anggun dan elegan. Wajahnya masih cantik dengan dandanan sederhana namun berkelas. Wanita itu memandang Clara dengan heran.

"Selamat datang nyonya besar" Bi Imah sedikit membungkukkan badan memberi hormat. Clara melihat Bi Imah dan mengikuti gerakannya meski tak tau siapa orang yang ada di depannya.

"Ini siapa bi?" Tanya wanita yang dipanggil nyonya besar itu sambil terus memperhatikan Clara. Dia adalah ibu Rama, Nyonya Triana.

"Ini nona Clara, Nyonya. Istri tuan Rama. Dia sedang mengandung anaknya tuan Rama" jelas Bi Imah. Clara tercekat. Jantungnya berdegup kencang.

"Nyonya...saya..." Clara gugup.

"Kenapa Rama tidak pernah bilang kalau dia sudah menikah? Apalagi aku akan punya cucu. Dasar anak tidak tau diri." Alih-alih marah, Nyonya Triana justru menunjukkan rasa senang. Matanya bersinar dan dia tersenyum bahagia. Clara masih kebingungan. Nyonya Triana menghampiri Clara memeluknya kemudian mengelus perut Clara.

"Lihat saja aku akan buat perhitungan dengan suamimu. Bisa-bisanya hal besar begini tidak memberitahuku" wajahnya cemberut tapi masih meninggalkan senyum bahagia. Clara tidak tau harus mengatakan apa. Dirinya merasa bahwa selama ini dia dikendalikan oleh Rama. Tidak boleh berbuat atau berbicara sesuka hati. Apalagi hal yang menyangkut ibunya dia harus berhati-hati. Jangan sampai salah bicara atau dia akan mati.

"Nyonya besar baru saja sampai. Barangkali ingin beristirahat lebih dulu. Nanti kita bisa bicara lagi setelah tuan Rama pulang." Clara tersenyum. Sebisa mungkin dia berhati-hati menjaga ucapannya.

"Iya..iya...aku memang sedikit lelah. Aku akan beristirahat dulu. Oh ya, karena kamu adalah istrinya Rama, maka kamu tidak boleh memanggilku nyonya. Panggil aku ibu" kata nyonya Triana.

"Baik Nyonya...maaf, ii...ibu" Clara masih canggung.

"Biar saya antarkan Nyonya besar ke kamar." Bi Imah mengambil koper Nyonya Triana dan mengantarkan wanita itu ke dalam kamarnya. Clara menghembuskan napasnya yang seakan tertahan sejak tadi.

Apalagi ini? Kenapa bisa makin runyam begini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status