Sementara di tempat lain, di rumah keluarga Kiara malah pada bingung dan emosi. Karena nomer HP gadis itu juga tak aktif. Sedangkan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Menghubungi Juan juga sama. Bukan tak aktif, tapi dia malah mendiamkan begitu saja.
“Heran banget. Dari kemarin terus saja bikin pusing. Sekarang apalagi alasan yang akan dia berikan saat sampai di rumah,” ujar Nadine terus mendumel.
“Kamu ngoceh terus. Bantuin dong, Nadine. Ini adik kamu pergi sama Dion, tapi Dion aja ditelpon nggak nyahut-nyahut. Masa iya belum mau pulang,” ujar Viona terus mengoceh.
Makin kesal lah Nadine. Sudah kesal gara-gara Dion mengajak Kiara pergi, sekarang saat mereka tak ada kabar malah dirinya yang ikut kena omel.
Tak lama, terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Ketiganya gegas menuju teras saat penasaran siapa yang datang. Ya, mobil Dion. Lega, saat rasa khawatir tadi akhirnya hilang.
Pintu mobil terbuka, tapi ketiganya langsung kaget saat Dion turun dari mobil dalam keadaan luka-luka. Tak dia jelaskan pun sepertinya sudah ketahuan kalau dia habis dipukuli.
“Dion kamu kenapa?” tanya Nadine langsung khawatir melihat kondisi Dion. Gegas menghampiri, hanya saja tangannya malah ditepis ketika hendak memberikan sentuhan.
“Apa yang terjadi? Dion, Kiara mana?”
Viona kembali panik karena putrinya tak pulang bersama Kiara. Apalagi mendapati Dion luka-luka dan tak ada Kiara bersama dia.
“Dion, kamu kenapa luka-luka begini dan Kiara mana?” tanya Randy.
“Anak Om dibawa kabur,” ungkap Dion.
“Maksud kamu apa bicara seperti itu?”
Randy dan Viona jelas makin panik lah saat mendengar perkataan Dion.
“Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tak dikenal masuk ke tempat acara dan membawa Kiara secara paksa,” jelas Dion.
“Kamu kalau bicara yang benar, Dion!”
“Om boleh tanya sama teman-temanku kalau nggak percaya. Karena di tempat kejadian bayak orang. Lihat, aku sampai seperti ini gara-gara diserang sama dia dan beberapa orang suruhannya,” jelas Dion.
“Trus Kiara sekarang di mana? Mama khawatir. Kalau terjadi apa-apa sama Kiara gimana, Pa,” ujar Viona pada suaminya.
Panik, sudah pasti. Apalagi dengan kondisi Dion yang babak belur begini dan tak ada Kiara yang pulang bersamanya.
Nadine mengarah pada Randy dan Viona. “Aku udah bilang kan sama mama papa ... Kiara nggak sepolos apa yang kalian pikirkan. Percaya sama aku. Dia pasti sudah sekongkol dengan laki-laki itu untuk datang dan menyerang Dion. Mereka pasti sudah janian,” jelas Nadine dengan pendapatnya.
Tak berharap jika masalah ini selesai dengan begitu saja. Semalam Kiara jelas-jelas salah karena tak pulang tanpa kabar, tapi kedua orang tuanya malah terus membela dan tak memberikan sanksi apa-apa pada gadis itu. Sekarang sepertinya tidak lagi.
Dion awalnya sedikit terdiam dan sejenak berpikir dengan apa yang Nadine katakan. Kemudian mengangguk cepat. “Nadine benar, Om. Dia memang membawa paksa Kiara awalnya, tapi akhirnya Kiara malah nurut. Bahkan saat beberapa orang menghajarku, Kiara malah menonton begitu saja,” jelasnya.
“Kiara nggak mungkin seperti itu! Saya papanya! Jangan bicara yang tidak-tidak kamu.”
“Om pikir saya mengada-ngada!”
“Papa terlalu percaya pada Kiara. Aku udah bilang berapa kali, sih. Dia itu …”
“Diam kamu!” bentak Randy pada Nadine. “Harusnya kamu menenangkan hati mama kamu, ini malah makin membuat suasana jadi panas!”
Tangan Nadine mengepal. Hatinya sakit. Dan semua ini gara-gara Kiara. Bahkan ditambah dengan penjelasan dari Dion saja masih tak cukup membuat posisi Kiara buruk.
“Jadi Kiara gimana, Pa. Kita mau cari kemana?” Viona makin cemas dan panik dengan keberadaan putrinya tak tak tahu ada di mana.
Dion tersenyum miris. “Om, aku curiga … Kiara pasti sudah pernah dipake sama tu cowok sebelumnya.”
Sebuah tampa-ran langsung mendarat di wajah Dion ketika kalimat itu dia ucapkan.
“Lancang kamu! Anak saya anak baik-baik!”
Dion langsung emosi ketika sikap Randy padanya begitu membuat harga dirinya jadi rendah. “Om tahu kan apa akibat dari sikap yang Om lakukan barusan?! Lihat saja … semua akan berakhir dalam beberapa saat. Kalian nikmati saja keterpurukan itu!”
Setelah memberikan ancaman, Dion langsung berlalu pergi dari sana dan meninggalkan area pekarangan rumah keluarga itu.
“Papa dengar kan ancaman Dion barusan? Harusnya papa tahan emosi. Kalau sudah begini gimana?”
Randy mengarah pada Nadine. “Dion mengatakan hal yang buruk tentang Kiara, kamu pikir papa akan diam saja?!” tegas Randy pada Nadine.
Nadine bersidekap dada, kemudian tersenyum seolah sedang meledek perkataan papanya. “Yasudah. Setelah ini kita persiapkan saja kehidupan jenis apa yang akan terjadi besok. Gara-gara Kiara, semua jadi berantakan. Kita akan miskin hanya dalam satu malam.”
Setelah mengatakan hal itu Nadine langsung masuk ke dalam rumah dengan wajah penuh emosi.
****
Sedangkan Kiara kini berada di sebuah kamar, dengan seorang cowok di sampingnya. Sesekali mengusap lembut wajah tidur itu, hingga akhirnya Kiara terbangun dan melakukan pergerakan. Langsung meringis dan memegangi kepalanya yang terasa begitu pusing.
Kedua matanya langsung melek dan menutup mulutnya sendiri ketika rasa tak mengenakkan itu muncul. Ditambah lagi rasa kaget dengan keberadaan seorang cowok di sampingnya.
Pusing, tapi rasa mual ini memaksanya untuk segera bangun dari posisi tidur. Gegas berlari menuju arah wastafle dan mengeluarkan semua isi dalam lambungnya. Rasanya seperti bumi sedang berguncang hebat hingga rasanya mual dan pusing.
Sebuah sentuhan bisa dirasakan oleh Kiara berada di pundaknya. Ingin mengelak dan berkomentar keras atas sikap dia, tapi masalahnya justru bikin nyaman.
Kemarin juga kondisinya tak jauh berbeda dengan ini, tapi yang sekarang rasanya lebih parah. Sampai sebadan-badannya dibuat lemas tak ada tenaga sama sekali.
Dia menyambar sebuah handuk dan mengeringkan wajah Kiara dengan lembut. Tersenyum saat mendapati wajah gadis yang ada dihadapannya tampak memerah. Malah membuat dia terlihat begitu manis.
Kiara mendorong dada dia hingga sikap itu terhenti. “Apa senyum-senyum. Kamu sedang meledekku kah?!” kesalnya ketika dia malah terlihat menjengkelkan.
“Manis sekali wajahmu.”
Tolong, ya. Ini manusia datang dari mana, sih. Masih pusing, malah dihadapkan pada dia yang benar-benar nggak jelas apa maksud dan tujuan berada di sekitarnya terus.
“Menyebalkan,” umpat Kiara berlalu dari hadapan dia dengan langkah perlahan. Hanya saja langsung kaget saat tubuhnya terasa melayang ketika cowok itu malah mengangkatnya. “Turunin aku!”
Seolah bodo amat dengan omelan dan bentakan Kiara, dia tetap saja tak menurunkannya. Kemudian membawa Kiara dan barulah menurunkan di tempat tidur.
“Tetap di sini sampai kondisimu pulih.”
“Iya, setelah itu orang tuaku akan mene-bas leherku sampai di rumah,” balas Kiara dengan perkataan yang dia berikan.
“Berani memarahimu, aku yang duluan mene-bas leher mereka.”
Kiara menyambar sebuah bantal dan melempar ke arah dia. “Nggak usah sok sok an!”
“Siapa yang sok? Kamu pikir melakukan hal itu sebegitu susahnya bagiku. Atau, kamu mau aku lakukan hal itukah?”
Tiba-tiba Kiara teringat akan sesuatu. Mengarahkan pandangannya ke sekitar. Yap, ingatan itu muncul lagi di kamar ini, bahkan dalam samar-samar pun bisa ia ingat kejadian di malam itu. Langsung menjaga jarak, kemudian menatap dia dengan tatapan intens.
“Kamu nggak melakukan tindakan yang aneh-aneh lagi kan padaku?” tanya Kiara memastikan.
“Berharap ku lakukan lagi kah?”
“Aku bertanya!”
“Sedikit.”
“Sedikit? Maumu apasih sebenarnya?!” emosi Kiara dengan jawaban yang dia berikan.
“Mau ku adalah kamu, Kiara.”
“Aku nggak mengenalmu dan kita nggak saling kenal. Kenapa kamu malah bersikap seperti itu padaku!” tegas Kiara berasa kehilangan stok kata mengahadapi manusia ini.
“Sudah ku jelaskan dari awal, kan. Kamu yang datang padaku, menginginkanku, bahkan tak mengizinkan aku untuk pergi. Jadi, bukan salahku kan menerima dengan senang hati. Kiara, aku benar-benar menginginkan kamu.”
Kiara beranjak dari posisinya dan hendak melangkah pergi, tapi laki-laki itu dengan cepat menghadang langkahnya.
“Aku nggak akan membiarkan kamu pergi lagi, Kiara.”
“Kamu nggak berhak mengaturku!”
Tersenyum tipis, kemudian melangkah maju hingga membuat posisinya dan Kiara berada dalam jarak dekat. “Tapi kamu juga bisa menyadari dengan sendiri nya kan, jika aku bahkan lebih baik dari laki-laki itu. Dibandingkan dengan dia yang kamu kenal, justru malah memilih ikut bersamaku.”
“Ya karena posisinya tadi dia yang lebih membahayakan!”
Langsung menarik Kiara ke arahnya dan melingkarkan lengannya di badan dia.
“Lepaskan! Kamu jangan bersikap macam-macam lagi padaku!” Kiara bersikeras untuk lepas, tapi sayangnya rengkuhan dia di badannya dan pegangan dia di tangannya membuatnya tak bisa lepas dengan mudah.
“Kamu benar,” balasnya. “Dia lebih membahayakan daripada aku, Kiara. Jadi, bagaimana? Bukankah lebih baik bersamaku daripada bersama dia. Terlambat sedikit saja aku menyelamatkanmu tadi, sepertinya kamu akan berakhir di ranjang.”
“Apa bedanya denganmu!” emosi Kiara.
“Kamu milikku, jelas aku berhak padamu,” tegasnya langsung mendorong Kiara hingga roboh ke atas ranjang dan menindih tubuh gadis itu.
Kiara berniat bangun, tapi itu hanya keinginan belaka karena kedua tangannya bahkan dia kunci. Adegan ini, posisi ini, wajah yang begitu jelas terekam dalam ingatannya ... samar-samar bisa Kiara ingat.
“Kamu ...”
“Bagaimana, Kiara. Ingat kan adegan ini? Kita menikmatinya, melakukannya berdua. Bukan ku paksa, tapi kamu yang datang padaku.”
Tangan Kiara mengepal, seperti sebuah bom yang tertahan untuk meledak. Matanya terpejam, napasnya tercekat di tenggorokan saat hembusan napas dan ciuman itu menerpa lehernya.
“Kamu milikku, Kiara. Hanya aku yang boleh melakukan ini padamu, bukan laki-laki lain termasuk Dion,” bisiknya dengan tenang, tapi nada tegas itu membuat tubuh Kiara meremang.
“Aku bukan milikmu. Jadi jangan berharap seperti itu,” balas Kiara berusaha membalas kata-kata dia.
Perlahan, yang tadinya hanya menjelajahi lekuk lehernya, sekarang justru tindakan dia makin turun. Jangan katakan kalau dia akan mengulang tindakan itu lagi.
“Sean, stop!”
Ya, Sean. Nama yang bahkan tak ingin Kiara ucapkan dan sebut, tapi akhirnya keluar juga dari mulutnya. Tak pernah ingin tahu apalagi mengingat, tapi tetap saja seolah terekam dalam ingatannya. Sean mengulas senyuman puas atas apa yang barusan ia dengar. Yang tadinya hanya melingkarkan lengannya di badan Kiara, kini benar-benar membawa dia dalam dekapannya sepenuhnya.“Aku belum pernah menyebut namaku padamu. Kenapa kamu bisa tahu, hem?”Kiara bungkam. Karena apa? Karena nama itu samar-samar terdengar dan ada dalam ingatannya.“Kamu mengingat adegan saat kita ...”“Diam kamu!” sanggah Kiara menghentikan perkataan Sean.Bukan hanya kesal dan emosi, ia berasa harga dirinya juga seolah diinjak oleh Sean kalau sampai dia berpikir ia memikirkannya. Ya bagaimana nggak kepikiran kan, kalau masalahnya sebesar itu.“Kiara ... bagaimana perasaanmu? Lebih merasa aman di mana, saat bersamaku atau justru saat bersama dia, hem?”“Kamu hanyalah orang asing dan aku nggak kenal! Sudah pasti kamu nggak
Sementara di tempat lain, di rumah keluarga Kiara malah pada bingung dan emosi. Karena nomer HP gadis itu juga tak aktif. Sedangkan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Menghubungi Juan juga sama. Bukan tak aktif, tapi dia malah mendiamkan begitu saja.“Heran banget. Dari kemarin terus saja bikin pusing. Sekarang apalagi alasan yang akan dia berikan saat sampai di rumah,” ujar Nadine terus mendumel.“Kamu ngoceh terus. Bantuin dong, Nadine. Ini adik kamu pergi sama Dion, tapi Dion aja ditelpon nggak nyahut-nyahut. Masa iya belum mau pulang,” ujar Viona terus mengoceh.Makin kesal lah Nadine. Sudah kesal gara-gara Dion mengajak Kiara pergi, sekarang saat mereka tak ada kabar malah dirinya yang ikut kena omel.Tak lama, terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Ketiganya gegas menuju teras saat penasaran siapa yang datang. Ya, mobil Dion. Lega, saat rasa khawatir tadi akhirnya hilang.Pintu mobil terbuka, tapi ketiganya langsung kaget saat Dion turun dari
Kiara mendorong Dion hingga tangan dia yang mencengkeram lehernya terlepas. Langsung terbatuk-batuk karena napasnya sesak dan lehernya sakit.Dion beranjak dari sana, kemudian mengambil satu gelas minuman dan menyodorkan pada Kiara."Untukmu.”"Aku nggak mau," tolak Kiara masih dengan rasa sakit di lehernya bekas cekikan tangan kasar Dion.Yang lain malah tertawa melihat adegan itu."Dion sepertinya benar. Kiara barang ori, dikasih minuman yang bikin melayang saja dia nolak.""Nggak tahu saja kalau udah nyobain rasanya bikin nagih," sahut seorang cewek.Juan tersenyum menatap Kiara. "Kamu dengar, kan. Ini hari untuk bersenang-senang, Sayang. Jadi aku tentu saja nggak akan menikmatinya sendirian. Ada kamu kekasihku yang tentunya akan ku ajak untuk menikmatinya bersama. Percayalah, jika kamu mencobanya akan membuatmu ketagihan.”"Aku nggak mau!" bentak Kiara.Dion memaksa Kiara untuk meneguk minuman yang ia siapkan, meskipun gadis itu bersikeras untuk menolak. Seolah jadi tontonan, yang
"Jam berapa?" tanya Kiara langsung. Malas banget memperpanjang urusan dan obrolan dengan dia."Sebentar lagi ku jemput.""Iya."Niat hati ingin tidur seharian demi menenangkan otaknya yang sedang stress, Dion malah ngajak jalan.Kalau bukan karena orang tuanya yang ngotot, sudah pasti ia menjauh dari manusia bernama Dion. Belum jadi suaminya saja sudah mode maksa dan ngatur, apalagi kalau sudah nikah. Bisa-bisa ia bundir karena stress.Kiara berjalan menuju arah lemari pakaian. Mengambil sebuah stelan rok selutut dan atasan senada, dengan bawahan sepatu kets. Mengenakan make-up tipis-tipis sebagai riasan.Turun menuju lantai bawah dan menghampiri mamanya yang ada di teras samping."Parah banget sih. Baru juga pulang, udah pergi lagi."Bukan Viona yang komentar, tapi justru Nadine. Kiara tak menghiraukan perkataan kakaknya itu. Agak kesal karena kejadian semalam."Ma, aku izin mau pergi sama Dion.""Bohong ya.""Apasih, Kak. Semua perkataanku kamu bilang bohong terus.""Nggak yakin aja
Belum sempat Disa menyahut, tiba–tiba ponsel milik Kiara berdering. Tulisan “Mama” terpampang pada layar ponsel tersebut."Tenang-tenang. Sekarang lo jawab." Disa berbisik. “Tumbalin gue aja deh. Bilang aja lo di rumah gue. Anggap aja tadi gue bohong kasih jawaban."Melihat Kiara frustasi begitu, gimana Disa bisa tenang. Minimal bisa bantu biar nggak kena omel orang tuanya aja dulu udah aman sih."Halo, Ma.""Kamu benar-benar bikin mama emosi, ya! Dicariin ke mana-mana juga. Bilang, kamu dari mana dan ke mana?! Dari semalam nggak pulang-pulang!"Disa sampai ikutan ngeri mendengar omelan mamanya Kiara. Kayaknya beneran marah. Karena biasanya mode ngomel, tapi ini emosinya lebih wah."Cepetan pulang!""I-iya, Ma."Kiara langsung menutup percakapan dengan Viona, mamanya. Kemudian menarik napas panjang dan membuang perlahan."Rileks, Kiara. Lo tenang. Kalau muka lo tegang begitu, semua bakalan curiga,” ucap sahabatnya. Ia kemudian membantu menyamarkan tanda di kulit Kiara dengan foundatio
Kiara langsung kaget. Karena tiba-tiba wanita itu muncul di hadapannya entah dari mana."Aku mau ..."Langsung, Kiara lari dengan begitu cepat keluar dari rumah itu saat melihat secercah cahaya harapan. Lebih tepatnya, ketika melihat pintu keluar. Rumah ini terlalu luas, hingga ia bingung mencari mana pintu utama. Bisa-bisa malah muter-muter doang di sini."Nona ... Anda jangan pergi!" panggil wanita itu langsung mengejar Kiara. Bahkan memancing beberapa orang lainnya yang sepertinya memang pekerja di rumah ini.Sampai di teras, dikira sudah aman. Malah makin rumit. Dua orang penjaga langsung menghadangnya."Nona, Anda mau ke mana?""Aku mau pulang.""Nona harus tunggu Tuan dulu.""Bodo amat sama Tuan kalian!"Kiara kembali mengecoh dua penjaga itu hingga berhasil lolos. Makin mempercepat langkah dan dengan cepat membuka pagar. Ini telat sedikit saja ia bisa langsung kembali ditangkap. Untungnya, keberuntungan seolah sedang berpihak padanya. Saat mereka semua mendapatkannya, Kiara su
Bukannya memberikan jawaban, laki-laki itu malah tersenyum menyeringai dan melangkah mendekati Kiara. Menatap dia dari atas hingga bawah dengan tatapan yang aneh."Bukankah kamu yang merengek-rengek minta ikut denganku. Kenapa sekarang kesannya sedang memberikan tuduhan padaku?"Kiara menggeleng cepat."Nggak mungkin! Kita nggak kenal. Ngapain aku ikut denganmu?"Laki-laki itu kembali melangkah maju, tapi Kiara malah mundur hingga posisinya terdesak dan terduduk di pinggir tempat tidur.Sedikit menunduk, mensejajarkan dengan posisi Kiara, kemudian meletakkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan hingga membuat posisi gadis itu berada dalam kungkungannya."Nggak mungkin?" tanyanya. Kemudian tersenyum. "Tapi aku masih ingat dan bisa merasakan sikapmu yang manja itu.""Diam!""Hem, kenapa? Itu hal yang menyenangkan dan ya ... aku suka saat kamu begitu liar."Kiara langsung mendorong dia dari hadapannya hingga menjauh."Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak. Kamu pikir aku gadis macam a
“Uh … panas sekali….”Kiara melangkah terseok-seok sembari menarik-narik bajunya. Jalannya sudah sempoyongan dan bahkan nyaris jatuh beberapa kali. Tangannya yang bebas berpegangan pada pembatas jalan.Ada yang aneh dengan tubuhnya, Kiara menyadari hal itu. Seharusnya gadis itu menjemput kakaknya di ruang pesta di dalam. Namun, kakaknya justru menghilang dan setelah meminum segelas minuman yang diberikan oleh kakaknya, tubuh Kiara mulai tidak bisa dikendalikan.Seakan-akan dia sedang dibakar dari dalam!Gadis itu mengarahkan pandangan pada jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang, kemudian melambaikan tangan pada sebuah mobil yang lewat. Ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah turun dari trotoar, otomatis membuat kendaraan itu berhenti mendadak saat Kiara tiba-tiba muncul di depan sana.Mengira itu adalah taksi, Kiara langsung masuk ke kursi penumpang."Ck, jahat sekali mereka," keluhnya mulai memejamkan kedua mata. Merasa pusing."Siapa?" Sebuah suara bariton menanggapi gumaman Kiara.