LOGINMalam ini langit Jakarta tampak seperti permadani gelap dengan benang-benang cahaya dari lampu gedung bertingkat. Dari lantai tertinggi kantor Rencon Group, Damian berdiri mematung, tangan disilangkan di depan dada. Di balik kaca besar itu, matanya menatap ke kejauhan ke arah gedung tempat musuhnya berdiri kokoh, PT Kamaya Global, kerajaan bisnis yang dibangun oleh ayah Kana dan kini dipimpin oleh anak kesayangannya.
Damian tak berkedip. Di balik ketenangan raut wajahnya, otaknya bekerja seperti mesin perang. Sunyi ruangan bukan kesepian, melainkan ruang konsentrasi, tempat strategi dirancang dan dendam dijahit. Dentuman pelan dari sepatu kulit Satria terdengar mendekat. Pria itu tak banyak bicara kecuali jika diminta. Asisten pribadi yang lebih mirip algojo diam. Hari ini ia membawa kabar penting. Map cokelat tebal di tangannya tampak berat, seolah membawa lebih dari sekadar data. “Penyelidikan selesai,” ucap Satria tanpa basa-basi. Damian berbalik, mengambil map itu dan membuka halaman pertamanya dengan teliti. Ia duduk di kursi kulit hitamnya, membaca perlahan tapi penuh tekanan emosional. Identitas Subjek: Aluria Vasya Zain Alias: Riri Usia: 27 Tahun Status: Menikah Pasangan: Kana Adiwangsa, putra tunggal pemilik Adiwangsa Group Pendidikan: S1 Desain Komunikasi Visual, Universitas Trimarga Riwayat Pekerjaan: Pemilik PT Diamond Aluri, yang si bangunnya sebelum menikah Catatan Khusus: Menikah dengan dijodohkan lima tahun lalu. Zain Group dan Adiwangsa Group merger perusahaan. Dimana satu perusahaan di bawah naungan Zain Group akan kolaps, lalu di merger PT Kamaya Global. Pernikahan tanpa publikasi sosial Tidak memiliki aset pribadi sejak pernikahan. Keluarga Aluria menganggap Aluria sebagai aset. Jadi setelah menikah Aluria tidak pernah terdengar menghubungi keluarganya, terkecuali berhubungan dengan perusahaan. Aluria bukan anak kandung dari Istri Fattah Zain. Ia anak perempuan hasil perselingkuhan Fattah dengan salah satu artis ibu kota. Ibunya meninggal karena kanker dua puluh tahun lalu, sejak itu Aluria di bawa ayahnya untuk di asuh. Pernikahan mereka terkenal harmonis. Diketahui Kana berselingkuh dengan Sabrina Pattler. Sepupu jauh Kana, yang juga menjabat Wakil direktur utama. Damian mendesah pelan. "Jadi Riri dijadikan bidak keluarganya sendiri," katanya, lebih pada dirinya sendiri. Satria mengangguk. Damian menatap kosong ke arah jendela. Hatinya seperti diremas. Riri mungkin melupakan sosok Damian. Tapi Damian tak akan melupakannya. Ada fakta yang tersembunyi. Riri sebenarnya wanita yang disukainya. Damian berteman dengan Bobby, Kakak Riri. Namun dulu ia belum memiliki kekuatan untuk meminang Riri. Alhasil Damian mendapat kabar Riri menikah dengan Kana. Jika waktu itu ia lebih berani, Riri mungkin tak akan dilibatkan dalam rencana busuknya Tapi semua sudah lewat. Kini bukan waktu menyesal. Ini waktu membalikkan keadaan. “Kana,” gumam Damian. “Kau sudah merebut banyak dariku. Sekarang waktuku mengambil balik. Bukan hanya Riri, tapi juga tahtamu.” Satria duduk di kursi seberang. “Strategi?” Damian membuka file lain di laptopnya. Laporan keuangan kuartal terakhir PT Kamaya Global terbuka dengan grafik menurun di salah satu divisi pengembangan produk. Ia mengetuk layar pelan. “Divisi baru mereka merugi dua kuartal terakhir. Mereka akan butuh mitra strategis. Kita tawarkan merger parsial. Kita main di ranah digital dan layanan kreatif. Perusahaan fiktif kita yang akan kita bangun seminggu ini, akan tampil sebagai penyelamat.” Satria menyambung, “Tapi begitu mereka merger, kita tarik likuiditas mereka. Dana kampanye digital kita isap perlahan, legal tapi destruktif. Setelah itu...” “Setelah itu,” Damian tersenyum licik, “mereka kolaps, dan aku datang sebagai penyelamat tunggal yang membeli aset inti. Termasuk kantor pusat, termasuk hak kepemilikan saham mayoritas.” Satria diam beberapa detik. “Terlalu kejam.” Damian mendongok. “Apa aku kelihatan seperti orang yang main damai, Sat?” “Tidak,” jawabnya cepat. “Tapi saya hanya ingin Anda sadar, Riri bukan bidak. Jika Anda mencampurkan emosi ke strategi ini, Anda akan kehilangan arah.” Damian terdiam. Matanya memejam. Nama itu muncul dengan aroma bunga melati Sentuhan semalam, membuatnya bahagia. Fakta bahwa ia menjadi yang pertama, adalah sesuatu yang membuatnya terkejut, sekaligus bangga. Ia tahu peringatan Satria benar. Tapi ia juga tahu, luka tidak bisa sembuh tanpa penebusan Dan dalam pikirannya, penebusan itu adalah menghancurkan orang yang telah menghancurkan hidup Riri. “Justru karena aku masih mencintainya, aku tidak akan gagal.” Satria bangkit. “Saya akan siapkan tim legal untuk membuat dokumen merger. Dan satu hal lagi—” Matanya menatap kosong, napasnya menggantung. Tiba-tiba strategi bisnis berubah menjadi perang pribadi. Riri bukan hanya luka masa lalu. Tapi karenanya ia kini memiliki alasan yang lebih kuat untuk menghancurkan segala Kana. Damian menutup map itu. "Kita mulai perlahan. Buat Arkana menangis darah kehilangan segalanya." "Riri?" tanya Satria. Karena sebelumnya Riri tidak masuk dalam rencana mereka. "Riri adalah pion yang tepat untuk kita gunakan." "Kuharap anda tak akan menyesalinya, karena jika Riri mengetahui niatmu. ia mungkin akan membencimu." Damian mengepalkan tangannya. Semua resiko akan di tempuhnya asalkan Kana ambruk di depan matanya. Empat hari telah berlalu sejak malam penuh luka itu. Di rumah, Riri menjelma menjadi sosok yang dingin. Kata-katanya hemat, senyumnya tipis, dan sorot matanya kosong. Kana yang memang tengah disibukkan proyek barunya tak menyadari perubahan itu. Ia bahkan membiarkan Riri tidur di kamar tamu tanpa bertanya mengapa. Hari ini, Riri mendampingi Kana menghadiri peluncuran produk dari perusahaan yang akan menjalin kerja sama dengan Kamaya Global. Riri mendampingi Kana dengan menggunakan long sleeve dress hitam dengan punggung terbuka, dipadukan makeup bold yang tajam. Penampilan yang jauh berbeda dari biasanya. Tapi malam ini, ia ingin sesuatu berbeda. Bukan demi siapa pun. Hanya demi dirinya. "Kamu cantik sekali, sayang," bisiknya sembari memasuki ballroom hotel. Riri membalas dengan senyum tipis. Berpura-pura bahagia. Sesuatu yang kini semakin mudah. “Sini, aku kenalkan dengan rekan-rekanku,” ajak Kana, membimbing Riri ke tengah kerumunan pria berdasi. Namun langkah Riri seketika melambat. Damian. Ia berdiri di sana, tegap, mengenakan jas hitam, dengan gelas sampanye di tangannya. Matanya langsung mengunci pada Riri seakan dunia sekitar hilang suara. "Sayang, orang ini yang bikin aku nggak bisa pulang tepat waktu," kata Kana dengan nada bercanda, menyentuh pinggang Riri. Damian mengulurkan tangan. “Damian,” ucapnya datar. “Aluria,” sahut Riri, berusaha terdengar tegas. Tangannya dingin saat menyambut salam Damian. Kontak itu cepat, tapi cukup untuk membangkitkan badai dalam dada masing-masing. Riri buru-buru mengalihkan pandangan ke rekan-rekan lain. Setelah beberapa basa-basi, melihat Kana larut dalam obrolan, Riri berbisik, “Aku ke toilet.” Kana hanya mengangguk tanpa memandangnya. Mata Damian mengikuti punggung Riri. "Permisi saya mau angkat telepon dulu," pamit Damian pada rekannya. Lalu melangkah menjauhi mereka. "Satria, Riri sedang menuju toilet, setelah dia masuk. Jangan biarkan orang memasuki toilet dalam setengah jam. Ada yang harus aku lakukan disana!" perintah Damian melalui sambungan telepon.Saat fajar menyingsing di Jakarta, menandai keberhasilan misi penyelamatan di Spanyol, Abimanyu bergerak. Ia telah menerima konfirmasi dari Aldrich bahwa Damian dan Riri selamat, dan Dimitri telah dilumpuhkan. Kini saatnya menutup simpul di Indonesia.Tim pengawasan Abimanyu memastikan Budi Santoso masih berada di apartemen Menteng, tampak gelisah, mungkin karena komunikasinya dengan Dimitri terputus.Abimanyu memimpin tim kecil, terdiri dari agen keamanannya yang paling tepercaya, termasuk beberapa personel dari tim Adiwangsa Balian yang dipanggil kembali. Aurelia ada di dalam mobil di lokasi tersembunyi, seperti yang ia janjikan, hatinya dipenuhi campuran ketakutan dan tekad baja.Tim Abimanyu bergerak cepat dan senyap. Mereka mematikan aliran listrik di lantai apartemen Budi sebelum mendobrak pintu.Budi Santoso terkejut saat melihat beberapa pria berpakaian hitam bersenjata mengepung ruang tamunya. Ia mencoba meraih telepon, tetapi Abimanyu sudah berdiri di hadapannya, tatapannya
Malam telah tiba di pegunungan terpencil dekat Granada. Dinginnya angin malam menusuk, tetapi Aldrich dan Arkana tidak merasakannya. Mereka memarkir mobil mereka beberapa kilometer dari cortijo tua itu dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Aldrich memimpin, gerakannya senyap dan efisien, sepenuhnya kembali pada keahliannya sebagai Rayzen yang terlatih. Arkana mengikutinya, meskipun ia seorang pengusaha, adrenalin dan amarah telah mengasah insting lamanya. Aldrich memegang perangkat komunikasi yang terhubung langsung dengan tim pengintai ABG yang sudah berada di perimeter. "Status?" bisik Aldrich melalui earpiece. "Lima pria bersenjata di perimeter, Tuan Aldrich. Dua di gerbang depan, satu di belakang, dua melakukan patroli di halaman. Ada tiga mobil di gudang samping. Satu mobil di antaranya adalah van pengangkut," lapor suara operator ABG. "Target di dalam. Kami mengamati ada dua sosok yang terlihat melalui jendela lantai atas; kemungkinan mereka Tuan Damian dan Nyonya
Setibanya di Barcelona, energi kota yang ramai terasa kontras dengan ketegangan yang menyelimuti Aldrich dan Arkana. Mereka tidak membuang waktu. Marcus, kontak Aldrich, sudah mengatur pertemuan di sebuah klub malam yang sepi di kawasan Gothic Quarter—tempat pertemuan yang sempurna untuk urusan yang membutuhkan kerahasiaan dan bayangan. Di sudut tersembunyi, diterangi cahaya remang-remang dari lilin di atas meja, mereka bertemu dengan Diego. Pria itu bertubuh besar, dengan mata yang tajam dan sikap yang angkuh. "Tuan Rayzen," sapa Diego dengan sedikit senyum mengejek, mengacu pada nama lama Aldrich. "Saya dengar Anda sudah pensiun. Saya tidak tahu kalau operasi pencarian orang hilang termasuk dalam daftar layanan pensiunan Anda." Aldrich tidak tersenyum. Ia mendorong amplop tebal berisi uang tunai Euro yang telah disiapkan Arkana. "Nama saya Aldrich Wira. Pria ini adalah kakak saya, Arkana. Kami mencari dua pria: Budi Santoso dan Nobel. Mereka beroperasi di Spanyol, mungkin terkait
Setelah menutup telepon, Aldrich dan Arkana duduk berhadapan. Di antara mereka, laptop masih menampilkan wajah Budi Santoso dari foto lama. Pria berusia lima puluhan dengan wajah keras dan mata yang licik."Kita harus ke Barcelona," kata Aldrich tiba-tiba. "Marcus punya kontak di sana yang mengelola pasar informasi gelap. Jika Nobel ada di Spanyol, orang-orang itu pasti tahu."Arkana mengangguk. "Polisi Madrid akan tiba siang ini untuk mengambil alih investigasi resmi. Tapi kita tidak bisa menunggu birokrasi mereka. Kita bergerak sekarang, dengan cara kita sendiri.""Kakak yakin?" tanya Aldrich, menatap kakaknya tajam. "Cara kita berarti cara yang tidak bersih. Ini caraku sebagai Rayzen."Arkana menatap balik adiknya dengan mata yang berkilat dingin. Sesuatu yang jarang terlihat di wajah pengusaha tenang ini. "Mereka mengambil Papa dan Mama, Al. Mereka menyeret keluarga kita ke dalam permainan kotor mereka. Jika mereka mau bermain kotor, kita akan bermain lebih kotor."Aldrich terseny
Pagi itu, matahari baru saja menyingsing di langit Málaga ketika ponsel Aldrich berdering keras. Ia yang baru tertidur sebentar langsung terbangun, meraih ponsel dengan refleks yang terlatih."Rayzen," suara Kenzie terdengar tegang di seberang. "Kami menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat tidak kami harapkan."Aldrich langsung bangkit, berjalan ke meja kerja sambil menyalakan laptop. "Bicara.""Kami berhasil melacak perpindahan uang mencurigakan yang masuk ke Spanyol tiga minggu sebelum orangtua anda tiba di sana. Jumlahnya besar, hampir dua juta euro. Uang itu ditransfer melalui serangkaian perusahaan cangkang, tapi kami berhasil menelusuri sumbernya.""Darimana?" tanya Aldrich, jantungnya mulai berdegup kencang."Jakarta, Rayzen. Dan yang lebih mengejutkan, uang itu berasal dari rekening yang terhubung dengan nama lama. Budi Santoso."Aldrich membeku. Nama itu seperti pukulan langsung ke ulu hatinya. Budi Santoso. Teman satu sel Candra di penjara dulu. Pria yang seharusnya sudah tid
Di kamar sebelah, Aldrich duduk di meja kerjanya, laptop terbuka, menghubungi satu per satu jaringan yang pernah ia bangun saat masih menjadi Rayzen. Kini, jaringan itu telah ia transformasikan menjadi bagian dari Adiwangsa Balian Group, perusahaan keamanan swasta warisan dari Candra yang telah ia ambil alih dan kelola dengan cara yang lebih legal, setidaknya di permukaan. Layar laptopnya menampilkan wajah seorang pria Asia berusia empat puluhan dengan bekas luka di pipi kiri. Namanya Kenji, mantan anggota yakuza Jepang yang kini menjadi kepala operasional Adiwangsa Balian Group di Asia. "Rayzen," sapa Kenji dengan hormat. "Sudah lama anda tidak menghubungi kami dengan nada seperti ini." "Ini darurat, Kenji. Orangtuaku diculik di Spanyol. Aku butuh semua intelijen yang kalian punya tentang jaringan kriminal yang beroperasi di Eropa Barat, khususnya yang memiliki motif balas dendam terhadapku atau keluargaku." Haruto mengangguk, wajahnya serius. "Kami akan langsung mengaktifkan jar







