Riri berjalan cepat, tumit stilettonya menjejak lantai marmer. Di balik pintu toilet hotel yang sepi, ia menopang kedua tangannya di atas wastafel. Ia menatap bayangannya di cermin. Hatinya bergejolak. Detik demi detik berlalu. Tapi tiba-tiba, sepasang tangan melingkar dari belakang, menariknya lembut.
"Damian?" bisik Riri tercekat. Tubuhnya diputar, dan di sanalah pria itu berdiri, menariknya masuk ke salah satu bilik. Matanya gelap. Penuh kerinduan dan hasrat. “Kamu terlihat luar biasa malam ini,” gumam Damian. “Aku nyaris gila menahan diri untuk tidak menyentuhmu sejak kamu masuk ballroom.” Tanpa aba-aba Damian langsung mencium kasar bibir Riri. Kerinduan Riri pada sentuhan Damian membawanya membalas ciuman itu lebih dalam. Keduanya saling menghisap, melumat, bertukar saliva tanpa peduli mereka berada di ruang sempit. Tangan Damian mengusap turun naik punggung Riri yang tak tertutup benang, sebelah tangannya meremas dada Riri dengan sedikit kasar, membuat Riri melenguh. "Damian, kita tak seharusnya—” bisik Riri. “Aku tahu,” potongnya. “Tapi kamu tidak bisa berpura-pura tak merasakannya juga.” Damian kembali membenamkan wajahnya ke leher Riri, menghisapnya dalam, sengaja ingin meninggalkan bekas. Tapi ketika tangan Riri menahan dadanya dengan lembut namun tegas, Damian akhirnya menarik diri. Sorot mata Riri berubah, ada ketakutan, ada ragu, tapi juga ada gairah yang menggulungnya. Riri mendorong dadanya perlahan. "Damian," bisiknya, nyaris tak terdengar. “Kita harus kembali.” "Ada yang salah?" tanyanya, napasnya masih berat, mata masih dipenuhi bara. "Kita... tak seharusnya di sini," ucapnya lirih, menghindari tatapan mata Damian. "Aku datang ke sini sebagai istri Kana. Dan kamu tahu itu." "Aku tak peduli." Damian kembali melumat telinga Riri. "Ini toilet perempuan." Riri masih berusaha mengindar. "Siapapun tak akan bisa masuk. Hanya ada kita." Damian kembali mencium Riri dengan kelaparan yang tak tersembuhkan. Desah napas keduanya menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruang sempit bilik. Riri menjambak rambut Damian yang tengah mengulum telinganya. Lidah Damian bermain disana, menimbulkan hasrat yang semakin tinggi menguasai dirinya. Tangan Damian meremas dua bulatan bokong Riri, yang membuatnya semakin menggeliat, bibirnya digigit berusaha tak menimbulkan suara. Hingga Damian memutar tubuh Riri, agar membelakanginya. Kedua tangannya dibimbing agar bertumpu pada dudukan toilet, Gaun panjangnya di singkap sampai pinggang. Dengan sabar Damian berjongkok melepas celana dalam hitam milik Riri. Lalu memisahkan kedua kaki wanita yang kini hanya diam mengikuti Damian. Tanpa banyak basa basi, Damian langsung mengulum, menghisap lipatan merah milik Riri. Rasa asin dari cairan gairah, disedotnya lebih kencang, membuat Riri tak mampu menahan gejolak orgasme yang segera datang. Dalam hitungan detik gelombang itu datang. kedua kakinya bergetar hebat. Damian kembali berdiri, ia membuka kaitan celana dan resleting. Membebaskan kejantanan yang sudah menegang sejak melihat Riri memasuki Ballroom hotel. Riri yang masih menikmati klimaksnya, langsung melenguh merasakan Damian menusukan kejantannya ke dalam lubang surgawi miliknya. Riri semakin menggigit bibirnya, menahan desahan yang lebih kencang. Sambil memacu pinggulnya, ibu jarinya dimasukan ke dalam mulut Riri untuk melepaskan gigi Riri yang menggigit bibirnya sendiri. Riri langsung menghisap kuat ibu jari Damian, membuat Damian semakin menggeram, memacu pinggulnya lebih kuat. Riri menggelengkan kepalanya, mulutnya semakin kuat menghisap ibu jari Damian. gelombang itu akan datang kembali, bersamaan dengan Damian yang akan mendapatkan klimaksnya juga. "Keluarkan sayang, keluarkan desahanmu jangan ditahan. Tak akan ada orang yang mendengar," bisi Damian. suaranya serak. Mematuhi Damian, Riri melenguh kencang merasakan klimaks kedua kalinya. Disusul Damian yang juga menggeram, Kejantanannya di dorong lebih dalam, hingga cairannya memenuhi Riri. Perlahan Damian melepaskan diri dari penyatutan. meraih tisu dan mengelap cairan yang menetes di paha Riri. Keduanya terengah, lalu tertawa kecil bersama. "Kamu selalu luar biasa, sayang," ucap Damian seraya membenahi gaun Riri seperti semula. Riri hanya memutar tubuhnya menghadap Damian. Ia terlalu lelah untuk menimpali perkataan Damian. "Aku menyesal lemah terhadapmu," jawab Riri jujur. "Aku menyukai sisi dirimu yang lemah, sayang," Damian menarik Riri dalam pelukannya. Mencium pelipisnya. "Ini belum selesai. Ayo kita lanjutkan di tempat yang lebih baik daripada toilet," kelakar Damian menunjuk sampah di sudut toilet. Riri tertawa pelan. "Kamu gila. Aku kemari bersama suamiku." "Sudah kubilang kita tak bisa melakukannya lagi," timpal Riri sedikit menyesal termakan gairah. "Tapi kenyataannya kita melakukannya lagi." Riri memejamkan mata. "Tolong menyingkir. Jangan sampai Kana memergoki kita disini." "Aku tak peduli," jawab Damian tetap menghalangi pintu. "Aku peduli. Jika kamu ingin mengulanginya, kamu harus membiarkanku keluar sekarang!" geram Riri. Damian mengangkat alisnya. Riri memberikannya sinyal hijau. "Baiklah. Temui aku, besok malam di hotel tempat malam pertama kita," ucap Damian. "Besok aku tak bis–" "Aku tak menerima penolakan. Akan ku kirim nomor kamarnya. Sebagai jaminan menahan celana dalammu." Damian menunjukan celana dalam Riri, lalu memasukannya di saku celananya. "Damian!" sentak Riri tak terima. "Aku akan mengembalikannya besok, sayang." "Sekarang! Kembalikan sekarang. Aku tak nyaman tak memakai dalaman," jawab Riri terdengar ragu. "Kamu akan tetap nyaman, bayangkan saja milikku ada di dalamnya," goda Damian. Riri mendelik, Damian terkekkeh. Terhibur melihat Riri marah. Percuma mendebat pria di depannya. "Menyingkirlah!" Riri menggeser tubuh Damian. Tanpa melawan lagi Damian menggeser tubuhnya, dan membiarkan Riri keluar. Riri melangkah keluar dari toilet dengan wajah muram. Diluar ia melihat seseorang berjaga, memegang papan bertulisan toilet sedang dalam perbaikan. "Pantas saja, tak seorang pun masuk kesana," gerutu Riri melangkah masuk kembali ke Balroom. Ia berharap Kana tak menyadari penampilannya sedikit berantakan. Damian yang mengikutinya dari belakang, tersenyum penuh kemenangan. "Booking hotel untuk besok malam," perintahnya pada Satria yang sudah berpura-pura menjadi penjaga toilet.Rumah besar itu berdiri kokoh dan angkuh di tengah pekarangan luas yang basah oleh gerimis. Pagar tinggi berlapis baja berdiri tegak mengitari seluruh area, dihiasi kawat berduri di atasnya. Kamera pengawas menatap setiap sudut, lampu taman menyoroti jalan setapak berlapis batu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar tertiup angin.Di dalam rumah, keheningan terasa menakutkan, seakan udara pun menahan napas.Dua bodyguard bersenjata patroli di halaman depan, sementara yang lain memantau layar monitor di ruang keamanan. Lampu-lampu taman menyinari jalan setapak yang basah oleh gerimis, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar.Sedan abu-abu berhenti di ujung jalan, lampunya dimatikan. Dari dalam mobil, pria berjaket kulit menekan tombol kecil di earphone.“Fattah meninggalkan lokasi. Target utama ada di dalam rumah. Perintah selanjutnya?”Suara berat di telinga menjawab datar, nyaris tanpa emosi.“Lumpuhkan semua pengamanan. Ambil dia malam ini. Jangan ada suara.”Pri
Riri duduk bersandar di tepi ranjang, jemari halusnya mengusap perutnya yang perlahan membesar. Usia kandungannya memasuki lima bulan, dan tubuhnya mulai terasa berat. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, rambutnya tergerai kusut tanpa hiasan. Televisi di sudut ruangan masih menayangkan breaking news penangkapan Candra, mertuanya, yang diarak keluar dari mansion keluarga Kana dengan tangan diborgol. Kilatan kamera wartawan menyilaukan, suara reporter bertubi-tubi seperti peluru yang menghujani telinga.Klik.Ia mematikan televisi. Keheningan mendadak terasa mencekam. Dadanya naik-turun cepat, napasnya berat. Bayangan Kana terlintas di benaknya, pria yang pernah begitu ia cintai. Meski kini lelaki itu mengkhianatinya, rasa iba tetap menyelinap masuk ke dalam hatinya.Air mata menetes, membasahi pipinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir penyesalan yang menghantam bagai ombak."Semua ini… dimulai karena aku," gumamnya.Ingatan itu kembali, malam di mana ia dengan tangan sendiri
Di lantai teratas Recon Tower, ruang kerja Damian terasa seperti benteng modern. Jendela kaca setinggi langit-langit memperlihatkan panorama Jakarta siang itu yang diliputi mendung. Hujan tipis menempel di kaca, seolah ikut menjadi saksi permainan kekuasaan yang sedang berlangsung.Damian duduk di kursinya yang besar, satu tangan memegang cangkir kopi hitam, tangan lainnya memegang ponsel. Senyumnya samar, tatapan matanya tajam. Di meja kerjanya, beberapa dokumen berserakan, laporan pergerakan saham Kamaya, daftar investor yang mulai berpindah ke pihaknya. Laptopnya tengah menampilkan rekaman video penangkapan Candra yang sedang viral. Sedangkan di televisi sedang disiarkan konferensi pers secara live. Kepala kepolisian menjelaskan bahwa percobaan pembunuhan terhadap Damian, berhasil digagalkan berkat keberanian salah satu anggota kepolisian sekaligus anggota pengamanan Candra yang menembak mati pelaku. Satria berdiri di samping Damian, menatap layar dengan ekspresi puas. “Langkah
Sirene polisi meraung di halaman depan rumah mewah Candra, memecah kesunyian kawasan elit itu. Puluhan mobil patroli berjejer, lampu rotator berputar menyoroti fasad rumah megah yang tampak dingin.Di balik pagar tinggi, beberapa pria berseragam hitam lengkap dengan rompi antipeluru bergerak cepat, menutup setiap pintu masuk. Senjata mereka terangkat, pandangan mata waspada.Pintu utama rumah itu terbuka lebar. Candra berdiri di anak tangga dengan pakaian santai, kemeja putih dan celana kain. Namun ketenangan di wajahnya terlihat dipaksakan. Di belakangnya, beberapa bodyguard pribadinya tampak tegang, namun tak berani bertindak gegabah di hadapan aparat bersenjata.“Pak Candra,” ujar seorang perwira polisi berpangkat Komisaris, suaranya lantang. “Kami mendapat surat perintah penangkapan Anda atas dugaan percobaan pembunuhan terhadap Saudara Damian, CEO Recon Group. Mohon ikut dengan kami untuk pemeriksaan lebih lanjut.”Candra menyipitkan mata, senyum dingin tersungging di bibirnya. “
Felix terengah-engah memasuki ruangan kerja Kana. Jasnya setengah basah oleh hujan, napasnya berat, wajahnya pucat.“Pak… ada masalah besar,” ucapnya cepat, menutup pintu di belakangnya.Kana yang sedang menatap layar laptop berisi grafik saham Kamaya Group yang terus merosot, mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah karena kurang tidur, namun tatapannya tetap tajam.“Masalah apa lagi, Felix?” tanyanya datar, suaranya berat.Felix menelan ludah, lalu mendekat ke meja. “Soal… rencana Pak Candra terhadap Damian.”Kana langsung tegang. “Apa maksudmu?”Felix menghela napas panjang, suaranya sedikit bergetar. “Tadi malam… Pak Candra mengatur pertemuan dengan Damian di restoran Hotel. Restoran itu di-booking penuh. Tapi… ternyata itu jebakan. Penembak jitu disiapkan untuk menghabisi Damian. Sayangnya…” Felix berhenti sejenak, menatap Kana dengan wajah cemas. “…yang mati malah penembaknya sendiri. Damian lolos. CCTV hotel sudah disita polisi. Kita belum tahu apakah media sudah mencium kab
Restoran hotel bintang lima itu tampak seperti sebuah dunia lain malam itu. Aroma mewah yang biasanya menjadi ciri khasnya masih memenuhi udara. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, membuatnya berkilau bagaikan istana modern. Musik instrumental piano yang lembut terdengar samar dari speaker tersembunyi, memberi kesan elegan yang biasanya menenangkan. Namun malam ini, ketenangan itu terasa menyesakkan. Semua meja kosong, tak ada tamu lain, tak ada pelayan berlalu-lalang.Kecuali dua meja yang saling berhadapan di tengah ruangan.Damian duduk tegak di kursinya, jas hitamnya rapi, dasinya terpasang sempurna. Namun di balik penampilan itu, sorot matanya tajam seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Jari-jarinya yang kokoh bertaut di atas meja, tubuhnya condong sedikit ke depan, menunjukkan kewaspadaan sekaligus kendali diri.Di depannya, Candra duduk santai, dengan jas abu-abu terang dan dasi burgundy yang tampak mencolok. Ta