LOGINRiri berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang masih dingin oleh udara pagi. Ia menatap gagang pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya memutarnya perlahan.
Pintu terbuka tanpa suara. Aroma kopi menguar dari dapur. Suara detik jam dinding terdengar begitu nyaring di ruang tamu yang kosong. Tak ada suara televisi. Tak ada suara musik. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut. Riri masuk dengan langkah pelan. Kemeja yang ia kenakan semalam kusut dan lecek, rambutnya setengah basah tak beraturan. Ia menggantung payungnya di belakang pintu, melepas sepatunya tanpa suara. Dari ruang makan, langkah tergesa terdengar. "Riri?" Suara Kana. Datar, tapi penuh nada cemas yang coba disembunyikan. Riri menoleh pelan. Wajah Kana tampak letih. Rambutnya acak-acakan, kantung matanya menghitam. Ia masih mengenakan kaus dan celana training. Ponselnya ada di tangan. "Ke mana kamu semalam?" tanyanya. Riri menatapnya. Diam. Lalu berjalan melewati Kana tanpa sepatah kata pun. "Aku telepon kamu berkali-kali. Aku cari ke kantor, ke rumah mama, nggak ada yang tahu." Riri membuka kulkas, mengambil botol air mineral, lalu menuangkannya ke gelas. "Nginep di hotel," jawabnya akhirnya. Tenang. Dingin. Kana meneguk ludah. "Sendirian?" Riri menatapnya sekilas, lalu mengangkat bahu. "Menurut kamu?" Kana diam. Riri meminum air dalam satu tegukan, lalu meletakkan gelas di meja. Ia menatap suaminya lebih lama kali ini. "Sendiri. Aku sendirian di hotel," jawab Riri, melihat wajah Kana tampak menyelidikinya. "Kenapa kamu kelihatan panik?" "Tentu saja aku panik. Kamu hilang tanpa kabar." Riri berjalan menuju tangga. "Aku cuma butuh sendiri." "Apa ada masalah?" tanya Kana, suaranya mulai pelan. "Mama dan Papamu melakukan sesuatu yang menekanmu lagi? Kakak-kakak-mu?" tanya Kana tak menyembunyikan kekhawatirannya. Kana begitu paham posisi Riri di keluarganya. Oleh karena itu Riri menerima perjodohannya dengan Kana. Ia berniat melarikan diri dari keluarganya sendiri. Riri menghela napas. Matanya membalas tatapan Kana. Ingin sekali ia berteriak, "Kamu penyebabnya!" Tapi mulutnya bungkam. Ia masih bingung apa yang harus dilakukannya setelah mengetahui Kana berselingkuh. "Bukan. Mereka sudah lama tak menggangguku." Kana melangkah lebih dekat dengan Riri. "Aku lelah. Sekarang aku akan memakai kamar tamu." Kana mengerenyit heran. "Ada apa? Apa ada salah yang aku lakukan?" Riri tersenyum kecil. Kana memperhatikannya lekat. Tanpa menjawab, Riri melanjutkan langkahnya naik ke atas. Melewati kamar mereka berdua. Hati Riri berdenyut nyeri. Ia tak ingin menoleh, walaupun hanya menatap pintunya saja. Kilasan adegan dua orang yang tengah memacu diri untuk kenikmatan berputar di kepalanya. Anehnya adegan itu tumpang tindih dengan adegan persetubuhannya bersama Damian. Riri menggeleng keras. mencoba menghapus bayangan pria yang tadi ia tinggalkan begitu saja, setelah mengantarnya. Memasuki amar masih tamu. Riri duduk di meja rias. Disana tirai terbuka separuh. Ranjang tertata tanpa kerutan. Mungkin berbeda dengan kamar utama, yang meninggalkan jejak dua orang yang kini dibencinya. Riri melepaskan mantelnya. Menyisir rambutnya yang masih lembab. Saat ia hendak mencepol rambutnya. Warna merah terlihat jelas di kulit lehernya. Damian menghisapnya begitu kuat, hingga meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan hilang selama seminggu. Riri menghela nafas berat. Wajah Damian begitu jelas diingatannya, menggeser adegan Kana dan Sabrina. Damian dan sentuhannya, ciumannya, tatapan lembutnya. Semuanya membuat Riri kembali meremang. Riri menggeleng pelan, mencoba menepis bayangan, tapi justru kilasan itu datang lebih jelas. Sentuhan jemari Damian di kulitnya. Bisikannya yang serak saat menyebut namanya. Ciuman panas yang menyusuri leher, lalu dadanya. Lidahnya yang tak segan menjelajah, menggali segala sisi tubuhnya yang selama ini tak pernah dijamah siapa pun. Ia ingat bagaimana tubuhnya melengkung saat Damian menyentuhnya di tempat terdalam. Bagaimana napasnya tercekat, lalu tumpah dalam desahan panjang yang belum pernah ia keluarkan. Rasanya seperti lahir kembali. Ia membiarkan dirinya terjatuh ke atas ranjang. Tubuhnya menggigil, tapi bukan karena dingin. Namun perasaan diinginkannya semalam, kembali menaunginya. Perasaan itu, kenikmatan itu, semuanya masih hidup di kulit dan pikirannya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kembali tak beraturan. Damian, lelaki yang memandangnya seolah ia satu-satunya wanita di dunia. Ponselnya bergetar. Satu pesan dari nomor tak dikenal: "Aku harap kamu baik-baik saja pagi ini. Damian" Riri menatap layar ponsel itu lama. Lalu menghapus pesan itu tanpa membalas. "Aku harus menyudahi semua ini. Jangan sampai aku terlarut dalam perasaan ini," gumamnya. Riri akhirnya memutuskan kembali mandi, membersihkan tubuhnya untuk kedua kalinya. Ia berharap bisa menghapus semua jejak Damian yang membuatnya menginginkan hal itu lagi. Kalau ia mengingat terus sentuhan Damian. Ia merasa akan menjadi Kana bersi yang lainnya. Berselingkuh dengan kedok membalas perselingkuhan. Ia tak ingin melakukan itu. Riri melangkah keluar dengan handuk di rambutnya. Ponselnya terlihat kembali menyala. Riri meraih ponselnya. Masih nomor yang sama. Berarti itu Damian. "Aku mencemaskanmu. Tolong cukup balas dengan mengatakan kamu baik-baik saja." Chat lain kembali masuk, masih Damian. "Kalau kamu tak membalasnya, jangan salahkan aku yang akan menerobos masuk kendalam rumahmu. Aku masih ada di depan rumahmu." Mata Riri membelalak. Ia takut Damian melakukan hal nekat. Jarinya bergerak membalas pesan Damian. "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang terjadi. Tolong tepati janjimu untuk melupakan semua yang terjadi di antara kita." Riri menggenggam ponselnya erat. Berharap apa yang di putuskannya hal yang tepat.Saat fajar menyingsing di Jakarta, menandai keberhasilan misi penyelamatan di Spanyol, Abimanyu bergerak. Ia telah menerima konfirmasi dari Aldrich bahwa Damian dan Riri selamat, dan Dimitri telah dilumpuhkan. Kini saatnya menutup simpul di Indonesia.Tim pengawasan Abimanyu memastikan Budi Santoso masih berada di apartemen Menteng, tampak gelisah, mungkin karena komunikasinya dengan Dimitri terputus.Abimanyu memimpin tim kecil, terdiri dari agen keamanannya yang paling tepercaya, termasuk beberapa personel dari tim Adiwangsa Balian yang dipanggil kembali. Aurelia ada di dalam mobil di lokasi tersembunyi, seperti yang ia janjikan, hatinya dipenuhi campuran ketakutan dan tekad baja.Tim Abimanyu bergerak cepat dan senyap. Mereka mematikan aliran listrik di lantai apartemen Budi sebelum mendobrak pintu.Budi Santoso terkejut saat melihat beberapa pria berpakaian hitam bersenjata mengepung ruang tamunya. Ia mencoba meraih telepon, tetapi Abimanyu sudah berdiri di hadapannya, tatapannya
Malam telah tiba di pegunungan terpencil dekat Granada. Dinginnya angin malam menusuk, tetapi Aldrich dan Arkana tidak merasakannya. Mereka memarkir mobil mereka beberapa kilometer dari cortijo tua itu dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Aldrich memimpin, gerakannya senyap dan efisien, sepenuhnya kembali pada keahliannya sebagai Rayzen yang terlatih. Arkana mengikutinya, meskipun ia seorang pengusaha, adrenalin dan amarah telah mengasah insting lamanya. Aldrich memegang perangkat komunikasi yang terhubung langsung dengan tim pengintai ABG yang sudah berada di perimeter. "Status?" bisik Aldrich melalui earpiece. "Lima pria bersenjata di perimeter, Tuan Aldrich. Dua di gerbang depan, satu di belakang, dua melakukan patroli di halaman. Ada tiga mobil di gudang samping. Satu mobil di antaranya adalah van pengangkut," lapor suara operator ABG. "Target di dalam. Kami mengamati ada dua sosok yang terlihat melalui jendela lantai atas; kemungkinan mereka Tuan Damian dan Nyonya
Setibanya di Barcelona, energi kota yang ramai terasa kontras dengan ketegangan yang menyelimuti Aldrich dan Arkana. Mereka tidak membuang waktu. Marcus, kontak Aldrich, sudah mengatur pertemuan di sebuah klub malam yang sepi di kawasan Gothic Quarter—tempat pertemuan yang sempurna untuk urusan yang membutuhkan kerahasiaan dan bayangan. Di sudut tersembunyi, diterangi cahaya remang-remang dari lilin di atas meja, mereka bertemu dengan Diego. Pria itu bertubuh besar, dengan mata yang tajam dan sikap yang angkuh. "Tuan Rayzen," sapa Diego dengan sedikit senyum mengejek, mengacu pada nama lama Aldrich. "Saya dengar Anda sudah pensiun. Saya tidak tahu kalau operasi pencarian orang hilang termasuk dalam daftar layanan pensiunan Anda." Aldrich tidak tersenyum. Ia mendorong amplop tebal berisi uang tunai Euro yang telah disiapkan Arkana. "Nama saya Aldrich Wira. Pria ini adalah kakak saya, Arkana. Kami mencari dua pria: Budi Santoso dan Nobel. Mereka beroperasi di Spanyol, mungkin terkait
Setelah menutup telepon, Aldrich dan Arkana duduk berhadapan. Di antara mereka, laptop masih menampilkan wajah Budi Santoso dari foto lama. Pria berusia lima puluhan dengan wajah keras dan mata yang licik."Kita harus ke Barcelona," kata Aldrich tiba-tiba. "Marcus punya kontak di sana yang mengelola pasar informasi gelap. Jika Nobel ada di Spanyol, orang-orang itu pasti tahu."Arkana mengangguk. "Polisi Madrid akan tiba siang ini untuk mengambil alih investigasi resmi. Tapi kita tidak bisa menunggu birokrasi mereka. Kita bergerak sekarang, dengan cara kita sendiri.""Kakak yakin?" tanya Aldrich, menatap kakaknya tajam. "Cara kita berarti cara yang tidak bersih. Ini caraku sebagai Rayzen."Arkana menatap balik adiknya dengan mata yang berkilat dingin. Sesuatu yang jarang terlihat di wajah pengusaha tenang ini. "Mereka mengambil Papa dan Mama, Al. Mereka menyeret keluarga kita ke dalam permainan kotor mereka. Jika mereka mau bermain kotor, kita akan bermain lebih kotor."Aldrich terseny
Pagi itu, matahari baru saja menyingsing di langit Málaga ketika ponsel Aldrich berdering keras. Ia yang baru tertidur sebentar langsung terbangun, meraih ponsel dengan refleks yang terlatih."Rayzen," suara Kenzie terdengar tegang di seberang. "Kami menemukan sesuatu. Sesuatu yang sangat tidak kami harapkan."Aldrich langsung bangkit, berjalan ke meja kerja sambil menyalakan laptop. "Bicara.""Kami berhasil melacak perpindahan uang mencurigakan yang masuk ke Spanyol tiga minggu sebelum orangtua anda tiba di sana. Jumlahnya besar, hampir dua juta euro. Uang itu ditransfer melalui serangkaian perusahaan cangkang, tapi kami berhasil menelusuri sumbernya.""Darimana?" tanya Aldrich, jantungnya mulai berdegup kencang."Jakarta, Rayzen. Dan yang lebih mengejutkan, uang itu berasal dari rekening yang terhubung dengan nama lama. Budi Santoso."Aldrich membeku. Nama itu seperti pukulan langsung ke ulu hatinya. Budi Santoso. Teman satu sel Candra di penjara dulu. Pria yang seharusnya sudah tid
Di kamar sebelah, Aldrich duduk di meja kerjanya, laptop terbuka, menghubungi satu per satu jaringan yang pernah ia bangun saat masih menjadi Rayzen. Kini, jaringan itu telah ia transformasikan menjadi bagian dari Adiwangsa Balian Group, perusahaan keamanan swasta warisan dari Candra yang telah ia ambil alih dan kelola dengan cara yang lebih legal, setidaknya di permukaan. Layar laptopnya menampilkan wajah seorang pria Asia berusia empat puluhan dengan bekas luka di pipi kiri. Namanya Kenji, mantan anggota yakuza Jepang yang kini menjadi kepala operasional Adiwangsa Balian Group di Asia. "Rayzen," sapa Kenji dengan hormat. "Sudah lama anda tidak menghubungi kami dengan nada seperti ini." "Ini darurat, Kenji. Orangtuaku diculik di Spanyol. Aku butuh semua intelijen yang kalian punya tentang jaringan kriminal yang beroperasi di Eropa Barat, khususnya yang memiliki motif balas dendam terhadapku atau keluargaku." Haruto mengangguk, wajahnya serius. "Kami akan langsung mengaktifkan jar







