Beranda / Rumah Tangga / Terjebak Dendam dan Gairah / 3. Dengannya aku diinginkan

Share

3. Dengannya aku diinginkan

Penulis: QueenShe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 07:19:41

Sinar matahari pagi menyusup lewat celah tirai kamar. Hangatnya perlahan menyentuh kulit Riri yang masih terlelap, menggeliat pelan di atas ranjang empuk yang tak dikenalnya.

Kelopak matanya terbuka setengah. Ia mengerjap, perlahan mulai sadar dari tidur panjang yang terasa seperti kabur dari kenyataan. Tapi tubuhnya terasa aneh.

Kosong. Ringan. Tapi juga berat.

Tubuhnya bergerak pelan, hingga punggungnya menempel di dada bidang pria yang tengah tertidur. Napas lembut menyapu bahunya.

Deg.

Siapa dia?

Riri terdiam. Matanya melebar seiring kenyataan yang menyergapnya. Tubuh Damian masih terlelap, sebagian tubuhnya menyelimuti punggung Riri. Hangat. Laki-laki itu memeluknya dari belakang erat, seperti enggan melepaskan.

Riri menunduk. Selimut hanya menutupi area pinggang sampai kaki. Dada telanjangnya terpampang jelas.

Lalu tangannya meraba bagian pahanya. Telanjang. Ia benar-benar telanjang.

Dada naik-turun dengan napas yang kini memburu. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Perlahan, potongan-potongan malam tadi mulai kembali satu per satu ke dalam kepalanya.

Kana dan Sabrina.

Berkenalan.

Aku Damian.

Ciuman panas.

Desahan pelan.

Tangan Damian yang menyusuri tubuhnya.

Napas mereka yang berpadu.

Erangan.

Penyatuan tubuh.

Getaran tubuhnya yang merasakan puncak untuk pertama kalinya.

Dan...

Kalimat yang diucapkannya.

"Aku ingin kamu memilikiku..."

Tubuhnya menegang. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Napasnya tercekat. Perasaan sesak menguar dari dada, bercampur malu, getir, dan sedikit penyesalan.

Apa yang baru saja ia lakukan?

Kenapa ia menyerahkan semuanya kepada pria yang bahkan tak ia kenal lebih dari satu malam?

Tangannya gemetar saat menarik selimut lebih tinggi, menyembunyikan tubuhnya yang masih lekat dengan jejak semalam. Ia ingin bangun. Kabur. Tapi pelukan Damian terlalu erat. Dan anehnya, begitu nyaman.

Riri memutar tubuhnya perlahan menghadap Damian. Menatap profil tampan Damian yang masih tertidur dengan damai. Dada pria itu naik-turun tenang. Tak ada tanda-tanda penyesalan. Seakan semalam hanya bentuk kasih sayang pasangan.

Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak tahu pasti, apakah itu air mata malu, luka, atau hanya sekadar kelelahan karena akhirnya ia merasakan keintiman yang tertunda lima tahun lamanya.

Namun, saat itu pula, Damian menggeliat pelan dan membuka mata. Tatapan mereka bertemu.

Riri buru-buru memalingkan wajah, menatap langit-langit tapi Damian menahannya. Menyentuh pipi Riri dengan punggung jarinya yang hangat. Menghapus air mata di sana.

“Pagi…” ucapnya dengan suara serak baru bangun.

Riri tidak membalas.

“Maaf, kalau aku terlalu jauh semalam.” Damian menarik napas. "Aku tahu kamu mabuk, dan bukan maksudku memanfaatkan keadaanmu itu.”

Riri tetap diam. Matanya menatap Damian dalam. Napasnya tak stabil.

“Aku ingat semuanya,” gumam Riri akhirnya.

“Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Damian, jujur. Tanpa tekanan.

Riri mengatupkan rahangnya. “Bingung. Malu. Ngerasa bodoh.”

Damian tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekat, mengecup bahu telanjang Riri lembut.

“Kalau kamu mau pergi, aku nggak akan menahanmu. Tapi aku berharap kamu tetap di sini, mandi, lalu kita sarapan. Setelahnya aku akan mengantarmu pulang."

Riri menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku bahkan belum selesai menangisi rumah tanggaku. Dan sekarang…”

“Sekarang kamu adalah Riri. Yang memiliki hak atas dirimu sendiri, dan tubuhmu,” potong Damian pelan. “Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah karena itu.”

Riri menatapnya. Lama. Wajah Damian begitu dekat. Terlalu tenang. Tapi membuat dadanya makin sesak.

“Damian…” bisiknya. “Kamu baru saja tidur dengan istri orang.”

Damian tersenyum tipis.

“Bagiku kamu bukan milik siapa-siapa. Kamu Riri. Dan mulai dari semalam, kamu milikku.”

Riri mengerjap. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar merasa dilihat sebagai Riri. Bukan sebagai objek pengembangan bisnis, dan istri pajangan.

Namun, dunia di luar kamar itu tetap menunggu. Kenyataan tetap akan datang mengetuk.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya juga, Riri tidak tahu harus pulang ke mana.

Dalam diam, Damian bangkit perlahan dari ranjang, memerhatikan Riri yang masih melamun, matanya menerawang ke langit-langit seolah mencari jawaban dari segala yang terjadi.

Damian tak berkata apa-apa. Hanya menatap. Beberapa detik kemudian ia bangkit. Mengecup dahi Riri dengan lembut.

“Ayo mandi,” bisiknya.

Riri menoleh pelan, alisnya sedikit terangkat. “Sendiri aja…”

Damian tersenyum samar. “Biar aku bantu. Air hangat bisa bantu kamu lebih tenang.”

Riri terdiam. Ada jeda. Ada ragu. Ia tak menjawab, hanya membiarkan Damian menarik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, hening, namun penuh makna. Tak ada gairah terburu-buru seperti malam tadi, yang ada hanya kehangatan yang tenang dan perasaan samar yang mulai tumbuh tanpa nama.

Kamar mandi itu lapang, dindingnya dipenuhi embun karena uap air hangat yang telah mengisi ruangan. Damian menyalakan shower, mengatur suhu, lalu berdiri di sana telanjang, namun tak terlihat menuntut. Ia hanya menatap Riri yang berdiri di sampingnya, telanjang juga.

“Kalau kamu nggak nyaman…”

Riri menggeleng. Matanya memerah, bukan karena takut. Tapi karena mungkin ini pertama kalinya ia merasa diperlakukan seperti perempuan, bukan sekadar istri di atas kertas.

Ia melangkah masuk di bawah kucuran air. Uap hangat menyelimuti tubuh mereka, membentuk kabut tipis di antara napas yang teratur.

Damian meraih sabun cair, meneteskan sedikit di telapak tangan, lalu mengusap lembut bahu Riri. Sentuhannya ringan, seolah tak ingin menyakiti, hanya menenangkan. Riri memejamkan mata, membiarkan Damian membersihkannya, bukan karena dia tak bisa, tapi karena untuk pertama kalinya, dia ingin merasa dimanja. Disayangi. Dilihat.

Damian menggosok bulatan dadanya perlahan, membuat Riri mendesah pelan.

“Semalam, kamu memberiku bagian dari dirimu yang belum pernah kamu bagi dengan siapa pun,” gumam Damian di dekat telinganya. “Aku bahagia.”

Riri menggigit bibir. Punggungnya menempel di dada Damian. Tangan Damian pun telah kembali menjelajah tubuh sensitif Riri.

Damian tak bertanya. Membiarkan Riri menikmati jarinya yang keluar masuk di lubang surgawinya, hingga Riri larut dalam klimaksnya untuk sekian kali. Setelahnya Damian kembali memasuki. Lebih liar dari semalam.

Di tengah guyuran air dan keheningan itu, di belakangnya Damian terus memacu miliknya. Riri akhirnya merasa menjadi diinginkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Dendam dan Gairah   96. Penculikan

    Rumah besar itu berdiri kokoh dan angkuh di tengah pekarangan luas yang basah oleh gerimis. Pagar tinggi berlapis baja berdiri tegak mengitari seluruh area, dihiasi kawat berduri di atasnya. Kamera pengawas menatap setiap sudut, lampu taman menyoroti jalan setapak berlapis batu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar tertiup angin.Di dalam rumah, keheningan terasa menakutkan, seakan udara pun menahan napas.Dua bodyguard bersenjata patroli di halaman depan, sementara yang lain memantau layar monitor di ruang keamanan. Lampu-lampu taman menyinari jalan setapak yang basah oleh gerimis, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar.Sedan abu-abu berhenti di ujung jalan, lampunya dimatikan. Dari dalam mobil, pria berjaket kulit menekan tombol kecil di earphone.“Fattah meninggalkan lokasi. Target utama ada di dalam rumah. Perintah selanjutnya?”Suara berat di telinga menjawab datar, nyaris tanpa emosi.“Lumpuhkan semua pengamanan. Ambil dia malam ini. Jangan ada suara.”Pri

  • Terjebak Dendam dan Gairah   95. Titik Lokasi

    Riri duduk bersandar di tepi ranjang, jemari halusnya mengusap perutnya yang perlahan membesar. Usia kandungannya memasuki lima bulan, dan tubuhnya mulai terasa berat. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, rambutnya tergerai kusut tanpa hiasan. Televisi di sudut ruangan masih menayangkan breaking news penangkapan Candra, mertuanya, yang diarak keluar dari mansion keluarga Kana dengan tangan diborgol. Kilatan kamera wartawan menyilaukan, suara reporter bertubi-tubi seperti peluru yang menghujani telinga.Klik.Ia mematikan televisi. Keheningan mendadak terasa mencekam. Dadanya naik-turun cepat, napasnya berat. Bayangan Kana terlintas di benaknya, pria yang pernah begitu ia cintai. Meski kini lelaki itu mengkhianatinya, rasa iba tetap menyelinap masuk ke dalam hatinya.Air mata menetes, membasahi pipinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir penyesalan yang menghantam bagai ombak."Semua ini… dimulai karena aku," gumamnya.Ingatan itu kembali, malam di mana ia dengan tangan sendiri

  • Terjebak Dendam dan Gairah   94. Akhir Candra

    Di lantai teratas Recon Tower, ruang kerja Damian terasa seperti benteng modern. Jendela kaca setinggi langit-langit memperlihatkan panorama Jakarta siang itu yang diliputi mendung. Hujan tipis menempel di kaca, seolah ikut menjadi saksi permainan kekuasaan yang sedang berlangsung.Damian duduk di kursinya yang besar, satu tangan memegang cangkir kopi hitam, tangan lainnya memegang ponsel. Senyumnya samar, tatapan matanya tajam. Di meja kerjanya, beberapa dokumen berserakan, laporan pergerakan saham Kamaya, daftar investor yang mulai berpindah ke pihaknya. Laptopnya tengah menampilkan rekaman video penangkapan Candra yang sedang viral. Sedangkan di televisi sedang disiarkan konferensi pers secara live. Kepala kepolisian menjelaskan bahwa percobaan pembunuhan terhadap Damian, berhasil digagalkan berkat keberanian salah satu anggota kepolisian sekaligus anggota pengamanan Candra yang menembak mati pelaku. Satria berdiri di samping Damian, menatap layar dengan ekspresi puas. “Langkah

  • Terjebak Dendam dan Gairah   93. Kemenangan Damian pertama

    Sirene polisi meraung di halaman depan rumah mewah Candra, memecah kesunyian kawasan elit itu. Puluhan mobil patroli berjejer, lampu rotator berputar menyoroti fasad rumah megah yang tampak dingin.Di balik pagar tinggi, beberapa pria berseragam hitam lengkap dengan rompi antipeluru bergerak cepat, menutup setiap pintu masuk. Senjata mereka terangkat, pandangan mata waspada.Pintu utama rumah itu terbuka lebar. Candra berdiri di anak tangga dengan pakaian santai, kemeja putih dan celana kain. Namun ketenangan di wajahnya terlihat dipaksakan. Di belakangnya, beberapa bodyguard pribadinya tampak tegang, namun tak berani bertindak gegabah di hadapan aparat bersenjata.“Pak Candra,” ujar seorang perwira polisi berpangkat Komisaris, suaranya lantang. “Kami mendapat surat perintah penangkapan Anda atas dugaan percobaan pembunuhan terhadap Saudara Damian, CEO Recon Group. Mohon ikut dengan kami untuk pemeriksaan lebih lanjut.”Candra menyipitkan mata, senyum dingin tersungging di bibirnya. “

  • Terjebak Dendam dan Gairah   92. Kana melepaskan diri

    Felix terengah-engah memasuki ruangan kerja Kana. Jasnya setengah basah oleh hujan, napasnya berat, wajahnya pucat.“Pak… ada masalah besar,” ucapnya cepat, menutup pintu di belakangnya.Kana yang sedang menatap layar laptop berisi grafik saham Kamaya Group yang terus merosot, mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah karena kurang tidur, namun tatapannya tetap tajam.“Masalah apa lagi, Felix?” tanyanya datar, suaranya berat.Felix menelan ludah, lalu mendekat ke meja. “Soal… rencana Pak Candra terhadap Damian.”Kana langsung tegang. “Apa maksudmu?”Felix menghela napas panjang, suaranya sedikit bergetar. “Tadi malam… Pak Candra mengatur pertemuan dengan Damian di restoran Hotel. Restoran itu di-booking penuh. Tapi… ternyata itu jebakan. Penembak jitu disiapkan untuk menghabisi Damian. Sayangnya…” Felix berhenti sejenak, menatap Kana dengan wajah cemas. “…yang mati malah penembaknya sendiri. Damian lolos. CCTV hotel sudah disita polisi. Kita belum tahu apakah media sudah mencium kab

  • Terjebak Dendam dan Gairah   91. Pertemuan Musuh

    Restoran hotel bintang lima itu tampak seperti sebuah dunia lain malam itu. Aroma mewah yang biasanya menjadi ciri khasnya masih memenuhi udara. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, membuatnya berkilau bagaikan istana modern. Musik instrumental piano yang lembut terdengar samar dari speaker tersembunyi, memberi kesan elegan yang biasanya menenangkan. Namun malam ini, ketenangan itu terasa menyesakkan. Semua meja kosong, tak ada tamu lain, tak ada pelayan berlalu-lalang.Kecuali dua meja yang saling berhadapan di tengah ruangan.Damian duduk tegak di kursinya, jas hitamnya rapi, dasinya terpasang sempurna. Namun di balik penampilan itu, sorot matanya tajam seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Jari-jarinya yang kokoh bertaut di atas meja, tubuhnya condong sedikit ke depan, menunjukkan kewaspadaan sekaligus kendali diri.Di depannya, Candra duduk santai, dengan jas abu-abu terang dan dasi burgundy yang tampak mencolok. Ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status