Sinar matahari pagi menyusup lewat celah tirai kamar. Hangatnya perlahan menyentuh kulit Riri yang masih terlelap, menggeliat pelan di atas ranjang empuk yang tak dikenalnya.
Kelopak matanya terbuka setengah. Ia mengerjap, perlahan mulai sadar dari tidur panjang yang terasa seperti kabur dari kenyataan. Tapi tubuhnya terasa aneh. Kosong. Ringan. Tapi juga berat. Tubuhnya bergerak pelan, hingga punggungnya menempel di dada bidang pria yang tengah tertidu. Napas lembut menyapu bahunya. Deg. Siapa dia? Riri terdiam. Matanya melebar seiring kenyataan yang menyergapnya. Tubuh Damian masih terlelap, sebagian tubuhnya menyelimuti punggung Riri. Hangat. Laki-laki itu memeluknya dari belakang erat, seperti enggan melepaskan. Riri menunduk. Selimut hanya menutupi area pinggang sampai kaki. Dada telanjangnya terpampang jelas Lalu tangannya meraba bagian pahanya. Telanjang. Ia benar-benar telanjang. Dada naik-turun dengan napas yang kini memburu. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Perlahan, potongan-potongan malam tadi mulai kembali satu per satu ke dalam kepalanya. Kana dan Sabrina. Berkenalan. Aku Damian. Ciuman panas. Desahan pelan. Tangan Damian yang menyusuri tubuhnya. Nafas mereka yang berpadu. Erangan. Penyatuan tubuh. Getaran tubuhnya yang merasakan puncak untuk pertama kalinya. Dan... Kalimat yanh diucapkannya. "Aku ingin kamu memilikiku..." Tubuhnya menegang. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Napasnya tercekat. Perasaan sesak menguar dari dada, bercampur malu, getir, dan sedikit penyesalan. Apa yang baru saja ia lakukan? Kenapa ia menyerahkan semuanya kepada pria yang bahkan tak ia kenal lebih dari satu malam? Tangannya gemetar saat menarik selimut lebih tinggi, menyembunyikan tubuhnya yang masih lekat dengan jejak semalam. Ia ingin bangun. Kabur. Tapi pelukan Damian terlalu erat. Dan anehnya, begitu nyaman. Riri memutar tubuhnya perlahan menghadap Damian. Menatap profil tampan Damian yang masih tertidur dengan damai. Dada pria itu naik-turun tenang. Tak ada tanda-tanda penyesalan. Seakan semalam hanya bentuk kasih sayang pasangan. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak tahu pasti, apakah itu air mata malu, luka, atau hanya sekadar kelelahan karena akhirnya ia merasakan keintiman yang tertunda lima tahun lamanya. Namun, saat itu pula, Damian menggeliat pelan dan membuka mata. Tatapan mereka bertemu. Riri buru-buru memalingkan wajah, menatap langit-langit tapi Damian menahannya. Menyentuh pipi Riri dengan punggung jarinya yang hangat. Menghapus air mata disana. “Pagi…” ucapnya dengan suara serak baru bangun. Riri tidak membalas. “Maaf, kalau aku terlalu jauh semalam.” Damian menarik napas. "Aku tahu kamu mabuk, dan bukan maksudku memanfaatkan keadaanmu itu.” Riri tetap diam. Matanya menatap Damian dalam. Nafasnya tak stabil. “Aku ingat semuanya,” gumam Riri akhirnya. “Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Damian, jujur. Tanpa tekanan. Riri mengatupkan rahangnya. “Bingung. Malu. Ngerasa bodoh.” Damian tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekat, mengecup bahu telanjang Riri lembut. “Kalau kamu mau pergi, aku nggak akan menahanmu. Tapi aku berharap kamu tetap disini, mandi, lalu kita sarapan. Setelahnya aku akan mengantarmu pulang. Riri menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku bahkan belum selesai menangisi rumah tanggaku. Dan sekarang…” “Sekarang kamu adalah Riri. Yang memiliki hak atas dirimu sendiri, dan tubuhmu,” potong Damian pelan. “Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah karena itu.” Riri menatapnya. Lama. Wajah Damian begitu dekat. Terlalu tenang. Tapi membuat dadanya makin sesak. “Damian…” bisiknya. “Kamu baru saja tidur dengan istri orang.” Damian tersenyum tipis. “Bagiku kamu bukan milik siapa-siapa. Kamu Riri. Dan mulai dari semalam, kamu milikku.” Riri mengerjap. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar merasa dilihat sebagai Riri. Bukan sebagai objek pengembangan bisnis, danistri pajangan. Namun, dunia di luar kamar itu tetap menunggu. Kenyataan tetap akan datang mengetuk. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya juga, Riri tidak tahu harus pulang ke mana. dalam diam. Damian bangkit perlahan dari ranjang, memerhatikan Riri yang masih melamun, matanya menerawang ke langit-langit seolah mencari jawaban dari segala yang terjadi. Damianbtak berkata apa-apa. Hanya menatap.bBeberapa detik kemudian ia bangkit. Mengecup dahi Riri dengan lembut. “Ayo mandi,” bisiknya. Riri menoleh pelan, alisnya sedikit terangkat. “Sendiri aja…” Damian tersenyum samar. “Biar aku bantu. Air hangat bisa bantu kamu lebih tenang.” Riri terdiam. Ada jeda. Ada ragu. Ia tak menjawab, hanya membiarkan Damian menarik selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, hening, namun penuh makna. Tak ada gairah terburu-buru seperti malam tadi, yang ada hanya kehangatan yang tenan dan perasaan samar yang mulai tumbuh tanpa nama. Kamar mandi itu lapang, dindingnya dipenuhi embun karena uap air hangat yang telah mengisi ruangan. Damian menyalakan shower, mengatur suhu, lalu berdiri di sana telanjang, namun tak terlihat menuntut. Ia hanya menatap Riri yang berdiri disampingnya, telanjang juga “Kalau kamu nggak nyaman…” Riri menggeleng. Matanya memerah, bukan karena takut. Tapi karena mungkin ini pertama kalinya ia merasa diperlakukan seperti perempuan, bukan sekadar istri di atas kertas. Ia melangkah masuk di bawah kucuran air. Uap hangat menyelimuti tubuh mereka, membentuk kabut tipis di antara napas yang teratur. Damian meraih sabun cair, meneteskan sedikit di telapak tangan, lalu mengusap lembut bahu Riri. Sentuhannya ringan, seolah tak ingin menyakiti, hanya menenangkan. Riri memejamkan mata, membiarkan Damian membersihkannya, bukan karena dia tak bisa, tapi karena untuk pertama kalinya, dia ingin merasa dimanja. Disayangi. Dilihat. Damian menggosok bulatan dadanya perlahan, membuat Riri mendesah pelan. “Semalam, kamu memberiku bagian dari dirimu yang belum pernah kamu bagi dengan siapa pun,” gumam Damian di dekat telinganya. “Aku bahagia.” Riri menggigit bibir. Punggunggnya menempel di dada Damian. Tangan Damian pun telah kembali menjelajah tubuh sensitip Riri. Damian tak bertanya. Membiarkan Riri menikmati jarinya yang keluar masuk di lubang surgawinya, hingga Riri larut dalam klimaksnya untuk sekian kali. Setelahnya Damian kembali memasuki. Lebih liar dari semalam Di tengah guyuran air dan keheningan itu, di belakangnya Damian terus memacu miliknya. Riri akhirnya merasa menjadi diinginkan.“Jadi kamu datang,” gumam Damian, lebih kepada dirinya sendiri.Riri menatap Damian penuh arti. Tanpa kata ia langsung melangkah masuk ke kamar, dan menutup pintu kamar. Tangannya melingkar di leher Damian.Tangan Damian langsung memeluk pinggang Riri dan menarik tubuhnya yang langsing itu lebih rapat. Bibir keduanya langsung beradu, penuh hasrat, dalam, dan menuntut. Damian menghisap bibir atas dan bawah Riri secara bergantian, lalu lidahnya menyelusup mengajak lidah Riri ikut bermain. Riri pun membalas dengan sama liarnya.Damian memutar tubuh Riri dan mendorongnya pelan ke dinding dekat pintu. Tangan kirinya berada di belakang kepala Riri, tangan kanannya menjelajahi punggung dan turun ke pinggul, menekan lekuk tubuh yang sudah ia hafal.“Kamu tahu aku tidak tidur tadi malam?” gumam Damian di sela-sela ciuman.Riri tak menjawab. Napasnya sudah tersengal. Matanya terpejam saat Damian mencium lehernya, lalu turun ke tulang selangka.“Karena aku membayangkan kamu datang. Pakai baju ke
Langkah Riri terasa berat saat memasuki ballroom. Denting gelas, tawa tamu undangan, musik lembut dari orkestra—semuanya terasa seperti kebisingan kosong di telinganya. Tak ada yang menyadari kepergiannya. Tak ada yang tahu apa yang baru saja ia lakukan di toilet hotel.Napasnya belum normal. Wangi parfum Damian masih tertinggal di kulitnya, menusuk hidungnya. Gerak tubuhnya kaku, seperti orang yang baru saja lolos dari bencana yang ia ciptakan sendiri. Atau biarkan terjadi.Pandangannya langsung mencari Kana. Pria itu berdiri tak jauh, berbincang santai dengan beberapa rekan bisnis. Ia tampak tenang, tampan, dan rapi seperti biasa. Senyumnya lebar. Dulu senyum itu berhasil membuat Riri membuka hati, menerima pernikahan paksa demi bisnis orang tua mereka. Kini, senyum itu hanya jadi pengingat betapa hancurnya kepercayaan Riri pada Kana setelah perselingkuhannya dengan Sabrina.Riri menarik napas dalam. Tangannya cepat merapikan rambut, memastikan gaunnya tetap tertutup dengan rapi. Bu
Riri berjalan cepat, tumit stilettonya menjejak lantai marmer. Di balik pintu toilet hotel yang sepi, ia menopang kedua tangannya di atas wastafel. Ia menatap bayangannya di cermin. Hatinya bergejolak. Detik demi detik berlalu. Tapi tiba-tiba, sepasang tangan melingkar dari belakang, menariknya lembut."Damian?" bisik Riri tercekat. Tubuhnya diputar, dan di sanalah pria itu berdiri, menariknya masuk ke salah satu bilik. Matanya gelap. Penuh kerinduan dan hasrat.“Kamu terlihat luar biasa malam ini,” gumam Damian. “Aku nyaris gila menahan diri untuk tidak menyentuhmu sejak kamu masuk ballroom.”Tanpa aba-aba Damian langsung mencium kasar bibir Riri. Kerinduan Riri pada sentuhan Damian membawanya membalas ciuman itu lebih dalam. Keduanya saling menghisap, melumat, bertukar saliva tanpa peduli mereka berada di ruang sempit.Tangan Damian mengusap turun naik punggung Riri yang tak tertutup benang, sebelah tangannya meremas dada Riri dengan sedikit kasar, membuat Riri melenguh."Damian, ki
Malam ini langit Jakarta tampak seperti permadani gelap dengan benang-benang cahaya dari lampu gedung bertingkat. Dari lantai tertinggi kantor Rencon Group, Damian berdiri mematung, tangan disilangkan di depan dada. Di balik kaca besar itu, matanya menatap ke kejauhan ke arah gedung tempat musuhnya berdiri kokoh, PT Kamaya Global, kerajaan bisnis yang dibangun oleh ayah Kana dan kini dipimpin oleh anak kesayangannya.Damian tak berkedip. Di balik ketenangan raut wajahnya, otaknya bekerja seperti mesin perang. Sunyi ruangan bukan kesepian, melainkan ruang konsentrasi, tempat strategi dirancang dan dendam dijahit.Dentuman pelan dari sepatu kulit Satria terdengar mendekat. Pria itu tak banyak bicara kecuali jika diminta. Asisten pribadi yang lebih mirip algojo diam. Hari ini ia membawa kabar penting. Map cokelat tebal di tangannya tampak berat, seolah membawa lebih dari sekadar data.“Penyelidikan selesai,” ucap Satria tanpa basa-basi.Damian berbalik, mengambil map itu dan membuka hala
Riri berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang masih dingin oleh udara pagi. Ia menatap gagang pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya memutarnya perlahan.Pintu terbuka tanpa suara.Aroma kopi menguar dari dapur. Suara detik jam dinding terdengar begitu nyaring di ruang tamu yang kosong. Tak ada suara televisi. Tak ada suara musik. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut.Riri masuk dengan langkah pelan. Kemeja yang ia kenakan semalam kusut dan lecek, rambutnya setengah basah tak beraturan. Ia menggantung payungnya di belakang pintu, melepas sepatunya tanpa suara.Dari ruang makan, langkah tergesa terdengar."Riri?"Suara Kana. Datar, tapi penuh nada cemas yang coba disembunyikan.Riri menoleh pelan. Wajah Kana tampak letih. Rambutnya acak-acakan, kantung matanya menghitam. Ia masih mengenakan kaus dan celana training. Ponselnya ada di tangan."Ke mana kamu semalam?" tanyanya.Riri menatapnya. Diam. Lalu berjalan melewati Kana tanpa sepatah kata pun."Aku telepon
Mobil Damian melaju menyusuri jalanan kota yang mulai ramai oleh lalu lintas pagi. Udara masih menyimpan sisa gerimis tadi malam. Di kursi penumpang, Riri duduk diam, mengenakan pakaiannya semalam. Rambutnya masih basah, tubuhnya masih terasa letih.Damian beberapa kali mencuri pandang, namun tak ingin memaksa bicara. Ia tahu, luka dalam diri perempuan di sampingnya belum benar-benar kering.Tiba-tiba, ponsel Riri yang masih tergeletak di dekat konsol mobil bergetar. Layarnya menampilkan nama yang langsung membuat tubuh Riri kaku.Kana – CallingDamian menoleh. “Kamu mau aku yang angkat?”Riri menggeleng pelan. Langsung ia sentuh tombol hijau, dan menyalakan speaker. Ia terlalu malas untum mengobrol secara personal dengan Kana.Damian hanya menghela napas.Suara Kana langsung terdengar, panik, cemas, seperti orang yang kehilangan arah.“Riri? Sayang, kamu dengar? Kamu di mana? Seharian kamu nggak bisa dihubungi! Aku udah keliling nyari kamu!”Riri menggigit bibirnya. Tangannya mengepa