Damian menghentikan ciumannya sejenak. Ia mengusap wajah wanita cantik yang kini menatapnya dengan napas tak teratur dan mata bingung. Tak ada kata-kata, hanya napas mereka yang saling berkejaran.
“Kita tak akan melakukannya di sini,” ucap Damian, dengan senyum tenang. Penuh kendali. Riri hanya mengangguk pelan. Mobil melaju di bawah gerimis tipis. Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela, memburam seiring derasnya emosi yang menyelimuti mereka. Damian tetap menggenggam jemari Riri di atas konsol tengah. Menyebarkan kehangatan kecil yang menyelamatkan jiwa Riri yang baru saja runtuh. Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah hotel mewah. Damian memesan kamar tanpa banyak tanya. Di lift, tangan mereka saling menggenggam. Jemari mereka saling bertaut. Mereka masuk ke kamar dengan langkah pelan. Damian menyalakan lampu temaram. Suasana berubah sunyi dan samar. Tak ada suara lain selain detak jantung yang berpacu cepat. Riri berdiri di ambang ruangan, tubuhnya masih basah oleh hujan. Damian mendekat perlahan, seolah takut membuat wanita itu semakin rapuh. Jemarinya menyentuh pipi Riri, menyapu sisa air mata yang belum sempat mengering. “Kalau kamu ragu, katakan sekarang,” ucap Damian lembut, tapi rahangnya mengeras menahan diri. Riri menggeleng. Matanya menatap dalam. Lalu ia maju dan menyatukan bibir mereka. Ciuman itu dalam, penuh luka, harapan, dan kerinduan akan sentuhan dan cinta. Damian mengambil alih kendali, mengulum bibir bawah Riri, lalu menyelusupkan lidahnya, mengajak lidah Riri menari bersama. Jelas, gerakan Riri begitu canggung. Amatir. Tapi jujur. Dan itu membuat Damian semakin menahan napas. Dengan sabar, Damian menuntunnya. Tubuh mereka bergerak perlahan ke sisi ranjang, bibir mereka terus menyatu. Ciuman menjadi makin dalam, makin haus, makin liar. Di sisi ranjang, Damian membuka mantel yang membungkus tubuh Riri, menjatuhkannya perlahan ke lantai. Jemarinya menyusuri lengan, lalu ke pinggang, berhenti sejenak menunggu persetujuan. Riri hanya menarik napas dalam. Tak ada penolakan. Dengan lembut, Damian membuka satu per satu kancing kemeja Riri, hingga terlepas dan menyingkap bra merah yang kontras dengan kulit putihnya. Jemarinya membuka kaitan itu, membebaskan keindahan yang tersembunyi. Matanya tak lepas dari tubuh perempuan itu. Perlahan tapi pasti, ia pun melepaskan rok pensil, hingga menyisakan celana dalam tipis yang juga berwarna merah. Damian menatapnya sejenak, lalu membaringkan tubuh Riri di tengah ranjang. Ia melepas kemejanya sendiri. Otot-ototnya tampak menegang, tapi pandangannya tetap lembut. Tubuh mereka bertemu, kulit melawan kulit. Nafas mereka panas dan basah. Damian menurunkan kepalanya, mengecup leher Riri, menjelajahi bahu, hingga tulang selangka. Riri melenguh. Jemarinya mencengkeram sprei, tubuhnya tegang, bukan karena takut, tapi karena kerinduan akan sensasi yang selama ini tak pernah ia miliki. Bibir Damian turun ke dadanya, mengecap satu per satu bagian yang selama ini tak pernah disentuh. Riri melenguh rendah, nyaris seperti rintihan terima kasih. Tangan Damian meremas pelan satu payudaranya, dan menghisap salah satu puncaknya. “Damian…” desahnya pelan, antara malu dan menyerah. Damian menggenggam satu tangan Riri dan menahannya di atas kepala. Tangan satunya turun, menyusuri perut, pinggul, lalu masuk perlahan ke balik celana dalam Riri dengan perlahan. Jemarinya menyentuh bagian paling rapuh dan tersembunyi dari Riri yang sudah basah, hangat, dan bergetar. Riri menahan napas, lalu mengerang saat Damian mulai memainkannya dengan dua jari. Lingkaran lembut, ritme perlahan, sesekali mencubit manja. Bukan dengan tergesa, tapi dengan cara yang membuat tubuh Riri melengkung seperti busur, menjemput kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan. “Sakit?” bisik Damian, suaranya serak menahan nafsu. “Tidak,” jawab Riri, matanya berkabut. “Jangan berhenti.” Damian mengikuti keinginan Riri, seraya memperhatikan wajah Riri yang begitu terlihat sensual. Perlahan bibirnya menyusuri leher, dada, perut. Lalu Damian menunduk. Melepaskan kain tipis terakhir yang menutupi Riri. Ia membungkuk, menyusuri pahanya, membuka pelan-pelan, dan membenamkan wajahnya di antara sana. Lidahnya bermain. Menjilat. Menghisap klitoris yang kini membengkak. Membuat Riri mengerang dengan keras, berulang-ulang. Damian menjelajahi lekuk feminin itu dengan penuh pemujaan. Lidahnya yang licin menyusuri kelopak yang merah yang menggoda. Menghisap klitoris dengan tekanan yang membuat Riri menggigit bibir. Tubuh Riri menggeliat. Tangannya mencengkeram rambut Damian, tubuhnya bergetar hebat. Puncak itu datang lebih cepat. Dan ketika tubuhnya meluruh, mata Riri berair. “Berikan aku lebih. Miliki aku sepenuhnya, aku ingin kamu jadi yang pertama,” bisiknya, masih terengah, matanya sayu. Damian menatapnya serius. “Kamu belum pernah disentuh?” tanya Damian tak menutupi kekagetannya. Riri mengangguk. Perlahan. “Selama lima tahun pernikahanmu?” Air mata menggenang di sudut mata Riri. Ia hanya mengangguk lagi. Damian tak ingin bertanya lebih, luka yang tergambar di mata Riri menjelaskan semuanya. “Kamu yakin menyerahkannya padaku?” “Aku ingin merasa hidup, Damian, miliki aku.” Tanpa tanya lagi, Damian melepas celana dan boxer-nya. Keperkasaannya kini tegang penuh siap memenuhi Riri. Perlahan ia membuka paha Riri. Kejantanannya perlahan di gesekan, memastikan Riri telah siap menerimanya. Damian menyelaraskan tubuhnya. Menyentuh pinggul Riri. Lalu perlahan, sangat perlahan dan berhati-hati, kejantanannya masuk memenuhi lubang sempit Riri. Kening Riri mengerut. Sedikit air mata turun dari sudut matanya. "Ini akan sedikit sakit dan tak nyaman. Kalau kamu tak tahan, aku akan menghentikannya. Katakan saja jika kamu ingin menghentikannya," bisik Damian, seraya menjilat telinga Riri. Lalu menghisap kulit leher Riri. Membuat Riri kembali gelisah dibawah tubuh Damian. Melihat Riri tampak sudah siap, Damian mendorong lebih dalam. Riri mencengkram punggung Damian. Damian berhenti sejenak, mencium keningnya. “Tenang. Aku di sini.” Setelah Riri terlihat tenang, Damian kembali bergerak. Pelan dan dalam. Ritmenya teratur, dan terus meningkat. Pinggulnya semakin memacu lebih cepat. Setiap dorongan membuat Riri melenguh lebih keras. Tangannya mencakar punggung Damian, kakinya melingkar di pinggang pria itu. Nama Damian terdengar dalam tiap desah dan rintihannya. Sampai akhirnya, dengan erangan tertahan, tubuh Riri melengkung dan bergetar hebat, puncaknya meledak. Kali ini lebih dahsyat. Lebih membebaskan. Tubuhnya bergetar. Penampilan Riri yang telah mencapai puncak kedua kalinya, membuatnya lebih sensual. Damian semakin bersemangat meraih puncaknya. Memacu lebih cepat. Damian pun mencapai klimaksnya, menenggelamkan diri sepenuhnya, meledak di dalam tubuh wanita yang kini ia peluk seutuhnya. Mereka terkulai. Peluh membasahi tubuh keduanya. Nafas tak beraturan. Damian mengecup kening Riri, lalu menarik selimut menaungi keduanya. “Terima kasih… karena mempercayakan malam pertamamu padaku. Kuharap kamu melihatku… sebagai Damian, bukan pelarian.” Riri tak menjawab. Hanya membalas lewat senyuman yang lembut dan tulus. Riri merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Damian. Untuk pertama kalinya, ia tertidur dalam kehangatan dan nyaman. Sedangkan Damian hanya mengecup puncak kepala Riri berkali-kali. Entah mengapa perasaan Damian langsung jatuh pada Riri. Ia berharap, besok Riri tak menyesalinya. Karena bagaimana pun wanita dalam dekapnnya ini tengah melarikan diri dari luka.Rumah besar itu berdiri kokoh dan angkuh di tengah pekarangan luas yang basah oleh gerimis. Pagar tinggi berlapis baja berdiri tegak mengitari seluruh area, dihiasi kawat berduri di atasnya. Kamera pengawas menatap setiap sudut, lampu taman menyoroti jalan setapak berlapis batu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar tertiup angin.Di dalam rumah, keheningan terasa menakutkan, seakan udara pun menahan napas.Dua bodyguard bersenjata patroli di halaman depan, sementara yang lain memantau layar monitor di ruang keamanan. Lampu-lampu taman menyinari jalan setapak yang basah oleh gerimis, menciptakan bayangan panjang yang bergerak samar.Sedan abu-abu berhenti di ujung jalan, lampunya dimatikan. Dari dalam mobil, pria berjaket kulit menekan tombol kecil di earphone.“Fattah meninggalkan lokasi. Target utama ada di dalam rumah. Perintah selanjutnya?”Suara berat di telinga menjawab datar, nyaris tanpa emosi.“Lumpuhkan semua pengamanan. Ambil dia malam ini. Jangan ada suara.”Pri
Riri duduk bersandar di tepi ranjang, jemari halusnya mengusap perutnya yang perlahan membesar. Usia kandungannya memasuki lima bulan, dan tubuhnya mulai terasa berat. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, rambutnya tergerai kusut tanpa hiasan. Televisi di sudut ruangan masih menayangkan breaking news penangkapan Candra, mertuanya, yang diarak keluar dari mansion keluarga Kana dengan tangan diborgol. Kilatan kamera wartawan menyilaukan, suara reporter bertubi-tubi seperti peluru yang menghujani telinga.Klik.Ia mematikan televisi. Keheningan mendadak terasa mencekam. Dadanya naik-turun cepat, napasnya berat. Bayangan Kana terlintas di benaknya, pria yang pernah begitu ia cintai. Meski kini lelaki itu mengkhianatinya, rasa iba tetap menyelinap masuk ke dalam hatinya.Air mata menetes, membasahi pipinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir penyesalan yang menghantam bagai ombak."Semua ini… dimulai karena aku," gumamnya.Ingatan itu kembali, malam di mana ia dengan tangan sendiri
Di lantai teratas Recon Tower, ruang kerja Damian terasa seperti benteng modern. Jendela kaca setinggi langit-langit memperlihatkan panorama Jakarta siang itu yang diliputi mendung. Hujan tipis menempel di kaca, seolah ikut menjadi saksi permainan kekuasaan yang sedang berlangsung.Damian duduk di kursinya yang besar, satu tangan memegang cangkir kopi hitam, tangan lainnya memegang ponsel. Senyumnya samar, tatapan matanya tajam. Di meja kerjanya, beberapa dokumen berserakan, laporan pergerakan saham Kamaya, daftar investor yang mulai berpindah ke pihaknya. Laptopnya tengah menampilkan rekaman video penangkapan Candra yang sedang viral. Sedangkan di televisi sedang disiarkan konferensi pers secara live. Kepala kepolisian menjelaskan bahwa percobaan pembunuhan terhadap Damian, berhasil digagalkan berkat keberanian salah satu anggota kepolisian sekaligus anggota pengamanan Candra yang menembak mati pelaku. Satria berdiri di samping Damian, menatap layar dengan ekspresi puas. “Langkah
Sirene polisi meraung di halaman depan rumah mewah Candra, memecah kesunyian kawasan elit itu. Puluhan mobil patroli berjejer, lampu rotator berputar menyoroti fasad rumah megah yang tampak dingin.Di balik pagar tinggi, beberapa pria berseragam hitam lengkap dengan rompi antipeluru bergerak cepat, menutup setiap pintu masuk. Senjata mereka terangkat, pandangan mata waspada.Pintu utama rumah itu terbuka lebar. Candra berdiri di anak tangga dengan pakaian santai, kemeja putih dan celana kain. Namun ketenangan di wajahnya terlihat dipaksakan. Di belakangnya, beberapa bodyguard pribadinya tampak tegang, namun tak berani bertindak gegabah di hadapan aparat bersenjata.“Pak Candra,” ujar seorang perwira polisi berpangkat Komisaris, suaranya lantang. “Kami mendapat surat perintah penangkapan Anda atas dugaan percobaan pembunuhan terhadap Saudara Damian, CEO Recon Group. Mohon ikut dengan kami untuk pemeriksaan lebih lanjut.”Candra menyipitkan mata, senyum dingin tersungging di bibirnya. “
Felix terengah-engah memasuki ruangan kerja Kana. Jasnya setengah basah oleh hujan, napasnya berat, wajahnya pucat.“Pak… ada masalah besar,” ucapnya cepat, menutup pintu di belakangnya.Kana yang sedang menatap layar laptop berisi grafik saham Kamaya Group yang terus merosot, mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah karena kurang tidur, namun tatapannya tetap tajam.“Masalah apa lagi, Felix?” tanyanya datar, suaranya berat.Felix menelan ludah, lalu mendekat ke meja. “Soal… rencana Pak Candra terhadap Damian.”Kana langsung tegang. “Apa maksudmu?”Felix menghela napas panjang, suaranya sedikit bergetar. “Tadi malam… Pak Candra mengatur pertemuan dengan Damian di restoran Hotel. Restoran itu di-booking penuh. Tapi… ternyata itu jebakan. Penembak jitu disiapkan untuk menghabisi Damian. Sayangnya…” Felix berhenti sejenak, menatap Kana dengan wajah cemas. “…yang mati malah penembaknya sendiri. Damian lolos. CCTV hotel sudah disita polisi. Kita belum tahu apakah media sudah mencium kab
Restoran hotel bintang lima itu tampak seperti sebuah dunia lain malam itu. Aroma mewah yang biasanya menjadi ciri khasnya masih memenuhi udara. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, membuatnya berkilau bagaikan istana modern. Musik instrumental piano yang lembut terdengar samar dari speaker tersembunyi, memberi kesan elegan yang biasanya menenangkan. Namun malam ini, ketenangan itu terasa menyesakkan. Semua meja kosong, tak ada tamu lain, tak ada pelayan berlalu-lalang.Kecuali dua meja yang saling berhadapan di tengah ruangan.Damian duduk tegak di kursinya, jas hitamnya rapi, dasinya terpasang sempurna. Namun di balik penampilan itu, sorot matanya tajam seperti predator yang sedang mengintai mangsa. Jari-jarinya yang kokoh bertaut di atas meja, tubuhnya condong sedikit ke depan, menunjukkan kewaspadaan sekaligus kendali diri.Di depannya, Candra duduk santai, dengan jas abu-abu terang dan dasi burgundy yang tampak mencolok. Ta