Mobil Damian melaju menyusuri jalanan kota yang mulai ramai oleh lalu lintas pagi. Udara masih menyimpan sisa gerimis tadi malam. Di kursi penumpang, Riri duduk diam, mengenakan pakaiannya semalam. Rambutnya masih basah, tubuhnya masih terasa letih.
Damian beberapa kali mencuri pandang, namun tak ingin memaksa bicara. Ia tahu, luka dalam diri perempuan di sampingnya belum benar-benar kering. Tiba-tiba, ponsel Riri yang masih tergeletak di dekat konsol mobil bergetar. Layarnya menampilkan nama yang langsung membuat tubuh Riri kaku. Kana – Calling Damian menoleh. “Kamu mau aku yang angkat?” Riri menggeleng pelan. Langsung ia sentuh tombol hijau, dan menyalakan speaker. Ia terlalu malas untum mengobrol secara personal dengan Kana. Damian hanya menghela napas. Suara Kana langsung terdengar, panik, cemas, seperti orang yang kehilangan arah. “Riri? Sayang, kamu dengar? Kamu di mana? Seharian kamu nggak bisa dihubungi! Aku udah keliling nyari kamu!” Riri menggigit bibirnya. Tangannya mengepal di atas paha. “Kamu kenapa? Ada yang terjadi? Aku pulang kantor, rumah kosong. Nggak ada kabar apa-apa. HP kamu mati... Kamu sakit?” Damian melirik, tapi Riri tetap diam. “Tolong, bilang kamu baik-baik aja. Aku khawatir setengah mati, sayang. Aku bahkan berkeliling mengecek rumah sakit.” Riri akhirnya menarik napas pelan. Suaranya keluar pelan, nyaris datar, tapi mengandung sesuatu yang tak bisa ditafsirkan dengan mudah. “Aku baik-baik aja," jawab Riri akhirnya “Syukurlah. Kamu di mana sekarang? Aku jemput, ya? Kita pulang bareng.” “Aku lagi di jalan,” jawab Riri pelan, matanya masih menatap ke luar jendela. “Nggak usah jemput. Aku bisa pulang sendiri.” “Kamu... lagi sama siapa?” Nada suara Kana mulai berubah. Ragu. Penuh tanya. Riri menoleh ke Damian sejenak. Bibirnya menegang, tapi matanya dingin. "Sendiri.” Damian menahan napas. Kana di ujung sana terdiam cukup lama. “Kamu menyetir?” Riri tak menjawab. Ia hanya menatap jalanan kosong, suara hatinya ribut namun tak ingin meledak dulu. “Aku akan pulang. Nggak usah telepon lagi.” Dan sebelum Kana bisa bertanya lebih jauh, Riri menekan tombol merah di dashboard. Panggilan terputus. Keheningan kembali menguasai kabin mobil. Damian menoleh. “Kamu yakin nggak mau dia tahu kamu sudah lihat semuanya?” Riri tertawa kecil, getir. “Biar dia menikmati waktunya sejenak. Aku ingin lihat berapa lama orang bisa hidup dalam kebohongan sebelum kebenaran itu menghantamnya.” Damian mengangguk, pelan. Tangannya terulur, menggenggam jari-jari Riri yang dingin. Mobil itu terus melaju menuju rumah. Tapi hati Riri tahu, rumah yang ia tuju bukan lagi tempat untuk pulang. Itu hanya bangunan, penuh kenangan, dan kebohongan. Mobil Damian berhenti perlahan di depan sebuah rumah dengan pagar putih yang tampak biasa. Rumah itu terlihat tenang dari luar, tapi Riri tahu, di dalamnya ada luka yang belum sembuh… dan kini bertambah satu lagi. Sesampainya di depan rumah mewah, berwarna putih dengan pagar tinggi, Damian mematikan mesin. Keheningan langsung memenuhi ruang sempit itu. Riri belum turun. Ia hanya menatap lurus ke depan, lalu bersuara pelan, tapi tegas. “Damian.” Pria itu menoleh. “Ya?” Riri menatap ke tangannya sendiri yang tergenggam di pangkuannya. Jemarinya saling meremas, gelisah. “Apa yang terjadi semalam, tidak seharusnya terjadi.” Damian diam. Wajahnya tak berubah, tapi sorot matanya jelas terluka. Ia sedang sudah memprediksi apa yang akan dikatakan Riri. “Aku sedang kacau. Aku mabuk. Aku marah. Dan aku lemah,” lanjut Riri. Damian menatap lurus ke wajah Riri. “Kamu tidak lemah. Kamu terluka.” “Tapi aku memilihmu untuk jadi pelarianku,” ucap Riri, menahan napas. “Dan itu tidak adil buat kamu.” Damian menggenggam kemudi. Matanya kembali ke depan, menahan emosi. “Jadi apa yang kamu inginkan sekarang?" tanya Damian terdengar kecewa. "Kamu ingin aku melupakan kejadian semalam?” “Ya,” jawab Riri cepat. “Lupakan semuanya. Anggap tidak pernah terjadi. Dan kalau suatu hari kita ketemu di jalan, di kafe, di mana pun, tolong berpura-puralah tak mengenalku.” Damian menarik napas dalam, lalu menoleh dengan wajah yang sulit dibaca. “Riri, aku tak pernah menyesal menyentuhmu semalam. Jadi aku tak akan melupakannya, aku akan mengingatnya seumur hidupku. Tapi kalau kamu butuh aku berpura-pura tak mengenalmu, aku akan coba.” Riri tersenyum pahit. “Terima kasih, sudah membantuku. Membuatku ututh sepenuhnya.” “Aku justru takut kamu akan membenciku,” ujar Damian pelan. Riri membuka pintu perlahan. Sebelum turun, ia menoleh sekali lagi. Wajahnya masih letih, tapi kini ada seberkas keputusan yang mulai bulat di dalam tatapannya. “Semalam akan jadi rahasia kita berdua selamanya. Kuharap ini semua tidak lebih dari satu malam.” Damian mengangguk, walau sorot matanya menggambarkan perlawanan dari hatinya sendiri. “Baik. Satu malam. Tak lebih.” Riri turun dari mobil. Kakinya sempat goyah, tapi ia berdiri tegak. Ia tidak menoleh ke belakang saat melangkah menuju rumah. Dan Damian hanya menatap punggung perempuan memasuki rumahnya sampai pintu tertutup, menyisakan sunyi di dalam mobil Damian. Ia masih duduk di belakang kemudi, tak bergerak. Hanya memandangi bangunan dua lantai dengan pagar putih itu. Rumah yang sangat ia kenal. Terlalu kenal. Bukan hanya karena ia sering menghadiri jamuan bisnis bersama Kana di sana, tapi juga karena ia tahu setiap sudut dari kehidupan palsu yang Kana pertontonkan kepada dunia. Pria bermulut manis, suami yang katanya setia, pebisnis yang tampak bersih padahal di balik itu semua, Damian menyimpan tumpukan bukti dan dendam. Awalnya, ia tak berniat menyeret Riri ke dalam ini. Ia tahu Riri hanya korban. Perempuan polos yang dijodohkan demi keuntungan, lalu dibiarkan kelaparan oleh suami yang menggenggam nama keluarga seperti mahkota murahan. Tapi semalam mengubah segalanya.Dan permintaan Riri tadi, untuk melupakannya, untuk berpura-pura tak akan pernah dilakukannya. Tak akan pernah terjadi. Damian akan terus berada di dekat Riri. Mengingatkan setiap sentuhannya pada wanita itu. Damian mengusap wajahnya kasar, lalu menyandarkan kepala ke jok. “Satu malam, ya...” Suara itu keluar seperti gumaman. Tapi ada nada getir dan sinis yang menyusup di sela napasnya. Ia menoleh sekali lagi ke arah rumah itu. Pandangannya berubah. Tidak lagi sebatas bangunan. Tapi medan perang. Riri kini akan menjadi pion yang paling berharga. “Maaf, Riri,” bisiknya pelan, “kamu yang minta aku melupakan. Tapi kamu justru memberiku alasan untuk mengingatmu.” Tatapan matanya tajam. Tidak lagi sendu atau penuh keraguan seperti semalam. Ada sesuatu yang lebih gelap mulai tumbuh di balik pupil matanya. Sebuah tekad yang selama ini coba ia pendam. Tapi kini, semuanya mulai menyatu. Kebencian, penolakan, dan rasa ingin membalas yang semakin sulit dihentikan. “Kalau kamu pikir satu malam itu bisa terhapus begitu saja, kamu belum benar-benar mengenalku.” Tangannya meraih ponsel. Mengetik pesan. "Mulai gali semua transaksi perusahaan milik Kana. Fokus ke proyek luar negeri. Kita lanjutkan yang sempat tertunda tahun lalu." "Dan satu lagi, aku ingin info detil tentang istrinya." Ia menatap layar sebentar sebelum menekan tombol kirim. Lalu Damian menyalakan mobilnya, melaju pergi, meninggalkan rumah itu dengan satu tujuan baru yang kini semakin jelas, Balas dendam. Dan ia akan menggunakan Riri sebagai pusat dari semuanya. Entah sebagai senjata, umpan, atau alasan untuk menang.“Jadi kamu datang,” gumam Damian, lebih kepada dirinya sendiri.Riri menatap Damian penuh arti. Tanpa kata ia langsung melangkah masuk ke kamar, dan menutup pintu kamar. Tangannya melingkar di leher Damian.Tangan Damian langsung memeluk pinggang Riri dan menarik tubuhnya yang langsing itu lebih rapat. Bibir keduanya langsung beradu, penuh hasrat, dalam, dan menuntut. Damian menghisap bibir atas dan bawah Riri secara bergantian, lalu lidahnya menyelusup mengajak lidah Riri ikut bermain. Riri pun membalas dengan sama liarnya.Damian memutar tubuh Riri dan mendorongnya pelan ke dinding dekat pintu. Tangan kirinya berada di belakang kepala Riri, tangan kanannya menjelajahi punggung dan turun ke pinggul, menekan lekuk tubuh yang sudah ia hafal.“Kamu tahu aku tidak tidur tadi malam?” gumam Damian di sela-sela ciuman.Riri tak menjawab. Napasnya sudah tersengal. Matanya terpejam saat Damian mencium lehernya, lalu turun ke tulang selangka.“Karena aku membayangkan kamu datang. Pakai baju ke
Langkah Riri terasa berat saat memasuki ballroom. Denting gelas, tawa tamu undangan, musik lembut dari orkestra—semuanya terasa seperti kebisingan kosong di telinganya. Tak ada yang menyadari kepergiannya. Tak ada yang tahu apa yang baru saja ia lakukan di toilet hotel.Napasnya belum normal. Wangi parfum Damian masih tertinggal di kulitnya, menusuk hidungnya. Gerak tubuhnya kaku, seperti orang yang baru saja lolos dari bencana yang ia ciptakan sendiri. Atau biarkan terjadi.Pandangannya langsung mencari Kana. Pria itu berdiri tak jauh, berbincang santai dengan beberapa rekan bisnis. Ia tampak tenang, tampan, dan rapi seperti biasa. Senyumnya lebar. Dulu senyum itu berhasil membuat Riri membuka hati, menerima pernikahan paksa demi bisnis orang tua mereka. Kini, senyum itu hanya jadi pengingat betapa hancurnya kepercayaan Riri pada Kana setelah perselingkuhannya dengan Sabrina.Riri menarik napas dalam. Tangannya cepat merapikan rambut, memastikan gaunnya tetap tertutup dengan rapi. Bu
Riri berjalan cepat, tumit stilettonya menjejak lantai marmer. Di balik pintu toilet hotel yang sepi, ia menopang kedua tangannya di atas wastafel. Ia menatap bayangannya di cermin. Hatinya bergejolak. Detik demi detik berlalu. Tapi tiba-tiba, sepasang tangan melingkar dari belakang, menariknya lembut."Damian?" bisik Riri tercekat. Tubuhnya diputar, dan di sanalah pria itu berdiri, menariknya masuk ke salah satu bilik. Matanya gelap. Penuh kerinduan dan hasrat.“Kamu terlihat luar biasa malam ini,” gumam Damian. “Aku nyaris gila menahan diri untuk tidak menyentuhmu sejak kamu masuk ballroom.”Tanpa aba-aba Damian langsung mencium kasar bibir Riri. Kerinduan Riri pada sentuhan Damian membawanya membalas ciuman itu lebih dalam. Keduanya saling menghisap, melumat, bertukar saliva tanpa peduli mereka berada di ruang sempit.Tangan Damian mengusap turun naik punggung Riri yang tak tertutup benang, sebelah tangannya meremas dada Riri dengan sedikit kasar, membuat Riri melenguh."Damian, ki
Malam ini langit Jakarta tampak seperti permadani gelap dengan benang-benang cahaya dari lampu gedung bertingkat. Dari lantai tertinggi kantor Rencon Group, Damian berdiri mematung, tangan disilangkan di depan dada. Di balik kaca besar itu, matanya menatap ke kejauhan ke arah gedung tempat musuhnya berdiri kokoh, PT Kamaya Global, kerajaan bisnis yang dibangun oleh ayah Kana dan kini dipimpin oleh anak kesayangannya.Damian tak berkedip. Di balik ketenangan raut wajahnya, otaknya bekerja seperti mesin perang. Sunyi ruangan bukan kesepian, melainkan ruang konsentrasi, tempat strategi dirancang dan dendam dijahit.Dentuman pelan dari sepatu kulit Satria terdengar mendekat. Pria itu tak banyak bicara kecuali jika diminta. Asisten pribadi yang lebih mirip algojo diam. Hari ini ia membawa kabar penting. Map cokelat tebal di tangannya tampak berat, seolah membawa lebih dari sekadar data.“Penyelidikan selesai,” ucap Satria tanpa basa-basi.Damian berbalik, mengambil map itu dan membuka hala
Riri berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang masih dingin oleh udara pagi. Ia menatap gagang pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya memutarnya perlahan.Pintu terbuka tanpa suara.Aroma kopi menguar dari dapur. Suara detik jam dinding terdengar begitu nyaring di ruang tamu yang kosong. Tak ada suara televisi. Tak ada suara musik. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut.Riri masuk dengan langkah pelan. Kemeja yang ia kenakan semalam kusut dan lecek, rambutnya setengah basah tak beraturan. Ia menggantung payungnya di belakang pintu, melepas sepatunya tanpa suara.Dari ruang makan, langkah tergesa terdengar."Riri?"Suara Kana. Datar, tapi penuh nada cemas yang coba disembunyikan.Riri menoleh pelan. Wajah Kana tampak letih. Rambutnya acak-acakan, kantung matanya menghitam. Ia masih mengenakan kaus dan celana training. Ponselnya ada di tangan."Ke mana kamu semalam?" tanyanya.Riri menatapnya. Diam. Lalu berjalan melewati Kana tanpa sepatah kata pun."Aku telepon
Mobil Damian melaju menyusuri jalanan kota yang mulai ramai oleh lalu lintas pagi. Udara masih menyimpan sisa gerimis tadi malam. Di kursi penumpang, Riri duduk diam, mengenakan pakaiannya semalam. Rambutnya masih basah, tubuhnya masih terasa letih.Damian beberapa kali mencuri pandang, namun tak ingin memaksa bicara. Ia tahu, luka dalam diri perempuan di sampingnya belum benar-benar kering.Tiba-tiba, ponsel Riri yang masih tergeletak di dekat konsol mobil bergetar. Layarnya menampilkan nama yang langsung membuat tubuh Riri kaku.Kana – CallingDamian menoleh. “Kamu mau aku yang angkat?”Riri menggeleng pelan. Langsung ia sentuh tombol hijau, dan menyalakan speaker. Ia terlalu malas untum mengobrol secara personal dengan Kana.Damian hanya menghela napas.Suara Kana langsung terdengar, panik, cemas, seperti orang yang kehilangan arah.“Riri? Sayang, kamu dengar? Kamu di mana? Seharian kamu nggak bisa dihubungi! Aku udah keliling nyari kamu!”Riri menggigit bibirnya. Tangannya mengepa