Aluri Vasya Zain, yang akrab dipanggil Riri, sengaja pulang lebih awal untuk memberikan kejutan di hari ulang tahun pernikahannya. Lima tahun usia pernikahan mereka. Hari ini seharusnya menjadi momen manis. Ia ingin menyiapkan makan malam romantis, dengan salmon panggang, anggur putih, dan lilin-lilin kecil yang menghiasi meja makan.
Namun semuanya hancur hanya dalam hitungan detik. Sepasang sepatu hak tinggi asing tergeletak rapi di depan pintu kamar. Tumit Riri melemah. Tangannya bergetar saat menyentuh kenop pintu. Hatinya menolak kenyataan, tapi telinganya sudah mendengar sesuatu yang tak bisa disangkal. Desahan lirih, tawa pelan seorang perempuan, kata-kata nakal terdengar jelas dari laki-laki yang sangat ia kenal suaranya Kana. Suaminya. Perlahan, Riri membuka pintu kamar. Di ranjang mereka, di atasnya, dua tubuh telanjang saling menyatu dalam gairah. Sabrina. Wanita yang sudah beberapa kali duduk di meja makan bersama mereka, sepupu jauh Kana yang sering berkunjung. Kini tubuh polos itu tengah memainkan pinggul di atas tubuh Kana. Desahan demi desahan terdengar jelas, hingga keduanya tak menyadari keberadaan Riri yang berdiri terpaku di ambang pintu. Riri tak menjerit. Tidak juga menerobos masuk melabrak keduanya. Dia hanya berdiri. Membeku. Jiwanya seperti ditikam dari segala arah. Tapi wajahnya tak menunjukkan apa pun selain pucat dan sorot mata kosong. Tanpa suara, ia berbalik. Kakinya nyaris lumpuh, tapi tubuhnya tahu jalan keluar. Ia berjalan. Hanya ponsel yang digenggamnya erat. Tanpa tas, tanpa dompet. Hanya tubuh yang gemetar dan napas yang menyayat dada. Selama ini, Riri selalu bersabar atas pernikahan hasil perjodohan itu. Lima tahun bersama Kana, tak pernah menuntut apa-apa. Bahkan ketika tak sekalipun dia disentuh sebagai istri. Alasan "lelah" dari Kana selalu ia terima tanpa protes. Dan ternyata, malam ini, dia mendapat jawabannya. Fakta yang di dapatkannya membuat luka yang dalam di hatinya. Riri berdiri di trotoar, membiarkan lampu kota menyinari rambutnya yang basah diterpa hujan gerimis. Kepalanya terus memutar adegan ranjang yang bergoyang, suara bisik-bisik mesra yang seharusnya menjadi miliknya. Langkahnya membawanya ke sebuah bar di sudut Jalan Dharmawangsa. Tempat itu remang, dipenuhi alunan jazz dan aroma alkohol yang tajam. “Sendirian, Mbak?” tanya bartender, pria berambut cepak dengan kaus hitam bertuliskan DANGER. Riri mengangguk pelan, duduk di kursi bar. “Yang paling cepat bikin mabuk apa?” “Vodka, kalau niatnya begitu.” Riri tersenyum getir. “Dua,” ucapnya. Dua gelas vodka disodorkan ke hadapannya. Tanpa ragu, Riri langsung meneguk gelas pertama, lalu gelas kedua. Kepalanya terasa ringan. Dunia mulai berputar. Tapi rasanya lebih baik daripada kenyataan yang baru saja dihadapinya. Tiba-tiba seorang pria duduk di kursi sebelahnya. Wajahnya tak asing. Dia pernah melihatnya di acara kantor Kana. Kalau tak salah, dia rekan kerja Kana. Namun Riri tak peduli. “Lagi kabur dari dunia?” tanya pria itu ringan. Riri menatap gelas kosongnya, lalu menjawab, “Lebih tepatnya, aku dibuang ke tong sampah.” “Siapa yang tega membuangmu?” tanyanya lagi, sambil meneguk minuman pesanannya. Riri tertawa pelan. Bukan karena tersanjung. Tapi karena pahit. “Hari ini ulang tahun pernikahanku. Dan suamiku memberikan kejutan luar biasa, di atas ranjang,” katanya mulai melantur. Pria itu terdiam sejenak, lalu kembali meneguk minumannya. “Dan kamu lari ke sini?” “Aku nggak lari. Aku menyelamatkan diri.” “Semoga pelarianmu malam ini bisa membuatmu lebih baik. Kadang, kita cuma butuh didengar. Walaupun hanya didengarkan orang asing,” ucap pria itu, suaranya lembut. Riri menatap mata pria itu, dengan pandangan yang cukup dalam untuk menyentuh sisi dirinya yang sedang retak. “Aku nggak tahu siapa kamu, tapi terima kasih sudah menemaniku di sini.” “Namaku Damian,” katanya, menyodorkan tangan. Riri terdiam sejenak. Perlahan dia mengulurkan tangannya. “Riri," ucapnya sambil terkekeh pelan. Pria itu mengernyit penasaran. “Kenapa? Ada yang lucu?” Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, menyusul tawa kecil yang terdengar getir. “Nggak apa-apa. Entah kenapa, aku senang kamu di sini.” Riri mengangkat tangan, memanggil bartender, memesan satu gelas vodka lagi. Bartender segera meracik pesanan. Damian hanya memperhatikan gerak-gerik Riri yang mulai mabuk. Riri mulai terhuyung dari kursinya. Matanya setengah terbuka, mulutnya sedikit menggumamkan lagu yang tak jelas nadanya. Gelas vodka ketiga telah tandas. Kepalanya semakin ringan. Tapi hatinya? Masih berat. Riri hendak melangkah meninggalkan meja bar. Bartender menatapnya ragu. “Maaf mbak, bayar dulu?” Riri mengerjap. Tangannya meraba-raba saku mantel cokelatnya. “Dompetku,” gumamnya. Lalu dia tertawa kecil, konyol. “Kayaknya ketinggalan. Kayaknya ketinggalan di kamar terkutuk tadi," ucapnya semakin melantur. Damian melirik ke arah bartender, mengeluarkan dompetnya tanpa kata. “Ini bayarannya. Kembaliannya ambil aja,” kata Damian tenang, menyerahkan uang. Bartender mengangguk. “Terima kasih, Mas.” Damian berdiri, lalu meraih bahu Riri dengan lembut. “Ayo, aku antar pulang.” “Pulang ke mana?” gumam Riri. “Rumah itu bukan rumahku lagi...” “Terserah kamu. Yang penting nggak tidur di lantai bar,” ucap Damian, membantu Riri berdiri, juga meraih ponsel Riri yang tergeletak di meja bar. Langkah mereka pelan menyusuri trotoar malam. Damian dengan sabar menuntun tubuh Riri yang limbung menuju mobilnya. Damian membuka pintu penumpang. Riri masuk dengan gerakan pelan. Tapi saat Damian hendak menutup pintu, tangan Riri menarik pergelangan tangannya. “Jangan pergi,” bisik Riri, suaranya nyaris tak terdengar. Damian menunduk. “Aku nggak pergi. Aku cuma mau—” Kalimatnya terputus. Mata Riri yang memerah menatap langsung ke dalam mata Damian. Tanpa aba-aba, bibir Riri menabrak bibirnya. Kasar. Terburu-buru. Penuh rasa sakit yang tak bisa lagi disembunyikan. Itu bukan ciuman yang lembut, tapi jeritan rasa sakit dalam bentuk lain. Damian tertegun. Sesaat ia membeku, tapi tubuhnya mengenali luka itu. Luka yang serupa pernah ia rasakan dulu dan ia tahu, ia tak bisa menolaknya begitu saja. Riri menarik napas di sela ciuman mereka. Tangannya bergetar saat menggenggam erat kerah Damian, seolah memohonnya agar jangan pergi, jangan meninggalkannya. Damian memejamkan mata, membiarkan bibir mereka menyatu dalam gelombang emosi yang tak bisa dihentikan. Tapi kemudian, perlahan, ia memegang wajah Riri dengan kedua tangannya. Jempolnya menyapu pipi Riri yang basah entah oleh hujan atau air mata. “Riri…” gumamnya lirih. Suaranya serak. Ia menarik diri, memastikan Riri sadar dengan apa yang dilakukannya “Jangan pancing aku. Aku tak akan bisa menahan diri.” Namun, Riri hanya menatapnya tanpa kata. Lalu pelan, dia menyandarkan kepalanya di dada Damian. Napasnya berat. Tangannya mencengkeram jaket Damian, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan. “Tolong…” bisiknya lirih, nyaris seperti isakan. “Aku capek. Aku ingin melepaskan rasa sesak ini. Apa aku juga tak menarik di matamu?” Damian memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada rambut Riri yang basah. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Riri lagi lebih dalam “Kamu yang memulai, Riri,” ucapnya pelan namun tegas. “Aku tak akan menghentikannya. Bahkan meski nanti kamu menyesalinya dan memohon agar aku berhenti.” Riri menatapnya dengan mata penuh air, tapi di balik air itu. Ia meyakinkan Damian, jika ia pun menginginkannya. “Aku nggak akan menyesal,” ucapnya. Kembali menempelkan bibir tipisnya di bibir Damian.“Jadi kamu datang,” gumam Damian, lebih kepada dirinya sendiri.Riri menatap Damian penuh arti. Tanpa kata ia langsung melangkah masuk ke kamar, dan menutup pintu kamar. Tangannya melingkar di leher Damian.Tangan Damian langsung memeluk pinggang Riri dan menarik tubuhnya yang langsing itu lebih rapat. Bibir keduanya langsung beradu, penuh hasrat, dalam, dan menuntut. Damian menghisap bibir atas dan bawah Riri secara bergantian, lalu lidahnya menyelusup mengajak lidah Riri ikut bermain. Riri pun membalas dengan sama liarnya.Damian memutar tubuh Riri dan mendorongnya pelan ke dinding dekat pintu. Tangan kirinya berada di belakang kepala Riri, tangan kanannya menjelajahi punggung dan turun ke pinggul, menekan lekuk tubuh yang sudah ia hafal.“Kamu tahu aku tidak tidur tadi malam?” gumam Damian di sela-sela ciuman.Riri tak menjawab. Napasnya sudah tersengal. Matanya terpejam saat Damian mencium lehernya, lalu turun ke tulang selangka.“Karena aku membayangkan kamu datang. Pakai baju ke
Langkah Riri terasa berat saat memasuki ballroom. Denting gelas, tawa tamu undangan, musik lembut dari orkestra—semuanya terasa seperti kebisingan kosong di telinganya. Tak ada yang menyadari kepergiannya. Tak ada yang tahu apa yang baru saja ia lakukan di toilet hotel.Napasnya belum normal. Wangi parfum Damian masih tertinggal di kulitnya, menusuk hidungnya. Gerak tubuhnya kaku, seperti orang yang baru saja lolos dari bencana yang ia ciptakan sendiri. Atau biarkan terjadi.Pandangannya langsung mencari Kana. Pria itu berdiri tak jauh, berbincang santai dengan beberapa rekan bisnis. Ia tampak tenang, tampan, dan rapi seperti biasa. Senyumnya lebar. Dulu senyum itu berhasil membuat Riri membuka hati, menerima pernikahan paksa demi bisnis orang tua mereka. Kini, senyum itu hanya jadi pengingat betapa hancurnya kepercayaan Riri pada Kana setelah perselingkuhannya dengan Sabrina.Riri menarik napas dalam. Tangannya cepat merapikan rambut, memastikan gaunnya tetap tertutup dengan rapi. Bu
Riri berjalan cepat, tumit stilettonya menjejak lantai marmer. Di balik pintu toilet hotel yang sepi, ia menopang kedua tangannya di atas wastafel. Ia menatap bayangannya di cermin. Hatinya bergejolak. Detik demi detik berlalu. Tapi tiba-tiba, sepasang tangan melingkar dari belakang, menariknya lembut."Damian?" bisik Riri tercekat. Tubuhnya diputar, dan di sanalah pria itu berdiri, menariknya masuk ke salah satu bilik. Matanya gelap. Penuh kerinduan dan hasrat.“Kamu terlihat luar biasa malam ini,” gumam Damian. “Aku nyaris gila menahan diri untuk tidak menyentuhmu sejak kamu masuk ballroom.”Tanpa aba-aba Damian langsung mencium kasar bibir Riri. Kerinduan Riri pada sentuhan Damian membawanya membalas ciuman itu lebih dalam. Keduanya saling menghisap, melumat, bertukar saliva tanpa peduli mereka berada di ruang sempit.Tangan Damian mengusap turun naik punggung Riri yang tak tertutup benang, sebelah tangannya meremas dada Riri dengan sedikit kasar, membuat Riri melenguh."Damian, ki
Malam ini langit Jakarta tampak seperti permadani gelap dengan benang-benang cahaya dari lampu gedung bertingkat. Dari lantai tertinggi kantor Rencon Group, Damian berdiri mematung, tangan disilangkan di depan dada. Di balik kaca besar itu, matanya menatap ke kejauhan ke arah gedung tempat musuhnya berdiri kokoh, PT Kamaya Global, kerajaan bisnis yang dibangun oleh ayah Kana dan kini dipimpin oleh anak kesayangannya.Damian tak berkedip. Di balik ketenangan raut wajahnya, otaknya bekerja seperti mesin perang. Sunyi ruangan bukan kesepian, melainkan ruang konsentrasi, tempat strategi dirancang dan dendam dijahit.Dentuman pelan dari sepatu kulit Satria terdengar mendekat. Pria itu tak banyak bicara kecuali jika diminta. Asisten pribadi yang lebih mirip algojo diam. Hari ini ia membawa kabar penting. Map cokelat tebal di tangannya tampak berat, seolah membawa lebih dari sekadar data.“Penyelidikan selesai,” ucap Satria tanpa basa-basi.Damian berbalik, mengambil map itu dan membuka hala
Riri berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang masih dingin oleh udara pagi. Ia menatap gagang pintu selama beberapa detik sebelum akhirnya memutarnya perlahan.Pintu terbuka tanpa suara.Aroma kopi menguar dari dapur. Suara detik jam dinding terdengar begitu nyaring di ruang tamu yang kosong. Tak ada suara televisi. Tak ada suara musik. Hanya kesunyian yang menggantung seperti kabut.Riri masuk dengan langkah pelan. Kemeja yang ia kenakan semalam kusut dan lecek, rambutnya setengah basah tak beraturan. Ia menggantung payungnya di belakang pintu, melepas sepatunya tanpa suara.Dari ruang makan, langkah tergesa terdengar."Riri?"Suara Kana. Datar, tapi penuh nada cemas yang coba disembunyikan.Riri menoleh pelan. Wajah Kana tampak letih. Rambutnya acak-acakan, kantung matanya menghitam. Ia masih mengenakan kaus dan celana training. Ponselnya ada di tangan."Ke mana kamu semalam?" tanyanya.Riri menatapnya. Diam. Lalu berjalan melewati Kana tanpa sepatah kata pun."Aku telepon
Mobil Damian melaju menyusuri jalanan kota yang mulai ramai oleh lalu lintas pagi. Udara masih menyimpan sisa gerimis tadi malam. Di kursi penumpang, Riri duduk diam, mengenakan pakaiannya semalam. Rambutnya masih basah, tubuhnya masih terasa letih.Damian beberapa kali mencuri pandang, namun tak ingin memaksa bicara. Ia tahu, luka dalam diri perempuan di sampingnya belum benar-benar kering.Tiba-tiba, ponsel Riri yang masih tergeletak di dekat konsol mobil bergetar. Layarnya menampilkan nama yang langsung membuat tubuh Riri kaku.Kana – CallingDamian menoleh. “Kamu mau aku yang angkat?”Riri menggeleng pelan. Langsung ia sentuh tombol hijau, dan menyalakan speaker. Ia terlalu malas untum mengobrol secara personal dengan Kana.Damian hanya menghela napas.Suara Kana langsung terdengar, panik, cemas, seperti orang yang kehilangan arah.“Riri? Sayang, kamu dengar? Kamu di mana? Seharian kamu nggak bisa dihubungi! Aku udah keliling nyari kamu!”Riri menggigit bibirnya. Tangannya mengepa