Share

Bab 2. Sikap yang Semakin Kejam

Aara berjalan lunglai melewati lorong sepi mansion milik Zayden.

Air matanya berderai deras, hatinya terasa begitu hancur. Dia tidak menyangka, jika mimpi buruk ini akan benar-benar terjadi dalam hidupnya.

Dia tidak tahu apa kesalahannya, kenapa Tuhan terus menghukumnya dengan begitu berat.

Satu tangannya tampak menempel pada dinding yang dia lewati, karena semua ini. Rasanya dia tidak sanggup lagi untuk berdiri.

Kakinya begitu lemas, tangannya begitu kaku. Air matanya bagaikan air sungai yang terus mengalir tanpa mau berhenti.

Aara berjongkok, dengan kedua tangannya dia menutupi wajahnya yang sudah begitu basah.

Seketika, suara tangisnya pun terdengar. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dia lakukan.

Pernikahan yang mulanya dia pikir akan merubah hidupnya ke arah yang lebih baik, justru tidak terjadi.

Hidupnya malah lebih hancur dari sebelumnya. Sekarang, dia merasa seperti berada di neraka lain dalam hidupnya, neraka yang akan membakar seluruh hati dan tubuhnya hingga tak bersisa lagi.

“Hiks, apa salahku sebenarnya. Kenapa semua ini terjadi padaku. Hiks, ibu.”

Suara tangis Aara begitu kencang, memenuhi lorong sepi dan dingin itu. Dia memeluk erat dirinya sendiri, sekarang. Dalam situasi ini, dia tidak tahu harus bersandar pada siapa. Dia hanya seorang diri, tidak ada siapa pun, hanya sendirian. Menerima rasa sakit dari kesalahan yang tidak pernah dia ketahui.

Sementara itu di sisi lain. Zayden tampak duduk di ruang kerjanya dengan santai, di depannya sudah ada Sam yang berdiri dan menjadi teman bicaranya saat ini.

“Tuan, apa Anda sudah merasa puas sekarang? Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan, saya yakin perasaan Anda pasti sudah tenang, bukan?”

Zayden melirik tajam pada Sam, mengartikan bahwa apa yang Sam katakan itu tidaklah benar.

“Kau pikir hanya dengan itu, bisa membuatku puas?” Zayden lalu menggeleng. “Kau salah, ini baru permulaan. Amarahku masih belum tersalurkan, wanita itu sudah membuat air mata mamaku jatuh. Karena itu, dia harus menerima balasan yang lebih dari ini. Karena itulah aku menikahinya, agar aku bisa membuat hidup wanita itu bagai di neraka!” lanjutnya.

“Tapi Tuan, sampai kapan Anda akan melakukan pernikahan ini?”

“Sampai aku puas melihat wanita itu menderita, walaupun aku tidak menjamin bahwa aku akan merasa puas.”

“Apa Anda akan mengorbankan kehidupan Anda? Bagaimana Anda bisa terus hidup bersamanya. Apakah Anda akan bisa bahagia?”

“Memangnya siapa bilang aku menikah untuk hidup bahagia?”

“Ya?”

“Seperti yang kau tahu Sam, wanita itu adalah selingkuhan dari papaku. Itu artinya, tidak akan ada kebahagiaan di pernikahan ini.”

“Lalu, bagaimana dengan nyonya besar. Bagaimana jika beliau mengetahuinya?”

“Dia tidak akan tahu jika tidak ada yang memberitahunya. Karena itu Sam, kau harus menutup mulutmu rapat-rapat. Karena jika mamaku atau orang lain tahu masalah ini, kaulah orang pertama yang aku salahkan.”

“Baik Tuan,” jawab Sam patuh.

Dimana jawabannya itu berhasil membuat Zayden puas. Dan membuat ekspresinya langsung berubah mengerikan.

“Aku akan pergi ke kamarku sekarang,” ujarnya kemudian seraya menunjukkan smirknya. Seakan dia siap untuk melakukan sesuatu pada mainan barunya itu.

Sam pun membungkuk, lalu melihat kepergian tuannya itu yang kembali menunjukkan tatapan bengisnya.

Dia berjalan santai menuju kamarnya yang memang memiliki jarak tidak terlalu jauh dari ruang kerjanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari saat ini. Sudah cukup terlambat bagi orang yang akan beristirahat dari waktu lelahnya.

Namun bagi Zayden, di waktu ini pun juga adalah waktu yang bagus untuk melihat air mata dari wanita itu.

Dia memberhentikan langkahnya tepat di depan kamarnya, tanpa ragu tangannya itu lalu membuka pintu di depannya.

Dia pun masuk, arah pandangnya langsung tertuju pada sosok wanita yang baru saja dinikahinya itu.

Wanita itu berdiri di pojok kamar, dengan ekspresi ketakutan yang menghiasi wajahnya.

Bukannya merasa iba, Zayden yang melihat itu justru merasa puas. Dia bahkan ingin melihat lebih lagi, agar kepuasan di dalam hatinya ini semakin dia rasakan.

Seraya menunjukkan tatapannya yang tajam, Zayden melangkah mendekat pada posisi Aara berada saat ini.

Melihat itu, tentu saja Aara refleks melangkah mundur.

Tubuhnya bergetar, terlebih ekspresi Zayden saat ini begitu mengerikan di matanya.

Langkah Zayden berhenti tepat di depan Aara, dia menundukkan wajahnya. Menatap Aara dalam jarak yang begitu dekat.

Dimana apa yang dia lakukan itu berhasil membuat perasaan takut yang memang sudah Aara rasakan semakin besar.

Aara mengalihkan wajahnya, berusaha untuk menghindari tatapan Zayden yang begitu mengintimidasi.

“Aku tidak menyangka, bahkan setelah apa yang terjadi. Kau masih berani datang kemari dan melihatku,” ujarnya dingin. “Apa kau sama sekali tidak takut padaku? Atau, nyalimu yang terlalu besar?” lanjutnya.

Glek!

Aara menelan salivanya dengan begitu susah payah. Dia mengepalkan tangannya, berusaha untuk menguatkan mentalnya.

“I-itu, itu karena kita sudah menikah,” jawabnya.

Zayden menunjukkan ekspresi tidak percayanya, jika setelah apa yang dilakukannya tadi. Wanita di depannya ini justru masih berani berbicara seperti itu. Bukankah, dia wanita yang sama yang mengatakan akan membatalkan pernikahan ini.

“Benarkah, apa itu artinya kau berpikir untuk tidur di ranjang yang sama denganku?”

Aara terdiam, dia hanya terus mengepalkan tangannya dengan begitu erat.

“Kau masih berpikir untuk melakukan malam pertama denganku? Apa kau sangat haus dengan belaian seorang pria?”

Zayden lalu menyondongkan tubuhnya pada Aara, sedangkan Aara yang menyadari itu langsung menggerakkan wajahnya ke belakang, mencoba menghindari Zayden.

Namun, usahanya itu tidak berlangsung lama. Karena Zayden sudah berhasil mengurungnya. Dan membuat Aara semakin ketakutan.

Dia menutup matanya, jaraknya dan Zayden sangat dekat. Dia bahkan bisa merasakan hangat nafas Zayden yang mengenai sisi lehernya.

Dengan smirk yang dia tunjukkan, Zayden mendekatkan bibirnya itu pada telinga Aara.

“Kau pikir aku akan sudi?” bisiknya kemudian.

Brugh!

Aara tersentak, ketika mendapat dorongan kasar dari Zayden, hingga membuatnya jatuh tersungkur dan refleks mengeluarkan ringisan sakit.

“Tidur di lantai, karena tempat itu lebih cocok untukmu! Jangan berpikir untuk menyentuh sofaku, dengan tubuh kotormu itu!”ujarnya kasar.

Zayden lalu berbalik, naik ke atas ranjangnya.

Dia berbaring, menarik selimut hangatnya dan mulai memejamkan matanya.

Sementara Aara, dia berbaring di lantai tepat di bawah ranjang king size milik Zayden.

Dia meringkuk, dengan posisi tidurnya yang miring. Tanpa benda apa pun yang akan melindungi tubuhnya dari dinginnya malam.

Air matanya menetes. Kehidupan ini memang benar-benar kejam padanya.

Bahkan ayahnya sendiri tega menukarnya dengan jaminan hutang, tanpa berpikir jika putrinya akan hidup menderita akibat dari ulah yang diperbuatnya. Penyesalan ayahnya itu tidak berguna, karena pada akhirnya. Dia tetap akan hidup terpenjara di sini.

‘Aku lelah, rasanya aku ingin menutup mataku dan tidak ingin bangun lagi. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan ibu yang masih membutuhkanku. Demi ibu, aku harus kuat. Dan menghadapi rintangan apa pun yang menghalangiku. Karena aku yakin, suatu hari nanti kami bisa bersama lagi,’ batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status