Share

Bab 3. Tidak Dianggap

Mata tertutup Zayden tampak bergerak-gerak.

Wajah tidurnya itu menunjukkan kernyitan kesal. Tampak satu tangannya terangkat, dan menutupi wajahnya yang terasa silau karena terkena sinar matahari yang masuk melalui sela-sela jendela kamarnya.

“Sialan! Siapa yang berani membuka jendelanya!” kesalnya. Saking teriknya matahari, bahkan tangannya pun tidak bisa melindungi silaunya.

Zayden membuka tangannya itu, dia lalu terduduk di atas ranjang dengan pandangannya yang melihat pada jendela kamarnya.

“Siapa yang berani membukanya, apa mereka mau dipecat!”

Terlanjur bangun, Zayden pun akhirnya turun dari atas ranjang.

Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.

“Ternyata sudah jam segini, aku harus cepat bersiap-siap,” gumamnya lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Di sana, Zayden kembali mengernyit. Ketika melihat bak mandinya yang sudah terisi oleh air hangat.

Dia kembali merasa bingung, siapa sebenarnya yang melakukannya. Karena seingatnya, di mansion ini tidak ada satu pelayan pun yang boleh masuk ke dalam kamarnya tanpa seizinnya.

“Jangan bilang wanita itu ....”

Zayden menunjukkan raut kemarahannya, tanpa memedulikan air di bak mandi itu. Dia pun lebih memilih berdiri di bawah shower dan membersihkan tubuhnya dengan air di sana.

***

Seraya terus menunjukkan wajah dinginnya. Zayden bersiap-siap memakai setelan kantornya, dia mengikat dasi di lehernya, dan dilanjut dengan memakai jam tangan kesayangannya.

Penampilannya itu dilengkapi dengan jas hitam yang melekat di tubuh sempurnanya, dia kemudian melangkah keluar dari dalam kamarnya.

Dengan langkahnya yang penuh keangkuhan. Zayden menuruni anak tangga, dan berjalan menuju ruang makan.

“Selamat pagi Tuan.”

Suara serempak itu terdengar, menyambut kedatangan Zayden yang baru saja sampai di sana.

Terlihat, Aara juga sudah berdiri di samping meja makan, dan dengan sabar menunggu kedatangan Zayden.

“Silakan Tuan,” ujar salah seorang pelayan yang menarikkan kursi untuk Zayden.

Zayden duduk dengan arogansinya, dia lalu melirik ke sisi kirinya dimana Aara duduk di sana.

“Siapa yang menyuruhmu untuk duduk?”

Mendengar itu, Aara pun menoleh. “Sa-saya hanya—“

“Apa kau ingin membuatku muntah saat makan?”

Aara menggeleng.

“Pergilah, dan menjauh dari pandanganku!” serunya tajam.

Aara mengepalkan tangannya, bukan karena marah. Tapi dia tengah berusaha untuk menahan perasaan sakitnya atas ucapan Zayden.

Dia kemudian bangun, dan berdiri jauh dari posisi Zayden berada.

Memastikan Aara yang sudah mematuhi perintahnya, Zayden pun lantas mengalihkan tatapannya itu pada berbagai macam hidangan yang sudah memenuhi meja makan di depannya.

“Siapa koki hari ini? Kenapa makanan ini terlihat berbeda?” tanyanya.

Dia menatap satu persatu pelayan yang ada di sana dengan tatapan dinginnya.

Membuat semua orang di sana merasa takut, dan enggan untuk menjawab.

“Lucas, apa kau tidak akan menjawabku?” tanyanya pada seorang pria paruh baya, yang merupakan kepala pelayan di mansion Zayden.

“Maafkan saya Tuan, makanan hari ini dimasak oleh nyonya Aara,” jawabnya.

Zayden yang mendengar itu pun lantas melemparkan tatapannya langsung pada Aara.

Sedangkan Aara, mendengar namanya yang disebut. Dia hanya bisa menunduk, hatinya berharap bahwa apa yang dilakukannya ini setidaknya bisa membuat amarah Zayden sedikit mereda padanya. Walaupun dia sama sekali tidak bisa menjaminnya.

Krittt!

Dada Aara langsung berdebar keras, ketika mendengar suara kursi yang terdorong ke belakang.

Dia bahkan menautkan kedua tangannya, ketika suara langkah kaki Zayden datang mendekat padanya.

Wajah Aara yang tertunduk, bisa melihat dengan jelas sepasang sepatu oxford hitam mewah yang berada di depannya.

Aara menelan salivanya, walaupun dia berniat baik. Tapi dia tidak bisa menyangkal rasa takutnya kala Zayden berada tepat di dekatnya.

“Jadi kau yang memasaknya?”

Aara mengangguk.

“Apa kau juga yang membuka tirai jendela kamarku?”

Aara kembali mengangguk.

“Itu artinya, kau juga yang menyiapkan air mandi untukku?”

Sekali lagi Aara mengangguk, menjawab semua pertanyaan Zayden padanya.

“Hah.” Zayden menunjukkan senyum nanarnya.

Dia lalu berbalik, berjalan kembali ke arah meja makan.

Melihat tidak ada apa pun yang terjadi. Mungkinkah Zayden menerima apa yang dia lakukan.

Seketika, Aara melihat ada secercah harapan dari hubungannya ini dan Zayden.

Mungkin, Zayden tidak seburuk yang dia kira.

Namun, di depannya. Zayden tampak masih menunjukkan senyum nanarnya. Hingga kemudian ....

Bugh! Pranggg!

Dia menghempaskan semua piring makanan di atas meja, hingga jatuh ke lantai dan hancur.

Semua pelayan di sana terkejut, termasuk Aara. Dia bahkan sampai berteriak seraya menutup telinganya, karena terkejut dengan suara pecahan piring yang begitu keras.

Zayden menoleh lagi pada Aara, namun kali ini dengan tatapannya yang benar-benar menunjukkan kemarahan.

“Siapa yang memberimu izin untuk melakukannya?! Siapa yang memberimu izin untuk menyentuh barang-barangku?! Apa aku memberimu izin?!”

Aara menggeleng dengan air mata yang mulai menetes dari pelupuk matanya. Tubuhnya saat ini bahkan sampai bergetar karena rasa terkejut itu.

“Apa kau menganggap bahwa kau benar-benar istriku? Ingat, aku menikahimu karena aku membencimu. Kau tak lebih dari sekedar tawananku. Karena itu, jangan berani bertindak diluar batasmu!”

“Tapi Tuan, saya hanya ....”

Baru saja Aara akan membela dirinya, namun suara getaran ponsel milik Zayden langsung mengurungkannya.

Tampak Zayden yang masih diselimuti amarah itu pun lantas mengambil ponselnya, dia menatap dengan tajam semua pelayan di sana setelah mengetahui siapa orang yang sudah menghubunginya.

Tak terkecuali Aara, dia juga melakukan hal yang sama padanya.

Tapi, sepertinya Aara tidak mengerti. Terbukti dari dia yang masih berusaha untuk berbicara.

“Tuan saya—“

“Ck.” Zayden berdecak kesal, ketika mendengar Aara yang tidak mematuhi perintahnya dan masih berusaha untuk berbicara. Refleks dia pun menutup mulut Aara dengan satu tangannya, menyadari bahwa dia sudah mengangkat panggilan itu.

Aara terkejut, karena Zayden yang tiba-tiba menutup mulutnya secara spontan. Matanya bahkan melebar, kala merasakan hangat tangan Zayden yang menyentuh bibirnya.

“Iya Mah?” ujarnya, menjawab telepon yang ternyata dari ibunya.

“Kau tidak lupa janjimu hari ini, kan?”

“Tentu saja tidak, Zay akan datang hari ini.”

“Baiklah, mama akan menunggumu.”

“Eum.”

Panggilan pun lalu terputus setelah jawaban terakhir dari Zayden.

Dia kembali menatap marah pada Aara, karena ketidak pekaannya. Zayden juga melihat tangannya, yang baru saja dia gunakan untuk membekap mulut Aara.

Raut wajahnya menunjukkan rasa jijik dan juga benci.

“Kau benar-benar memuakkan!” ujarnya seraya berbalik. Dia mengambil sapu tangannya, yang kemudian dia gunakan untuk membersihkan tangannya itu, lalu membuangnya begitu saja.

Aara yang melihat itu, hanya bisa terdiam. Tatapannya mengarah pada sapu tangan Zayden yang baru saja dia buang.

Dia lalu mengangkat wajahnya, dan menatap punggung Zayden yang terus menjauh dari pandangannya.

“Ternyata kau sejijik itu padaku, memangnya aku terlihat seperti apa di matamu? Apakah aku seperti tikus yang kotor?” gumamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status