"Kekanak-kanakan." Davin bergumam lirih ketika tidak menemukan Vida di sampingnya saat terbangun di pagi hari.
Bibirnya mencibir geli kala melihat bantal yang bertumpuk di tengah ranjang, dimana bantal tersebut selalu menjadi benteng pertahanan bagi Vida yang tidak ingin bersentuhan dengannya selama dua malam ini. Bukankah itu kekanak-kanakan?
Suara bising pengering rambut segera menyambut ketika Davin memasuki kamar mandi, ia juga langsung mendapati Vida yang tengah berdiri di depan cermin, dimana benda itu kini memantulkan bayangan Vida dengan arah pandang yang tak dapat ditebak. Jelas istrinya sedang melamun, hingga sama sekali tak menyadari keberadaannya. Bahkan perempuan itu sempat bergumam lirih yang mengundang Davin menerbitkan senyum sengit di bibirnya.
"Ah … jalani saja Vida, demi ayahmu, Ini hanya perlu waktu satu bulan. Kamu pasti bisa, yakin saja bahwa kamu tidak hamil anak pria sialan itu."
Davin menegakkan wajahnya dengan angkuh, sengaja mengeluarkan suara serak dengan menyertakan tekanan, dan itu berhasil menunjukan keberadaannya pada sang istri.
Vida tersentak. Seketika kilat matanya menjadi tajam disertai alis yang berkerut, dimana ada rona kemarahan di parasnya yang cantik. Vida segera menyudahi aktivitasnya di kamar mandi dan bergegas keluar, mengundang Davin menarik senyum miring penuh kemenangan di bibirnya yang manis.
Sejak Davin memaksanya untuk menandatangani kontrak pernikahan, Vida memang menunjukan kebencian akut pada Davin, terlebih Davin juga melarangnya untuk memberitahu nenek dan juga ayahnya, dan tentu saja Davin juga menyertakan ancaman. Tidak ada guratan ramah acap kali menatap suaminya, tapi tidak jika sedang berada di depan nenek Rumi.
"Ingat, jaga sikapmu ketika di depan nenek." Davin kembali mengingatkan setelah selesai mematut diri, dan sudah memakai pakaian kerja lengkap.
Vida menarik salah satu sudut bibirnya kesal, meski dia juga menurut. Pasutri yang baru tiga hari menikah tersebut tampak menuruni tangga dengan santai, meniti setiap anak tangga yang dilapisi karpet merah. Tapi begitu melihat nenek Rumi di bawah sana, Vida segera mempercepat jalannya mendahului Davin.
Menyapa nenek Rumi akan memperbaiki moodnya, dari pada berjalan beriringan dengan manusia menyebalkan di belakangnya. "Selamat pagi, Nenek."
Senyum ramah segera mengembang begitu mendengar sapaan riang Vida, yang langsung mendekat dan meraih lengannya, "Selamat pagi, bagaimana malammu?"
Vida menipiskan bibir, dengan setengah tersenyum, dan menjawab. "Sangat luar biasa."
Dimana jawaban Vida mengundang tarikan senyum samar yang hampir tidak bisa terlihat pada bibir laki-laki yang berjalan di belakangnya.
"Kamu masuk kuliah hari ini?" Pertanyaan nenek Rumi terlontar begitu melihat tas ransel yang bergelayut di punggung Vida.
"Iya Nek, sudah tiga hari aku mangkir."
"Baiklah, mulai sekarang biar Davin yang mengantarmu ke kampus."
"Tidak perlu, Nek. Aku naik motor saja. Nanti kak Davin malah terlambat pergi ke kantor," tolak Vida dengan segera, tiga hari bersama manusia kutub membuatnya ingin segera meloloskan diri dan bergerak bebas. Lagi pula, dia tidak mau jika teman-temannya sampai melihat kedatangannya ke kampus bersama Davin.
Vida benar-benar belum siap memberitahukan tentang statusnya sebagai istri Davin pada teman-temannya, atau sebenarnya dia memang tidak ingin, terlebih setelah tahu jika Davin akan menceraikannya setelah dia dinyatakan tidak hamil. Lebih baik memang tidak memberitahukan kepada siapapun tentang status istri yang mendadak dia dapatkan tiga hari yang lalu.
Nenek Rumi tersenyum hangat dan bertutur pelan, namun ada ketegasan yang tersemat di setiap kata-katanya. "Tidak apa-apa Vida, kamu adalah istrinya sekarang, kamu yang harus lebih diutamakan. Davin ...."
Davin sedikit menegakkan kepala begitu kilat mata sang nenek menemukannya, kemudian menjawab, "Iya, Nek."
Tapi malah membuat raut wajah Vida terlihat sedikit muram. Vida lemas.
Vida adalah mahasiswi jurusan desain dan seni rupa. Namanya sangat dikenal oleh para dosen karena segudang prestasi yang dia raih. Dia adalah gadis fashionable yang memiliki banyak teman, kepribadiannya yang sedikit tomboy membuatnya tidak begitu tertarik dengan mahasiswi, terbukti teman-temannya kebanyakan adalah para mahasiswa.
"Selesai kuliah jam berapa?" Davin membuka suara mengeluarkan nada rendahnya yang terdengar merdu, setibanya di kampus.
Vida tidak menjawab, tangannya malah bergerak membuka pintu mobil, namun pintu mobil ternyata terkunci, menciptakan kerutan tidak suka pada alis Vida, dan berseru. "Buka pintunya!"
Davin terlihat menarik senyum remeh, dan berucap dingin. "Apa kamu tuli? Hingga tidak bisa menjawab pertanyaanku."
Bibir tipis Vida tampak menipis geram dan berkata jujur. "Tidak perlu pura-pura baik, disini tidak ada nenek ataupun ayah. Aku bisa pulang sendiri."
"Berikan handphone mu padaku." Davin berucap pelan sembari mengulurkan tangan kirinya, tapi kilat matanya menatap Vida tajam.
Vida segera mengela napas kasar, kesal karena tidak bisa membantah, dan terpaksa mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk diserahkan pada Davin. Dia tidak ingin berlama-lama di dalam mobil bersama laki-laki tampan yang menurutnya sangat menyebalkan.
"Hubungi aku setelah jam kuliahmu selesai," ucap Davin seraya mengembalikan ponsel Vida setelah menyimpan nomornya.
Kembali Vida tidak menjawab, dia segera keluar dari dalam mobil setelah Davin membuka kunci. Hatinya sedikit was-was, berharap tidak ada teman dekatnya yang mengetahui dia keluar dari mobil suaminya.
"Vid, masih hidup, lo?"
Vida tersentak dan menoleh pada sumber suara, bola matanya mendapati dua mahasiswa yang datang ke arahnya. Mereka adalah Erick dan Rion, sahabat dekat Vida, dimana salah satunya memang menyukai Vida.
Vida melempar senyum ramah dan segera menutup pintu mobil. "Jangan terlalu bersedih, sayangnya gue masih hidup untuk merecoki hari-hari kalian. Bilang saja, kalian itu sebenernya kangen sama gue 'kan?"
Rion dan Erick terkekeh mendengar jawaban Vida yang ceplas-ceplos seperti biasanya.
"Gila ya, tiga hari mangkir, datang-datang keluar dari mobil mewah, kemana aja lo tiga hari ini?" Rion menelisik mobil Davin yang belum bergerak, kaca hitam pekat yang begitu mengkilap membuatnya tak bisa melihat dengan jelas keberadaan Davin di dalamnya.
Vida hanya menarik senyum canggung, enggan menjawab pertanyaan Rion. Itu hanya akan membuat hatinya pedih mengingat dia telah terjebak pada pernikahan yang sama sekali tidak dia inginkan. Vida memilih berlenggang menjauh dari mobil suaminya.
"Kalau mangkir itu jangan lama-lama. Sumpah, jus jeruk yang biasa gue beli, utuh gara-gara gak ada lo." Erick juga ikut berkelakar, tangannya terulur merangkul tubuh mungil Vida dengan akrab.
Vida tidak menunjukan protes atau penolakan, karena mereka memang sangat akrab dan itu sudah biasa. Dia tidak tahu jika itu menimbulkan kerutan tajam pada alis pekat yang dimiliki Davin.
Sorot tajam mata Davin yang masih memperhatikan gerak-gerik Vida, kini menunjukan binar ketidaksukaan kala tubuh ramping istrinya direngkuh laki-laki lain. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa pahit yang menggelitik hatinya.
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah