Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor.
Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi.
Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah.
Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip.
Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya.
Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih sedang menatap ke luar sana. Pandangannya menerawang dan tatapan matanya sendu.
Sinar matahari sore yang meyorot wajahnya membuat suasana semakin syahdu. Braden terpaku di tempatnya berdiri dengan mulut ternganga. Deg. Jantungnya terasa berdebar.
Gadis itu terlihat begitu rapuh sehingga Braden merasakan keinginan yang begitu kuat untuk melindunginya. Siapa dia? Kenapa dia ada di sini? Dan ada sesuatu yang berkilauan seperti kristal di pipinya.
“Braden, kamu sudah pulang?” Jiwa Braden seolah kembali ke tubuhnya saat mendengar panggilan mamanya.
Dan gadis itu menoleh dengan kaget ke arahnya. Dia mengusap air mata? Apa sebelumnya dia diam-diam menangis? Pikirnya.
“Kalian sudah bertemu rupanya.” Alana menghampiri Sherly yang kini berdiri di samping Braden.
“Sayang, ini Alana, anaknya Om Steve. Alana, ini Braden, putra bungsu Tante,” Sherly yang baru saja muncul memperkenalkan mereka berdua yang kini berdiri berhadapan.
“Anaknya Om Steve?” tanya Braden sambil menyipitkan mata.
“Hai,” Alana hanya membalas singkat dengan senyum lemah.
Braden memandang mamanya dengan penuh tanda tanya. Apa-apaan ini? Tanyanya tanpa suara. Dan dia memandang gadis di hadapannya dengan penilaian baru.
Dia heran kenapa sebelumnya dia menganggap gadis itu menarik. Kalau diamati lagi gadis itu memang memiliki kemiripan dengan Steve, suami mamanya, ayah tirinya, atau apa pun itu sebutannya, yang pasti dia membenci pria itu.
“Mama perlu bicara sama kamu,” Sherly menarik tangan putranya menuju kamar pemuda itu, meninggalkan Alana yang masih membelalak terkejut.
“Apa yang mau Mama bicarakan?” Braden berdiri menjulang di hadapan ibunya yang terlihat resah dan meremas kedua tangannya.
“Sayang, maaf Mama tidak memberitahumu lebih awal. Mulai saat ini Alana akan tinggal bersama kita. Mama harap kamu tidak keberatan,” Sherly mencoba menjelaskan keadaan.
“Tinggal bersama kita? Kenapa tiba-tiba sekali? Yang benar saja?” Kali ini Braden berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya.
Sesaat sebelumnya dia mengira gadis itu jelmaan malaikat. Dan sekarang gadis itu hanya membuatnya kesal setengah mati hanya dengan keberadaannya saja.
“Alana sedang mengalami kesulitan. Dan sudah sewajarnya kalau dia datang pada papanya. Braden, maafkan Mama. Mama tahu kamu merasa tidak nyaman, tapi Mama harap kamu mengerti.”
“Mama selalu meminta pengertianku. Tetapi apakah Mama pernah mengerti perasaanku?”
“Braden, tolong maafkan Mama,” Sherly mengelus lengan Braden mencoba menenangkan putranya. “Braden ...”
“Memangnya aku punya hak untuk menentang meski aku ingin? Ini rumah pria itu, kan? Jadi terserah kalian saja. Aku tidak peduli,” Braden menolak untuk menatap mamanya. Dia sangat marah.
“Istirahat lah. Kita makan malam sebentar lagi.”
Sherly meninggalkan putranya yang terlihat sangat marah dan kesal. Dia tahu Braden belum bisa menerima pernikahannya dengan Steve. Dari awal, putra bungsunya itu memang tidak setuju jika dia menikah lagi.
Bagi Barden, posisi ayahnya yang sudah meninggal tidak akan pernah bisa digantikan oleh lelaki mana pun. Dan dia merasa Steve telah merebut posisi ayahnya.
Tapi Sherly memiliki penilaian lain. Steve pria yang baik. Steve dan mendiang suaminya sudah cukup lama berteman. Pria itu bahkan beberapa kali membantu Sherly saat wanita itu mengalami kesulitan setelah kepergian suaminya.
Dan mereka berdua sama-sama melajang setelah sekian lama. Jadi, dia merasa tidak ada salahnya jika dia menerima lamaran pria itu setahun yang lalu. Dia hanya ingin ada seseorang yang bisa menjaga dirinya saat kedua putranya tumbuh dewasa dan meninggalkannya nanti.
“Aaaahhh ... ” Braden berteriak melampiaskan kekesalannya.
Bagaimana mungkin gadis itu adalah saudara tiriku? Batinnya kesal. Akan jauh lebih mudah kalau saudara tirinya adalah seorang gadis yang tidak menarik.
Pemuda itu masih saja mondar-mandir sambil bersungut-sungut dan menggerutu. Tinggal bersama ayah tirinya saja sudah cukup menyebalkan, ditambah lagi kini ada seorang saudara tiri.
Dengan kesal diambilnya lagi jaket yang sebelumnya dia lempar ke tempat tidur. Sepertinya mulai sekarang dia akan semakin jarang pulang ke rumah, pikirnya.
Dia keluar dari kamar dan mengamati jendela tempat di mana gadis itu berdiri sebelumnya. Kosong, syukurlah. Dia tidak perlu bertemu gadis itu.
Braden melirik sekilas pintu kamar sebelahnya yang kini tertutup. Pantas saja beberapa hari sebelumnya kamar tamu itu mendadak dibersihkan. Dan mamanya terlihat antusias karena suatu hal.
Tinggal beberapa langkah sebelum mencapai pintu depan saat Braden mendengar suara mamanya, “Mau ke mana kamu?”
“Pergilah!” jawab Braden asal.
“Ini sudah hampir waktunya makan malam. Kamu harus makan dulu,” kata Sherly tegas.
“Aku makan di luar saja,” jawab Braden sambil meneruskan langkahnya.
“Braden ... “ Sherly menatap putranya dengan galak. Kalau dia mau, dia bisa bersikap sangat tegas. Dan kedua putranya tidak meragukan hal itu.
Dengan bersungut-sungut Braden kembali masuk ke rumah. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya saat menaiki tangga, seperti anak kecil yang dilarang pergi bermain. Susana hatinya benar-benar sangat buruk. Saudara tiri, kata itu terus menggema di kepalanya. Sial! Dia muak sekali. Lihat saja apa yang akan dia lakukan pada "saudara tiri" kesayangannya itu.
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga