Share

BAB 9 – Rumah Baru

Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.

Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.

Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.

“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.

Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?

“Kalian sudah pulang?”

Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.

“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.

“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya. Dia bahkan tidak merasa risi dengan penampilan Alana yang kacau dan berantakan.

Alana hanya tertegun dengan semua yang terjadi. “Ini Sherly, istri Papa.” Steve memperkenalkan mereka.

Gadis itu mengamati wanita yang masih berdiri di hadapannya sambil menggenggam kedua tangannya. Sepertinya dia sedikit lebih muda dari Claudia dan masih terlihat cantik untuk wanita seusianya.

Rambutnya diwarna coklat entah untuk fashion atau untuk menutupi uban yang mulai muncul. Dia memakai sebuah gaun rumah kelabu sederhana.

Wanita itu benar-benar jauh dari bayangan Alana. Tidak ada kesan ibu tiri yang jahat dan kejam dari dirinya.

Seulas senyum tulus dan ramah selalu tersungging di wajah wanita itu. Dan sepasang tangan yang menggenggam Alana terasa begitu hangat.

Gadis itu mencoba mencari kepura-puraan dari sambutan ramah tersebut, yang sama sekali tidak dia temukan. Mungkinkah wanita di hadapannya ini benar-benar tulus? Batinnya.

Alana diantarkan ke sebuah kamar yang luas di lantai dua. Sebuah kamar yang hangat dan nyaman dengan sebuah tempat tidur besar dan beberapa perabot lainnya.

Dia bahkan memiliki kamar mandi pribadi di kamar itu. Dan dia mendapati beberapa baju di dalam lemari, baju wanita yang masih baru dan memiliki label.

“Tante tidak tahu baju seperti apa yang kamu suka. Kemarin Tante beli beberapa untuk berjaga-jaga seandainya kamu butuh baju tambahan. Dan Tante tahu sekarang bahwa itu keputusan yang tepat,” Sherly menjelaskan.

“Terimakasih, Tante.”

“Kamu mandi dulu, ya. Tante akan siapkan sarapan. Tante akan panggil kamu saat sarapan sudah siap,” Sherly keluar dan membiarkan Alana sendirian di kamar. “Kalau butuh apa-apa, panggil saja kami.”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum letih.

Alana mengagumi keseluruhan ruangan dan mengamati detail ruangan yang sempat terlewatkan. Telapak kakinya merasakan tekstur marmer yang halus dan dingin. Temboknya berwarna krem lembut. Sedangkan langit-langitnya tinggi sehingga memberikan kesan lapang pada ruangan. Dan di sudut terdapat sebuah pintu yang mengarah ke ruangan lain.

Dengan perlahan Alana membuka pintu kayu tebal bercat putih itu dan mendapati sebuah kamar mandi. Cukup nyaman meski tidak terlalu luas. Terdapat wastafel, kloset duduk, dan juga bilik shower, semuanya dalam nuansa putih.

Dan semua perlengkapan mandi baru sudah disiapkan di samping wastafel. Dia bahkan mendapati sebuah vas berisi beberapa tangkai mawar putih dan sebuah bathrobe serta handuk putih di gantungan. Seakan semua sudah disiapkan dengan seksama.

Alana memutuskan untuk mandi sebelum turun ke bawah dan menemui Ayah serta keluarga barunya. Setidaknya dia harus berpenampilan layak sebelum bertemu mereka.

Mandi air hangat dan mendapat baju bersih menjadi suatu kemewahan bagi Alana setelah aksi pelariannya. Sherly bahkan begitu perhatian dengan menyiapkan sebuah hairdryer di meja riasnya sehingga Alana bisa langsung mengeringkan rambut setelah selesai keramas.

Badannya begitu lelah sehingga Alana berniat berbaring sebentar. Sarung bantal dan sprei beraroma harum deterjen. Suasana begitu hening dan tenang seakan menghipnotis. Alana merasakan kepalanya semakin ringan.

Tok tok tok

“Alana,” Sherly mengetuk pintu kamar Alana karena gadis itu tidak kunjung turun ke lantai bawah untuk sarapan. “Lana, Sayang ...”

Tetap tidak ada jawaban. “Sayang, Tante masuk, ya?”

Sherly mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dan mendapati Alana tengah tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan, pikirnya.

Diamatinya wajah Alana yang tampak begitu damai saat tidur, dan Sherly tidak ingin mengusik gadis itu. Disibaknya rambut yang menutupi pipi Alana dan diselimutinya gadis itu hingga ke dagu.

Tidak lupa diambilnya baju kotor milik Alana yang berada di sebuah keranjang cucian di depan pintu kamar mandi.

Sekali lagi dia mengamati Alana. Gadis itu terlihat begitu muda dan rapuh, mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. Sherly tersenyum sebelum memutuskan untuk keluar dan menutup pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status