Share

BAB 6 - Kabur dari Rumah

Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.

Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.

Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.

“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.

Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.

Claudia tidak akan percaya pada Alana, tidak peduli apa pun yang gadis itu katakan. Wanita tersebut akan lebih memercayai perkataan suami barunya daripada putri kandungnya sendiri.

Alana menahan air mata yang mulai menggenangi sudut mata. Dia tidak ingin orang-orang memandanginya karena menangis.

Saat ini saja penampilan Alana yang berantakan sudah cukup menarik perhatian, tanpa harus ditambah dengan dirinya yang menangis sepanjang jalan.

“Haah ...” Alana menghela napas dan berhenti, lalu duduk di emperan sebuah toko yang sedang tutup.

Sekarang setelah paniknya hilang, baru dia merasa lelah. Kaki Alana sakit karena dia berjalan jauh hanya mengenakan selop rumah dengan hiasan kepala kucing besar di bagian depannya.

Aku masih beruntung bisa pergi dengan sepasang alas kaki, pikir Alana.

Sandalnya yang tidak nyaman itu masih jauh lebih baik daripada berjalan dengan bertelanjang kaki. Dan dia merasa lebih beruntung lagi karena berhasil kabur dan terhindar dari kemungkinan terburuk.

Malam tinggal beberapa jam lagi dan Alana sama sekali tidak memiliki uang. Alana mulai merasakan lapar.

Beberapa hari ini Alana makan sangat sedikit. Dari tadi pagi dia belum menelan  apa pun kecuali beberapa teguk air. Otak gadis terus berpikir, menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, tetapi dia benar-benar merasa putus asa.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Alana pada dirinya sendiri, entah untuk yang keberapa kali. “Aku harus bagaimana?”

Alana terhanyut dalam lamunan sampai akhirnya menyadari bahwa dia sebenarnya dia masih memiliki sesuatu. Gadis itu meraba telinganya dan tersenyum, merasa sangat bersyukur karena ada sepasang anting emas yang dia kenakan.

Alana bergegas berdiri, sambil mengibaskan debu dari bajunya. Kali ini dia tidak perlu berjalan jauh. Gadis itu keluar menuju jalanan besar, sampai kemjudian menemukan sebuah kompleks pertokoan yang cukup ramai.

Gadis itu bertanya pada beberapa orang yang ditemuinya untuk mencari sebuah toko emas. Dan Alana memasuki toko emas pertama yang berhasil dia temukan.

Seorang pelayan toko menyambut Alana. Gadis itu melepas antingnya dan menanyakan kepada penjual berapa harga yang akan dia dapat jika menjual perhiasan tersebut.

“Saya mau jual ini. Kira-kira laku berapa, ya?” tanya Alana, sambil menyodorkan sepasang antingnya.

“Ada surat-suratnya?” tanya si pelayan toko, seorang pria paruh baya berkumis, sambil mengamati sepasang anting yang disodorkan Alana.

“Tidak ada, Pak.”

“Saya timbang dahulu, ya?”

Alana menunggu beberapa saat sambil merenung. Kalau tahu akan seperti ini dia pasti akan mengenakan semua perhiasannya. Dia pasti akan dapat banyak uang dari hasil penjualan semua perhiasan yang dimilikinya.

Sayang, Alana tidak begitu suka memakai perhiasan. Hanya sepasang anting yang selalu dia kenakan setiap saat. Itu pun ukurannya cukup kecil, sebab Alana tidak suka dengan perhiasan yang terlalu besar dan mencolok.

Semua perhiasan miliknya hanya disimpan dalam sebuah kotak beludru warna merah yang terakhir kali berada dalam kopernya saat dia hendak kabur. Ya, Alana berniat membawa semua perhiasan emasnya untuk berjaga-jaga seandainya dia kehabisan uang.

Dalam beberapa hal Claudia memang kejam, tetapi mamanya itu selalu memenuhi semua kebutuhan Alana. Claudia juga suka mendandani Alana dengan baju-baju dan barang-barang bagus, untuk kemudian memamerkannya pada semua orang layaknya sebuah boneka.

Itu adalah salah satu cara Claudia untuk membentuk citra sebagai seorang ibu yang sempurna. Seorang ibu yang sempurna, dengan putri yang begitu baik dan penurut.

“Neng, ini beratnya cuma satu gram. Dan karena ini tidak ada suratnya, jadi saya cuma berani bayar enam ratus saja,” kata pelayan toko saat kembali menemui Alana.

“Kok murah sekali, Pak? Tolong tambahin lagi, Pak. Saya sedang butuh uang.”

“Tidak bisa, Neng, cuma segitu. Bagaimana?”

“Benar-benar tidak bisa ditambah lagi, Pak?” Alana mencoba menawar.

“Di toko lain malah bakal ditawar lebih murah. Begini saja deh, saya tambahin jadi enam ratus lima puluh ribu. Bagaimana?” Si pelayan toko berusaha meyakinkan.

Alana berpikir sejenak. Sebenarnya dia tidak begitu paham tentang jual beli emas. Lagi pula hari sudah semakin sore, sebentar lagi malam.

“Ya sudah, Pak. Saya jual.”

Setelah mendapatkan uang, Alana mencari warung makan karena dia sangat kelaparan. Dia memilih menu yang paling murah agar uang hasil penjualan anting-anting tadi dapat dihemat.

Setelah itu Alana naik angkot menuju stasiun. Uangnya hanya cukup untuk naik kereta, bukan pesawat. Dia akan pergi menemui papanya, satu-satunya orang yang menjadi harapannya saat ini.

Alana berharap semoga Claudia tidak mencarinya sampai ke stasiun dan membawanya pulang kembali. Dia tidak lagi ingin kembali ke neraka yang dia sebut rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status