Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.
Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.
Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.
“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.
Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.
Claudia tidak akan percaya pada Alana, tidak peduli apa pun yang gadis itu katakan. Wanita tersebut akan lebih memercayai perkataan suami barunya daripada putri kandungnya sendiri.
Alana menahan air mata yang mulai menggenangi sudut mata. Dia tidak ingin orang-orang memandanginya karena menangis.
Saat ini saja penampilan Alana yang berantakan sudah cukup menarik perhatian, tanpa harus ditambah dengan dirinya yang menangis sepanjang jalan.
“Haah ...” Alana menghela napas dan berhenti, lalu duduk di emperan sebuah toko yang sedang tutup.
Sekarang setelah paniknya hilang, baru dia merasa lelah. Kaki Alana sakit karena dia berjalan jauh hanya mengenakan selop rumah dengan hiasan kepala kucing besar di bagian depannya.
Aku masih beruntung bisa pergi dengan sepasang alas kaki, pikir Alana.
Sandalnya yang tidak nyaman itu masih jauh lebih baik daripada berjalan dengan bertelanjang kaki. Dan dia merasa lebih beruntung lagi karena berhasil kabur dan terhindar dari kemungkinan terburuk.
Malam tinggal beberapa jam lagi dan Alana sama sekali tidak memiliki uang. Alana mulai merasakan lapar.
Beberapa hari ini Alana makan sangat sedikit. Dari tadi pagi dia belum menelan apa pun kecuali beberapa teguk air. Otak gadis terus berpikir, menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, tetapi dia benar-benar merasa putus asa.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Alana pada dirinya sendiri, entah untuk yang keberapa kali. “Aku harus bagaimana?”
Alana terhanyut dalam lamunan sampai akhirnya menyadari bahwa dia sebenarnya dia masih memiliki sesuatu. Gadis itu meraba telinganya dan tersenyum, merasa sangat bersyukur karena ada sepasang anting emas yang dia kenakan.
Alana bergegas berdiri, sambil mengibaskan debu dari bajunya. Kali ini dia tidak perlu berjalan jauh. Gadis itu keluar menuju jalanan besar, sampai kemjudian menemukan sebuah kompleks pertokoan yang cukup ramai.
Gadis itu bertanya pada beberapa orang yang ditemuinya untuk mencari sebuah toko emas. Dan Alana memasuki toko emas pertama yang berhasil dia temukan.
Seorang pelayan toko menyambut Alana. Gadis itu melepas antingnya dan menanyakan kepada penjual berapa harga yang akan dia dapat jika menjual perhiasan tersebut.
“Saya mau jual ini. Kira-kira laku berapa, ya?” tanya Alana, sambil menyodorkan sepasang antingnya.
“Ada surat-suratnya?” tanya si pelayan toko, seorang pria paruh baya berkumis, sambil mengamati sepasang anting yang disodorkan Alana.
“Tidak ada, Pak.”
“Saya timbang dahulu, ya?”
Alana menunggu beberapa saat sambil merenung. Kalau tahu akan seperti ini dia pasti akan mengenakan semua perhiasannya. Dia pasti akan dapat banyak uang dari hasil penjualan semua perhiasan yang dimilikinya.
Sayang, Alana tidak begitu suka memakai perhiasan. Hanya sepasang anting yang selalu dia kenakan setiap saat. Itu pun ukurannya cukup kecil, sebab Alana tidak suka dengan perhiasan yang terlalu besar dan mencolok.
Semua perhiasan miliknya hanya disimpan dalam sebuah kotak beludru warna merah yang terakhir kali berada dalam kopernya saat dia hendak kabur. Ya, Alana berniat membawa semua perhiasan emasnya untuk berjaga-jaga seandainya dia kehabisan uang.
Dalam beberapa hal Claudia memang kejam, tetapi mamanya itu selalu memenuhi semua kebutuhan Alana. Claudia juga suka mendandani Alana dengan baju-baju dan barang-barang bagus, untuk kemudian memamerkannya pada semua orang layaknya sebuah boneka.
Itu adalah salah satu cara Claudia untuk membentuk citra sebagai seorang ibu yang sempurna. Seorang ibu yang sempurna, dengan putri yang begitu baik dan penurut.
“Neng, ini beratnya cuma satu gram. Dan karena ini tidak ada suratnya, jadi saya cuma berani bayar enam ratus saja,” kata pelayan toko saat kembali menemui Alana.
“Kok murah sekali, Pak? Tolong tambahin lagi, Pak. Saya sedang butuh uang.”
“Tidak bisa, Neng, cuma segitu. Bagaimana?”
“Benar-benar tidak bisa ditambah lagi, Pak?” Alana mencoba menawar.
“Di toko lain malah bakal ditawar lebih murah. Begini saja deh, saya tambahin jadi enam ratus lima puluh ribu. Bagaimana?” Si pelayan toko berusaha meyakinkan.
Alana berpikir sejenak. Sebenarnya dia tidak begitu paham tentang jual beli emas. Lagi pula hari sudah semakin sore, sebentar lagi malam.
“Ya sudah, Pak. Saya jual.”
Setelah mendapatkan uang, Alana mencari warung makan karena dia sangat kelaparan. Dia memilih menu yang paling murah agar uang hasil penjualan anting-anting tadi dapat dihemat.
Setelah itu Alana naik angkot menuju stasiun. Uangnya hanya cukup untuk naik kereta, bukan pesawat. Dia akan pergi menemui papanya, satu-satunya orang yang menjadi harapannya saat ini.
Alana berharap semoga Claudia tidak mencarinya sampai ke stasiun dan membawanya pulang kembali. Dia tidak lagi ingin kembali ke neraka yang dia sebut rumah.
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer