Share

BAB 7 - Menyongsong Harapan

“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.

“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.

Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.

Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

 Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.

Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.

Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.

Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya mengenakan gaun rumah warna putih selutut, dipadu blazer tipis berwarna hitam.

Alana harus menunggu selama tiga jam sebelum akhirnya kereta datang. Dia merasa sangat lega ketika akhirnya bisa duduk di dalam gerbong kereta dengan nyaman.

Syukurlah, batinnya. Sejauh itu semuanya baik-baik saja. Sebelumnya dia sempat mandi sebentar di toilet stasiun.

Sekarang penampilan Alana tidak terlalu mengenaskan seperti tadi. Meski harus cukup puas dengan baju yang sudah dipakai dari semalam, setidaknya kini badannya sudah cukup bersih.

Alana beruntung karena teman perjalanan di sebelahnya adalah seorang wanita paruh baya yang terlihat mengantuk dan pendiam. Mereka hanya bertukar senyum sebentar, untuk kemudian saling diam.

Alana tidak menginginkan pertanyaan ingin tahu dan tatapan penuh selidik dari siapa pun mengenai dirinya. Dia hanya ingin melakukan perjalanan dengan tenang.

Kereta melaju dengan cepat, membawa Alana menyongsong harapan baru dalam hidupnya. Kehidupan baru membentang di depan mata.

Alana tidak tahu akan seperti apa masa depannya, setelah semua kekacauan yang dia tinggalkan jauh di belakang. Dia hanya berharap semoga kesialan tidak lagi mengikuti langkahnya ke depan.

Tidak lama setelah kereta melaju, Alana sudah tertidur lelap. Mimpi-mimpi yang datang membuat tidurnya gelisah, akan tetapi setidaknya untuk saat ini dia aman.

Alana menggenggam harapannya erat. Dia tidak akan membiarkan siapa pun merenggut hal itu darinya.

Alana bermimpi buruk. Tidur gadis itu gelisah hingga membuatnya mengigau. Dia melihat Samuel yang berlumuran darah dan mati.

Mimpinya lantas berganti menjadi Claudia yang menjambak rambut dan mencakari wajah Alana. Polisi mengejarnya, sedangkan kaki Alana begitu lemas hingga tidak bisa berlari.

Ada pula ayahnya yang menatap acuh dengan seorang wanita asing yang berada di sampingnya. Samuel yang berusaha menyentuhnya dan Alana yang berteriak tanpa suara.

Alana terkesiap bangun. Pikirannya sedang kalut sehingga terbawa ke alam mimpi. Suasana gerbong senyap. Sepertinya sudah lewat tengah malam dan semua penumpang terlelap.

Alana mencoba kembali memejamkan mata, tetapi tidurnya tidak bisa nyenyak. Selalu saja gelisah dan diwarnai mimpi-mimpi buruk lagi sampi pengujung malam itu.

Kereta sampai tujuan pada pukul lima pagi. Stasiun dalam keadaan sepi, tetapi di luar ada banyak ojek.

Alana tidak tahu di mana alamat rumah papanya, sebab dia tidak pernah berniat mengunjungi pria itu dan tidak mengira situasi seperti ini akan terjadi padanya.

Namun Alana setidaknya tahu alamat kantor tempat usaha papanya berada, meski dia tahu ini terlalu pagi untuk jam kantor buka.

Gadis itu hanya punya dua pilihan. Menunggu di stasiun atau menunggu di luar kantor papanya dan berharap bisa menghubungi lelaki itu entah dengan cara bagaimana.

Alana menimbang-nimbang sejenak, sebelum akhirnya memanggil ojek dan meminta diantarkan ke alamat tujuan.

Udara pagi membuat badan Alana semakin menggigil. Dia merasa tidak enak badan. Sepertinya aku sedikit demam, pikirnya.

Jalanan masih sepi dan langit masih sedikit gelap. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang.

Tidak lama kemudian Alana sampai di depan sebuah gedung lima lantai. Bagian depan bangunan itu didominasi kaca dengan pagar depan masih tertutup.

Gedung itu terlihat cukup terawat dengan halaman yang sangat luas. Benar seperti dugaan Alana, ada satpam di pos dekat gerbang.

Hari sudah cukup terang ketika Alana sampai di sana. Terlihat seorang pria agak gendut dengan seragam satpam yang terlihat mengantuk.

Ada gelas kopi kosong di meja sebelah pria tersebut. Dia tidak menyadari kedatangan Alana sampai gadis itu mengetuk pintu pos.

Tok tok tok

Satpam tersebut langsung terlonjak kaget dan terlihat waspada.

“Astaga, Neng. Bikin kaget saja. Neng mau apa?”

“Permisi, Pak. Saya ingin bertemu Steve Ryan, pemilik perusahaan ini. Bisa tolong Bapak hubungi dia?”

“Neng bercanda?”

Kini Alana mendapat perhatian penuh. Pria tersebut memandang Alana dari atas ke bawah, lalu balik lagi ke atas dengan tatapan meremehkan.

“Neng ini siapa? Lagian ada perlu apa?”

“Saya anaknya, Pak. Tolong, hubungi Papa saya.”

“Neng jangan ngaku-ngaku, deh. Mana buktinya kalau Neng ini anak Pak Steve Ryan? Coba lihat KTP-nya? Lagian setahu saya Pak Steve itu tidak punya anak cewek. Neng kalau mau nipu kira-kira, dong.”

“KTP saya tidak ada, Pak. Saya juga tidak ada handphone, jadi tidak bisa hubungin Papa langsung. Karena itu saya minta tolong Bapak untuk menghubungi Papa. Saya beneran anaknya....”

“Kamu mau nipu, kan? Sudah, pergi sana kamu! Masih muda jadi penipu,” hardik satpam tersebut yang kini bahkan mulai mendorong Alana keluar dari pos.

Alana berusaha menahan air matanya. Ayolah, ini bukan waktunya menangis, batin Alana.

“Sana, pergi! Mau saya laporkann polisi kamu?”

“Saya berani bersumpah bahwa saya tidak berbohong. Tolong dengarkan penjelasan saya ...” Alana berusaha meyakinkan.

“Jangan sampai saya hilang kesabaran, ya. Pergi kamu!” Kali ini satpam tersebut menarik lengan Alana keluar dari pos.

Alana tahu penampilannya memang tidak layak, tetapi dia merasa tidak seharusnya diperlakukan dengan kasar oleh karyawan papanya sendiri.

Alana sudah lelah diperlakukan dengan semena-mena. Sudah cukup dia dibentak dan diperlakukan kasar.

“Cukup! Saya bisa buktikan kalau saya memang putri kandung Steve Ryan. Dan Bapak tidak berhak mengusir saya!” Alana menantang dengan tatapan matanya.

Si satpam menelan ludah dengan gentar. Sesaat gadis di hadapannya terlihat begitu lemah dan bisa menangis sewaktu-waktu. Sesaat kemudian tatapannya terlihat begitu kuat dan penuh tekad hingga membuatnya merasa terintimidasi.

Dan sialnya, tatapan mata itu mengingatkannya pada bosnya, pria pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Steve Ryan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status