“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.
“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.
Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.
Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.
Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.
Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.
Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya mengenakan gaun rumah warna putih selutut, dipadu blazer tipis berwarna hitam.
Alana harus menunggu selama tiga jam sebelum akhirnya kereta datang. Dia merasa sangat lega ketika akhirnya bisa duduk di dalam gerbong kereta dengan nyaman.
Syukurlah, batinnya. Sejauh itu semuanya baik-baik saja. Sebelumnya dia sempat mandi sebentar di toilet stasiun.
Sekarang penampilan Alana tidak terlalu mengenaskan seperti tadi. Meski harus cukup puas dengan baju yang sudah dipakai dari semalam, setidaknya kini badannya sudah cukup bersih.
Alana beruntung karena teman perjalanan di sebelahnya adalah seorang wanita paruh baya yang terlihat mengantuk dan pendiam. Mereka hanya bertukar senyum sebentar, untuk kemudian saling diam.
Alana tidak menginginkan pertanyaan ingin tahu dan tatapan penuh selidik dari siapa pun mengenai dirinya. Dia hanya ingin melakukan perjalanan dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat, membawa Alana menyongsong harapan baru dalam hidupnya. Kehidupan baru membentang di depan mata.
Alana tidak tahu akan seperti apa masa depannya, setelah semua kekacauan yang dia tinggalkan jauh di belakang. Dia hanya berharap semoga kesialan tidak lagi mengikuti langkahnya ke depan.
Tidak lama setelah kereta melaju, Alana sudah tertidur lelap. Mimpi-mimpi yang datang membuat tidurnya gelisah, akan tetapi setidaknya untuk saat ini dia aman.
Alana menggenggam harapannya erat. Dia tidak akan membiarkan siapa pun merenggut hal itu darinya.
Alana bermimpi buruk. Tidur gadis itu gelisah hingga membuatnya mengigau. Dia melihat Samuel yang berlumuran darah dan mati.
Mimpinya lantas berganti menjadi Claudia yang menjambak rambut dan mencakari wajah Alana. Polisi mengejarnya, sedangkan kaki Alana begitu lemas hingga tidak bisa berlari.
Ada pula ayahnya yang menatap acuh dengan seorang wanita asing yang berada di sampingnya. Samuel yang berusaha menyentuhnya dan Alana yang berteriak tanpa suara.
Alana terkesiap bangun. Pikirannya sedang kalut sehingga terbawa ke alam mimpi. Suasana gerbong senyap. Sepertinya sudah lewat tengah malam dan semua penumpang terlelap.
Alana mencoba kembali memejamkan mata, tetapi tidurnya tidak bisa nyenyak. Selalu saja gelisah dan diwarnai mimpi-mimpi buruk lagi sampi pengujung malam itu.
Kereta sampai tujuan pada pukul lima pagi. Stasiun dalam keadaan sepi, tetapi di luar ada banyak ojek.
Alana tidak tahu di mana alamat rumah papanya, sebab dia tidak pernah berniat mengunjungi pria itu dan tidak mengira situasi seperti ini akan terjadi padanya.
Namun Alana setidaknya tahu alamat kantor tempat usaha papanya berada, meski dia tahu ini terlalu pagi untuk jam kantor buka.
Gadis itu hanya punya dua pilihan. Menunggu di stasiun atau menunggu di luar kantor papanya dan berharap bisa menghubungi lelaki itu entah dengan cara bagaimana.
Alana menimbang-nimbang sejenak, sebelum akhirnya memanggil ojek dan meminta diantarkan ke alamat tujuan.
Udara pagi membuat badan Alana semakin menggigil. Dia merasa tidak enak badan. Sepertinya aku sedikit demam, pikirnya.
Jalanan masih sepi dan langit masih sedikit gelap. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
Tidak lama kemudian Alana sampai di depan sebuah gedung lima lantai. Bagian depan bangunan itu didominasi kaca dengan pagar depan masih tertutup.
Gedung itu terlihat cukup terawat dengan halaman yang sangat luas. Benar seperti dugaan Alana, ada satpam di pos dekat gerbang.
Hari sudah cukup terang ketika Alana sampai di sana. Terlihat seorang pria agak gendut dengan seragam satpam yang terlihat mengantuk.
Ada gelas kopi kosong di meja sebelah pria tersebut. Dia tidak menyadari kedatangan Alana sampai gadis itu mengetuk pintu pos.
Tok tok tok
Satpam tersebut langsung terlonjak kaget dan terlihat waspada.
“Astaga, Neng. Bikin kaget saja. Neng mau apa?”
“Permisi, Pak. Saya ingin bertemu Steve Ryan, pemilik perusahaan ini. Bisa tolong Bapak hubungi dia?”
“Neng bercanda?”
Kini Alana mendapat perhatian penuh. Pria tersebut memandang Alana dari atas ke bawah, lalu balik lagi ke atas dengan tatapan meremehkan.
“Neng ini siapa? Lagian ada perlu apa?”
“Saya anaknya, Pak. Tolong, hubungi Papa saya.”
“Neng jangan ngaku-ngaku, deh. Mana buktinya kalau Neng ini anak Pak Steve Ryan? Coba lihat KTP-nya? Lagian setahu saya Pak Steve itu tidak punya anak cewek. Neng kalau mau nipu kira-kira, dong.”
“KTP saya tidak ada, Pak. Saya juga tidak ada handphone, jadi tidak bisa hubungin Papa langsung. Karena itu saya minta tolong Bapak untuk menghubungi Papa. Saya beneran anaknya....”
“Kamu mau nipu, kan? Sudah, pergi sana kamu! Masih muda jadi penipu,” hardik satpam tersebut yang kini bahkan mulai mendorong Alana keluar dari pos.
Alana berusaha menahan air matanya. Ayolah, ini bukan waktunya menangis, batin Alana.
“Sana, pergi! Mau saya laporkann polisi kamu?”
“Saya berani bersumpah bahwa saya tidak berbohong. Tolong dengarkan penjelasan saya ...” Alana berusaha meyakinkan.
“Jangan sampai saya hilang kesabaran, ya. Pergi kamu!” Kali ini satpam tersebut menarik lengan Alana keluar dari pos.
Alana tahu penampilannya memang tidak layak, tetapi dia merasa tidak seharusnya diperlakukan dengan kasar oleh karyawan papanya sendiri.
Alana sudah lelah diperlakukan dengan semena-mena. Sudah cukup dia dibentak dan diperlakukan kasar.
“Cukup! Saya bisa buktikan kalau saya memang putri kandung Steve Ryan. Dan Bapak tidak berhak mengusir saya!” Alana menantang dengan tatapan matanya.
Si satpam menelan ludah dengan gentar. Sesaat gadis di hadapannya terlihat begitu lemah dan bisa menangis sewaktu-waktu. Sesaat kemudian tatapannya terlihat begitu kuat dan penuh tekad hingga membuatnya merasa terintimidasi.
Dan sialnya, tatapan mata itu mengingatkannya pada bosnya, pria pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Steve Ryan.
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer