“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”
“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.
Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.
Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.
Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.
Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.
Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.
Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. Atau lebih tepatnya takut dipecat. Dia hanya berharap Alana tidak mengadukan perbuatannya barusan.
Terlebih setelah melihat wajah Alana yang terlihat sangat pucat dan kelelahan, rasa bersalahnya makin menjadi-jadi.
Sebenarnya bukan salahnya kalau dia tidak mengetahui kehidupan pribadi bosnya, terlebih kehidupan masa lalunya.
Dia hanya mendengar sedikit rumor bahwa Steve menikah sebanyak dua kali, tidak lebih. Karena tujuannya digaji adalah untuk bekerja, bukan bergosip.
Dia menyadari dirinya hanya bekerja sebagai satpam, bukan asisten pribadi. Jadi wajar saja kalau dia tidak tahu. Tetapi tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan rasa bersalahnya.
Segera setelah menyadari kesalahannya, pria paruh baya itu menghubungi nomor kediaman papa Alana, yang diangkat oleh seorang asisten rumah tangga.
Alana merasa tenang setelah tahu bahwa kini dia sudah aman. Tidak lama lagi papanya akan datang menjemputnya.
Dia sudah berada jauh dari jangkauan mamanya dan Samuel. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan.
Gadis itu merasa kepalanya makin pusing. Dan teh hangat yang diminumnya seteguk hanya membuat perutnya makin mual.
Dia menyandarkan kepalanya ke tembok untuk sedikit meredakan sakit kepalanya. Kepalanya terasa makin berdenyut.
“Neng, neng tidak apa-apa? Neng, kok mukanya tambah pucat?”
“Saya tidak apa-apa, pak,” jawab Alana mengelak.
“Neng tunggu di lobi saja, ya. Di sana ada sofa. Neng nunggu di sana saja sambil nunggu bapak datang. Pintu kantornya udah saya buka.”
“Tidak usah, pak.” Alana yang merasa makin pusing tidak ingin beranjak ke mana-mana.
Hingga tidak lama kemudian terdengar suara deruman mobil dan seorang pria paruh baya dengan rambut diselingi uban menghambur masuk ke pos satpam.
“Alana ... ” pria yang berdiri di hadapan Alana saat ini persis seperti yang terakhir kali dilihatnya, hanya saja terlihat lebih tua.
Papanya memakai baju santai yang agak kusut, mungkin dia pergi dengan terburu-buru. Alana berdiri dan papanya langsung memeluknya dengan erat.
“Astaga, Lana. Mengapa kamu tidak bilang kalau mau datang? Kamu tidak apa-apa? Apa kamu baik-baik saja?” Alana tidak bisa menjawab pertanyaan papanya yang bertubi-tubi.
Steve menangkupkan tangan ke wajah putrinya untuk mengamati keadaannya. Terlihat guratan kekhawatiran yang mendalam di wajahnya yang kini mulai dihiasi keriput halus.
Dan Alana tidak pernah menyadari hingga detik itu, bawa dia sangat merindukan papanya. Wajah teduh pria itu menjanjikan sebuah ketenangan yang didambakannya.
Untuk sejenak dia melupakan semua hal yang telah menimpanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia merasa aman. Tahu bahwa ada seseorang yang akan melindunginya.
“Apa yang terjadi? Papa sangat khawatir. Kemarin Papa menunggu kamu seharian di bandara tetapi kamu tidak muncul. Sampai akhirnya Mama kamu bilang kalau kamu tidak akan datang. Tetapi sekarang tiba-tiba kamu muncul di sini.”
“Maafkan Lana, Pa ... ” kini Alana mulai menangis. Dia sendiri heran mengapa akhir-akhir ini dia sering sekali menangis.
Dan ketika tangisan itu dimulai dia tidak bisa menghentikannya. Papanya bahkan juga ikut menangis. Bedanya, kali ini ada seseorang yang menghapus air matanya saat dia menangis.
“Jangan khawatir. Kamu sudah aman sekarang. Ada Papa di sini,” Steve memeluk putrinya yang hanya membalasnya dengan anggukan lemah.
“Sekarang, ayo kita pulang. Jangan pernah buat papa khawatir lagi.”
***
Selama perjalanan Steve meminta penjelasan Alana tentang semua terjadi hingga memutuskan untuk kabur. Maka Alana harus menjelaskan semuanya secara singkat karena terbatasnya waktu.
“Seperti yang kamu ketahui papa sudah menikah lagi. Papa menikah setahun yang lalu. Istri papa bernama Sherly, yang memiliki dua orang anak laki-laki. Mereka berdua lebih tua dari kamu, jadi kamu punya dua kakak laki-laki.”
Alana merasa menjadi orang luar yang tiba-tiba datang dan mengusik kehidupan bahagia papanya.
Dalam situasi normal itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya di dunia ini. Tapi apakah dia punya pilihan lain? Tentu tidak. Dan dia sedang berada di situasi yang sama sekali tidak normal.
“Sherly wanita yang baik. Dia senang kamu datang.”
Alana meragukan hal itu. Mungkin saja Steve mengatakan hal itu hanya untuk menyenangkannya, pikirnya.
“Apakah dia tahu kalau aku akan datang?” tanya Alana.
“Tentu saja. Dia sangat tidak sabar untuk segera bertemu denganmu.”
Kebohongan macam apa lagi itu? Pikir Alana. Semua ibu tiri pasti akan bersikap sinis dan masam, dan Alana tidak akan heran jika ibu tirinya akan bersikap demikian. Dia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi tetap saja dia merasa gugup dan tegang.
Papanya bilang perjalanan ke rumah hanya akan memakan waktu lima belas menit. Dia berharap perjalanan akan berlangsung lebih lama, mungkin satu jam atau bahkan lebih.
Dia butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Alana mengira-ngira seperti apa wajah ibu barunya. Mereka belum pernah bertemu dan tidak pernah menyangka bahwa pertemuan itu akan terjadi.
Tidak lama kemudian mereka memasuki sebuah kawasan perumahan elit yang berada di tengah kota. Beberapa tahun terakhir memang bisnis papanya berkembang dengan cukup baik.
Rumah-rumah di kawasan itu terlihat besar dan mewah. Rumah yang Alana dan mamanya tinggali sendiri sebenarnya cukup bagus, meski ukurannya tidak terlalu besar. Mereka hanya tinggal berdua, jadi rumah kecil saja sudah cukup.
Dan ukuran rumah mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah-rumah besar itu. Setelah beberapa saat mereka berhenti di depan salah satu rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam.
Steve menekan klakson dan seorang pria paruh baya membukakan gerbang agar mobil bisa masuk.
“Ayo, Lana. Kita masuk ke rumah.” Ajak papanya setelah mereka keluar dari mobil.
Alana menghela napas dan meneguhkan hati, kemudian berjalan mengikuti Steve.
Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?“Kalian sudah pulang?”Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya
Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor. Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi. Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah. Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip. Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya. Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih
Alana tahu Braden dan ibunya sedang membicarakan dirinya di kamar sebelah. Karena tidak ingin mendengar percakapan mereka, maka Alana masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin tahu apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.Sebelumnya dia sedang mengamati cuaca di luar yang begitu cerah. Hingga akhirnya dia setengah melamun dan pikirannya kembali ke saat-saat yang menyedihkan ketika dia harus meninggalkan rumah.Dia tidak tahu bahwa Braden datang. Pemuda itu berjalan tanpa suara dan tahu-tahu ada di sana. Dia hanya berharap pemuda itu tidak melihatnya menangis, karena bagi Alana hal itu sungguh memalukan.Dia bisa melihat betapa pemuda itu membencinya. Langsung terlihat dari sorot matanya begitu mereka diperkenalkan sebagai saudara tiri.Suara pintu dibuka dan ditutup terdengar dari kamar sebelah. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup lagi, kali ini dengan lebih keras. Braden pasti sedang kesal sampai harus membanting pintu.Hal itu hanya makin menambah ra
Semua perabot di ruangan itu bernuansa coklat gelap. Di satu sisi ruangan terdapat sebuah rak buku besar yang memenuhi dinding, dan di sisi seberangnya terdapat sebuah sofa kulit panjang berwarna hitam. Sedangkan bagian tengahnya didominasi oleh sebuah meja kerja besar dengan sebuah kursi di belakangnya.Steve duduk di ujung sofa dan mengisyaratkan pada putrinya yang masih berdiri untuk duduk di sebelahnya. Mereka sudah cukup lama tidak pernah duduk dan mengobrol bersama. Sehingga Alana merasa aneh berasa dalam situasi tersebut.Alana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan pandangan matanya tertumbuk pada sebuah benda di atas meja. Sebuah foto berbingkai kayu yang menampilkan Steve muda dan Alana kecil.Alana merasa terharu, tidak menyangka Steve akan menyimpan foto itu. Foto di mana mereka berdua terlihat begitu bahagia dan saling mencintai, bukannya canggung layaknya orang asing seperti sekarang.“Apa rencana kamu sekarang, Lana?” Steve memulai pembicaraan. “Tadi kita tida
Sebelumnya Alana hanya melihat sosok itu dalam foto. Juga cerita tentang dirinya yang dituturkan oleh semua orang di rumah. Adrian. Seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, kata mereka. Sangat berbanding terbalik dengan Braden, adiknya.“Mbok ... Mbok pasti rindu aku, kan?” Tiba-tiba pemuda itu memeluk Mbok Ijah dari belakang yang datang dari dapur sambil membawa teko kaca berisi air putih.“Awas ini tumpah. Biar Mbok taruh ini dulu,” setelah Mbok Ijah menaruh teko di meja, pemuda itu langsung memeluk Mbok Ijah dengan bersemangat. Perempuan tua itu pun tidak kalah bersemangat dengan menjewer kedua pipi pemuda itu yang hanya tertawa-tawa diperlakukan demikian.“Lho, mas sudah pulang?” Mbak Murni, asisten rumah tangga satunya yang juga merupakan keponakan Mbok Ijah tidak mau ketinggalan.“Mbak, aku kangen sekali sama Mbak Murni,” jawab Adrian menggoda sambil memeluk wanita itu. Wanita itu hanya cengengesan.“Adrian,” Sherly datang setelah mendengar suara ribut-ribut di ruang makan.“M
Alana membuka lemari bajunya dan memilah deretan baju di gantungan. Kini lemarinya penuh, berkat Sherly yang membelikannya banyak sekali pakaian. Setelah menimbang beberapa saat, gadis itu mengeluarkan satu potong pakaian dan meletakkannya di atas tempat tidur.Akhir-akhir ini cuaca cerah cenderung panas. Jadi sebaiknya aku memilih pakaian yang nyaman.Alana memilih sebuah gaun merah sederhana tanpa lengan dengan bagian pinggul mengembang selutut. Sebagai padanannya dia memilih sepasang flatshoes berwarna putih dan tas kecil dengan warna senada.Adrian hanya akan mengajaknya makan dan jalan-jalan, tetapi entah mengapa Alana merasa senang sekali. Alana mematut dirinya di cermin lama, mencoba mengoreksi penampilannya yang sudah nyaris sempurna.Tok tok tok“Alana ... ”Rupanya Adrian sudah siap dan Alana bergegas membuka pintu.“Sudah siap untuk pergi?” Pemuda itu bersandar di ambang pintu dengan senyum menawannya. “Wow, kamu cantik sekali hari ini.”Pipi Alana merona mendengar pujian i
Adrian menarik tangan Alana untuk memasuki sebuah toko jam tangan dengan brand ternama. “Kakak mau membeli jam tangan?” tanya Alana. “Sudah ku bilang aku ingin membelikanmu sesuatu sebagai hadiah. Dan aku rasa semua orang membutuhkan jam tangan,” jawab Adrian. “Ada yang bisa saya bantu?” seorang pramuniaga cantik mendatangi mereka. “Kami mau melihat jam tangan wanita,” Jawab Adrian. “Mari, silakan. Di sebelah sini.” Mereka melihat-lihat berbagai model jam tangan wanita dengan sesekali si pramuniaga memberitahukan detail dan kelebihan dari masing-masing produk. “Apa ada yang kau suka?” tanya Adrian. “Ehm, entahlah. Aku bingung.” Banyaknya model dan pilihan membuat Alana sedikit bingung. “Apakah ada yang untuk pasangan?” tanya Adrian pada penjaga toko. “Kakak mau beli untuk siapa?” tanya Alana penasaran. “Tentu saja untukmu dan untukku.” “A-apa?” tanya Alana salah tingkah. “Sebagai tanda bahwa sekarang kita bersaudara.” Jawab Adrian dengan tersenyum bahagia. “Ya, saudara,”
Sesaat setelah kepergian Alana dan kakaknya, Braden melempar lap dengan kesal. Dia tidak tahu apa yang membuatnya kesal pagi itu. Beberapa hari terakhir moodnya benar-benar kacau. Itu pula alasan mengapa dia ada di rumah sekarang.Braden menjadi sangat menyebalkan jika sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Dan kalau sudah seperti itu, biasanya teman-temannya akan menghindar sampai suasana hati pemuda itu kembali membaik.Dengan jengkel diambilnya lagi lap yang dia lempar sebelumnya. Lalu digosokkannya dengan keras pada body motor yang sebenarnya sudah mengkilap. Sebenarnya Braden masih butuh pelampiasan, tetapi kini setiap jengkal motor itu sudah sangat bersih. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.“Tumben kamu di rumah?” tanya Sherly pada putranya ketika melihat pemuda itu memasuki rumah.“Mama tidak suka aku di rumah?”“Bukan begitu. Kamu kan nyaris tidak pernah ada di rumah akhir-akhir ini. Sebenarnya kamu ke mana saja, sih? Mama kan jadi khawatir kalau kamu tidak pulang.” T