Share

BAB 8 - Sosok Pelindung

“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”

“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.

Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.

Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.

Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.

Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.

Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.

Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. Atau lebih tepatnya takut dipecat. Dia hanya berharap Alana tidak mengadukan perbuatannya barusan.

Terlebih setelah melihat wajah Alana yang terlihat sangat pucat dan kelelahan, rasa bersalahnya makin menjadi-jadi.

Sebenarnya bukan salahnya kalau dia tidak mengetahui kehidupan pribadi bosnya, terlebih kehidupan masa lalunya.

Dia hanya mendengar sedikit rumor bahwa Steve menikah sebanyak dua kali, tidak lebih. Karena tujuannya digaji adalah untuk bekerja, bukan bergosip.

Dia menyadari dirinya hanya bekerja sebagai satpam, bukan asisten pribadi. Jadi wajar saja kalau dia tidak tahu. Tetapi tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan rasa bersalahnya.

Segera setelah menyadari kesalahannya, pria paruh baya itu menghubungi nomor kediaman papa Alana, yang diangkat oleh seorang asisten rumah tangga.

Alana merasa tenang setelah tahu bahwa kini dia sudah aman. Tidak lama lagi papanya akan datang menjemputnya.

Dia sudah berada jauh dari jangkauan mamanya dan Samuel. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan.

Gadis itu merasa kepalanya makin pusing. Dan teh hangat yang diminumnya seteguk hanya membuat perutnya makin mual.

Dia menyandarkan kepalanya ke tembok untuk sedikit meredakan sakit kepalanya. Kepalanya terasa makin berdenyut.

“Neng, neng tidak apa-apa? Neng, kok mukanya tambah pucat?”

“Saya tidak apa-apa, pak,” jawab Alana mengelak.

“Neng tunggu di lobi saja, ya. Di sana ada sofa. Neng nunggu di sana saja sambil nunggu bapak datang. Pintu kantornya udah saya buka.”

“Tidak usah, pak.” Alana yang merasa makin pusing tidak ingin beranjak ke mana-mana.

Hingga tidak lama kemudian terdengar suara deruman mobil dan seorang pria paruh baya dengan rambut diselingi uban menghambur masuk ke pos satpam.

“Alana ... ” pria yang berdiri di hadapan Alana saat ini persis seperti yang terakhir kali dilihatnya, hanya saja terlihat lebih tua.

Papanya memakai baju santai yang agak kusut, mungkin dia pergi dengan terburu-buru.  Alana berdiri dan papanya langsung memeluknya dengan erat.

“Astaga, Lana. Mengapa kamu tidak bilang kalau mau datang? Kamu tidak apa-apa? Apa kamu baik-baik saja?” Alana tidak bisa menjawab pertanyaan papanya yang bertubi-tubi.

Steve menangkupkan tangan ke wajah putrinya untuk mengamati keadaannya. Terlihat guratan kekhawatiran yang mendalam di wajahnya yang kini mulai dihiasi keriput halus.

Dan Alana tidak pernah menyadari hingga detik itu, bawa dia sangat merindukan papanya. Wajah teduh pria itu menjanjikan sebuah ketenangan yang didambakannya.

Untuk sejenak dia melupakan semua hal yang telah menimpanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama dia merasa aman. Tahu bahwa ada seseorang yang akan melindunginya.

“Apa yang terjadi? Papa sangat khawatir. Kemarin Papa menunggu kamu seharian di bandara tetapi kamu tidak muncul. Sampai akhirnya Mama kamu bilang kalau kamu tidak akan datang. Tetapi sekarang tiba-tiba kamu muncul di sini.”

“Maafkan Lana, Pa ... ” kini Alana mulai menangis. Dia sendiri heran mengapa akhir-akhir ini dia sering sekali menangis.

Dan ketika tangisan itu dimulai dia tidak bisa menghentikannya. Papanya bahkan juga ikut menangis. Bedanya, kali ini ada seseorang yang menghapus air matanya saat dia menangis.

“Jangan khawatir. Kamu sudah aman sekarang. Ada Papa di sini,” Steve memeluk putrinya yang hanya membalasnya dengan anggukan lemah.

“Sekarang, ayo kita pulang. Jangan pernah buat papa khawatir lagi.”

***

Selama perjalanan Steve meminta penjelasan Alana tentang semua terjadi hingga memutuskan untuk kabur. Maka Alana harus menjelaskan semuanya secara singkat karena terbatasnya waktu.

“Seperti yang kamu ketahui papa sudah menikah lagi. Papa menikah setahun yang lalu. Istri papa bernama Sherly, yang memiliki dua orang anak laki-laki. Mereka berdua lebih tua dari kamu, jadi kamu punya dua kakak laki-laki.”

Alana merasa menjadi orang luar yang tiba-tiba datang dan mengusik kehidupan bahagia papanya.

Dalam situasi normal itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya di dunia ini. Tapi apakah dia punya pilihan lain? Tentu tidak. Dan dia sedang berada di situasi yang sama sekali tidak normal.

“Sherly wanita yang baik. Dia senang kamu datang.”

Alana meragukan hal itu. Mungkin saja Steve mengatakan hal itu hanya untuk menyenangkannya, pikirnya.

“Apakah dia tahu kalau aku akan datang?” tanya Alana.

“Tentu saja. Dia sangat tidak sabar untuk segera bertemu denganmu.”

Kebohongan macam apa lagi itu? Pikir Alana. Semua ibu tiri pasti akan bersikap sinis dan masam, dan Alana tidak akan heran jika ibu tirinya akan bersikap demikian. Dia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi tetap saja dia merasa gugup dan tegang.

Papanya bilang perjalanan ke rumah hanya akan memakan waktu lima belas menit. Dia berharap perjalanan akan berlangsung lebih lama, mungkin satu jam atau bahkan lebih.

Dia butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Alana mengira-ngira seperti apa wajah ibu barunya. Mereka belum pernah bertemu dan tidak pernah menyangka bahwa pertemuan itu akan terjadi.

Tidak lama kemudian mereka memasuki sebuah kawasan perumahan elit yang berada di tengah kota. Beberapa tahun terakhir memang bisnis papanya berkembang dengan cukup baik.

Rumah-rumah di kawasan itu terlihat besar dan mewah. Rumah yang Alana dan mamanya tinggali sendiri sebenarnya cukup bagus, meski ukurannya tidak terlalu besar. Mereka hanya tinggal berdua, jadi rumah kecil saja sudah cukup.

Dan ukuran rumah mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah-rumah besar itu. Setelah beberapa saat mereka berhenti di depan salah satu rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam.

Steve menekan klakson dan seorang pria paruh baya membukakan gerbang agar mobil bisa masuk.

“Ayo, Lana. Kita masuk ke rumah.” Ajak papanya setelah mereka keluar dari mobil.

Alana menghela napas dan meneguhkan hati, kemudian berjalan mengikuti Steve.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status