“Nanti pulang kerja kamu harus cerita pada Papa ya..” Kataku Pada Noni. Noni sembari menyibukkan diri dia bertanya tanpa menatap wajahku, “Cerita apa sih Pa? Kok Mau tahu aja urusan anaknya?” Noni tanyakan itu dengan senyum yang penuh misteri.
Pantasan Noni selama dua hari ini dandanannya sangat cantik, outfitnya juga sangat modis. Satu sisi aku senang melihat keadaan Noni tersebut, namun di sisi lain aku merasa sedih melihat nasibnya. Aku selalu mendoakannya, agar suatu saat dia mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keinginannya. Setelah pulang kerja, di rumah aku ajak Noni berbicara di ruangan tamu. Noni menyiapkan teh dan camilan di atas meja buatku, “Gini Pa.. sejak kita ditraktir makan siang kemarin, pak Supriatna sering ajak Noni ngobrol di ruang kerjanya.” Cerita Noni. Ada perasaan senang mendengar apa yang diceritakan Noni. Noni cerita kalau pak Supriatna mengungkapkan perasaannya pada Noni, bahwa dia merasaNoni terus menggodaku seakan tidak ada batasan antara seorang anak dengan Papanya, Noni tidak menghiraukan status pertalian darah. Dia memang kurang pengetahuan tentang hal itu, dan menganggap hubungan seperti itu adalah hal yang biasa.Sebagai orang tua aku tetap memposisikan diri sebagai Papanya, dan menyayangi dirinya layak orang tuanya. Noni memagut leherku sehingga wajahku menempel dengan wajahnya, “Non.. kalau tetap seperti ini Papa setuju, asal tidak lebih dari ini.” Bisikku ditelingaku Noni.Noni menganggukkan kepala sembari memejamkan matanya. Noni menyibakkan selimut dengan kakinya, sehingga tubuhnya tidak lagi ditutupi selimut. Ternyata Noni hanya menggunakan underwear tanpa bawahan penutup tubuhnya. Noni menyilangkan satu pahanya di atas pahaku dan aku membiarkannya asalkan dia nyaman.Memang setelah itu Noni lelap tertidur dengan tetap posisi seperti itu. Aku pun berusaha untuk memejamkan mataku. Saat tengah malam di tengah t
Sepulang dari Bandung aku memenuhi janjiku pada keluarga memanfaatkan waktu libur. Kebetulan aku dapat fasilitas untuk liburan di Villa milik perusahaan di daerah puncak. 2 hari untuk kumpul bersama keluarga adalah waktu yang cukup untuk membangun kehangatan. Bisa ngobrol dengan leluasa, bercanda dengan anak-anak cukuplah untuk menghilangkan penat.Selama dua hari itu ponsel khusus untuk urusan privat tidak aku aktifkan. Khusus kepada Noni aku sudah kasih tahu kalau akan liburan bersama keluarga. Memang terasa ada yang hilang, karena waktuku dengan keluarga sangat sedikit. Sehingga saat quality time tersebut sangat terasa manfaatnya.Aku tidak tahu apa aktivitas anak-anakku di luar rumah, berteman dengan siapa mereka di luar rumah. Padahal, itu adalah hal yang sangat penting untuk aku ketahui. Inilah saatnya aku komunikasikan hal itu dengan santai pada anak-anakku, dengan demikian aku jadi tahu apa saja aktivitas anak-anak di luar rumah.Pada Rani ak
“Aku tidak ingin membuat kamu dan orang tua kamu kecewa Sri, aku juga takut durhaka pada kedua orang tuaku.” Jawabku dengan lirih. “Mas!! Kamu tidak punya perasaan!! Sebagai wanita aku merasakan apa yang dirasakan wanita yang kamu tinggalkan begitu saja!!” Tegas isteriku sembari mengucurkan airmata.Aku peluk isteriku dengan penuh haru, aku minta maaf pada isteriku, “Mas ngaku salah Sri.. mas gak tahu harus melakukan apa saat itu. Pilihannya hanya meninggalkan wanita itu.” Aku hampir tidak bisa menahan rasa haru saat mendengar tangisan isteriku yang begitu perih.“Tolong masalah ini jangan diceritakan pada anak-anak Sri, mas takut mereka tidak siap menerimanya.” Aku memohon pada isteriku.“Sekarang mas ceritakan bagaimana mas bisa temukan anak itu? Di mana ibunya saat ini? Tolong mas katakan dengan jujur!!” Pinta isteriku dengan nada suara kembali meninggi di tengah isak tangisnya.
Setelah quality time selama dua hari dengan keluarga, banyak manfaat yang aku rasakan. Setidaknya aku tidak perlu lagi merahasiakan keberadaan Noni, dan isteriku sudah tahu siapa Noni kalau suatu saat Noni telepon aku.Aku sangat bersyukur isteriku sangat penuh pengertian dan bijaksana dalam menyikapi masa laluku, sedikitpun dia tidak kecewa. Malah dia mempersalahkan aku yang meninggalkan Widarti begitu saja, sehingga akibatnya menjadi derita Noni.Saat aku sudah berada di kantor keesokan harinya, Sinta telepon aku. Sinta mengabarkan kalau dia sudah dua hari Staycation di Shangrila Hotel.“Om Danu.. temani aku ya, biasa aku kangen dengan pijatan om Danu.” Itu yang dikatakan Sinta, dia sangat yakin kalau aku tidak akan menolak keinginannya.Aku menolak keinginan Sinta, “Sinta.. hari ini om gak bisa, karena baru pulang quality time sama keluarga.” Aku menolaknya karena situasi dan kondisinya memang tidak memungkinkan.
Aku sudah tahu apa yang dibutuhkan Sinta sebenarnya, hanya saja dia tidak ingin mengutarakannya padaku. Pada titik-titik tertentu ditelapak kakinya aku pijat dengan perlahan secara berulang-ulang. Sinta mulai memberikan reaksi dengan rintihannya.Pada bagian betisnya hanya aku pijat ala kadarnya, karena pada bagian itu tidak ada urat sarafnya yang mengencang. Aku menyusuri bagian tengah pahanya, yang banyak area sensitif. Pada titik ini Sinta mulai memberikan reaksi, “Om.. yang kalem ya di bagian itu.” Pinta Sinta. Aku sudah faham dengan reaksi tersebut.Aku sengaja berlama-lama di bagian tengah kedua pahanya, dengan menggunakan kedua tanganku sekaligus. Tubuh Sinta mulai menggeliat dan meliuk-liuk saking menikmati pijatan di bagian itu. Aku memindahkan kedua tanganku ke bagian pinggulnya yang membukit dan menstimulasinya perlahan-lahan.Saat aku memijat bagian punggungnya, seketika Sinta membalikkan tubuhnya hingga terlentang. Lama aku m
Setelah kencan dengan Sinta, sebelum Maghrib tiba aku sudahtiba di rumah. Isteriku tersenyum semringah menyambut pulang, nikmat mana lagi yang patut aku dustakan. Isteriku mencium tanganku seperti biasanya dan aku pun membalasnya dengan memberikan kecupan di keningnya.Kadang aku merasa sangat berdosa pada isteriku, betapa aku selalu menghianati ketulusan hatinya. Aku baru menyadari kalau aku dianugerahkan Tuhan seorang isteri yang begitu sabar, dan memiliki kelapangan hati yang luar biasa.Yang sering aku tolak dari perlakuan isteriku sejak kami menikah, aku tidak pernah ingin dia melepas sepatuku. Aku tidak ingin memperlakukan dirinya seakan-akan ada di bawah kakiku. Fitrah seorang isteri bagiku tetaplah sebagai tulang rusukku, bukanlah menjadi tulang punggung atau pun telapak kakiku.Sembari mengiringiku ke dalam rumah, isteriku kembali menanyakan perihal Noni, “Mas sudah komunikasi sama Noni? Gimana info soal Mamanya Noni?&rdquo
Saat sedang sarapan pagi, aku menerima telepon dari Noni. Noni mengabarkan kalau dia sudah bikin janji dengan Ningsih untuk bertemu, “Kamu coba aja bertemu dulu sama tante Ningsih, tanya informasi tentang Mama kamu.” Aku sarankan seperti itu pada Noni. Namun, Noni inginnya aku juga ikut bertemu dengan Ningsih.“Papa baru ada jadwal dinas ke Bandung besok lusa Noni, kalau gitu kamu atur ketemunya besok lusa, gimana?” Noni janji akan usahakan bisa bertemu Ningsih besok lusa. Aku sampaikan salam dari isteri dan anak-anakku pada Noni dan Noni tidak menyangka kalau aku sudah cerita perihal itu pada keluargaku.“Noni titip salam juga untuk Mama dan adik-adik di Jakarta ya Pa..” balas Noni. Aku menyampaikan salam dari Noni pada isteri dan anak-anakku, mereka sangat senang adanya komunikasi seperti itu. Situasi ini semakin menguatkanku untuk memperbaiki keadaan. Aku ingin peristiwa ini sebagai awal hijrahku ke jalan yang benar.
Pak Anggoro sudah pulang dari Singapura, dengan demikian aku bisa tugas ke Bandung. Di rumah pun tidak ada lagi persoalan kalau aku ke Bandung, karena semua sudah tidak ada lagi yang aku rahasiakan pada keluargaku.Ini sebuah perjalanan yang penting untuk menelusuri keberadaan Widarti, mantanku yang juga merupakan Mamanya Noni. Kendatipun ini bukanlah perkara yang mudah. Bertemu dengan Ningsih tidak berarti dengan mudah aku bisa melacak di mana keberadaan Widarti.Tapi, setidaknya ini menjadi titik awal menjadi titik terang agar mudah menelusuri sebuah perjalanan panjang. Dengan menggunakan travel langgananku, aku menuju ke Bandung untuk memenuhi janjiku dengan Noni. Paling tidak kedatanganku akan membuat hati Noni tenang, dan dia tahu kalau aku memenuhi janjiku.Sampai di Bandung sekitar pukul 11 siang, aku langsung menuju ke kantor. Ada perasaan gembira di hatiku saat menjelang bertemu dengan Ningsih, aku sangat berharap banyak dari Ningsih lah nan