Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar.
Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya. Bekas percintaannya dengan Ardan. "Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain. Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya. "Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini. "Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus. Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika Bik Sumi jauh lebih layak untuk disebut ibu olehnya, daripada ibu kandungnya sendiri. "Apa yang sudah terjadi, Non? Kalau mau, kamu bisa bercerita dan Bibi akan mendengarkan. Siapa tahu Nona bisa merasa lebih baik." "Aku baik-baik saja, Bik. Aku hanya ingin istirahat di sini untuk sementara waktu. Bisa kan Bibi menemani Kirana di sini?" Tanya Kirana yang langsung dijawab sebuah anggukan oleh Bik Sumi. "Tentu, Nona. Ngomong-ngomong, apa suami Nona tidak ikut ke sini?" Bik Sumi bertanya sambil menatap ke luar rumah, seakan berharap melihat sosok Ardan di sana. Namun, Kirana hanya menggeleng karena tak ingin mengatakan apapun tentang suaminya pada orang lain. Sejujurnya, ia malu untuk menceritakan rumah tangganya yang tidak harmonis dengan Ardan, padahal rasa cinta pada pria itu sudah menyelimutinya sejak mereka menikah. Yang terpenting adalah ia tidak ingin membuat Bik Sumi merasa khawatir dengan keadaannya. "Bibi menghargai semua keputusan yang Non Kirana pilih, asal itu demi kebaikan kamu. Nona harus bahagia, ya?" Kirana tersenyum dan mengangguk. Ia sungguh merasa bersyukur lantaran masih memiliki tempat untuk bersandar setelah kepergian sang kakek. "Ohya, bagaimana kalau kita keluar dulu untuk berjalan-jalan? Nona pasti sudah agak lupa dengan desa ini. Apalagi sekarang banyak yang berubah selama Non Kirana tidak datang," ucap Bik Sumi menawarkan diri. "Wah! Aku jadi penasaran. Ayo kita berangkat, Bi!" seru Kirana sambil bangkit dari duduknya. Dengan mata berbinar, ia tak sabar untuk berkeliling dan melihat desa ini. Kedua wanita itu lantas berjalan santai menyusuri tanah yang agak lembab karena hujan yang sempat turun. Beberapa lama berjalan, Kirana tak sadar telah berjalan terlalu jauh dari Bik Sumi. Saat ia sedang menuruni lantai tanah, kakinya yang ditutupi selop tiba-tiba tergelincir hingga tubuhnya tak seimbang. Kirana memejamkan mata dan bersiap untuk jatuh, tapi alih-alih rasa sakit yang ia terima, Kirana malah merasa dirinya tengah jatuh ke ranjang yang empuk. “Ah!” Kirana berteriak dan buru-buru bangkit. Tampaknya, dia jatuh ke atas tubuh seseorang, karena meski empuk, tekstur yang dirasakan berbeda. "Apa kau baik-baik saja?" Benar saja, seorang pria berdiri di belakangnya sambil bersedekap. "Astaga, Nona! Apa kamu baik-baik saja?" seru Bik Sumi dengan panik. Ia hanya meleng sedikit untuk mencuci kaki, tapi dalam sekejap mata itu Kirana sudah jauh di depan. Wajah Kirana memerah. "Aku baik-baik saja, Bi. Jangan khawatir." "Bik Sumi? Selamat pagi, Bi," sapa pria yang tadi membantu Kirana. Kulit putih pria itu sangat serasi dengan rambutnya yang hitam legam. "Eh, Den Barra?! Sedang jalan-jalan? Selamat pagi, Den. Terima kasih sudah menyelamatkan Non Kirana. Hampir saja dia jatuh." Bik Sumi bercuap sambil mengelus dadanya penuh syukur. "Tidak masalah, Bi. Kebetulan saya juga sedang lewat di sini dan refleks membantu Kirana." ujar Barra sambil melirik ke arah Kirana. Wanita itu tersentak kaget dan jadi salah tingkah. Bukan karena ia merasa senang, melainkan merasa malu dan gugup. Ia tidak mengenal pria itu sama sekali, tapi pria itu malah dengan baik hati menjadikan tubuhnya sebagai alas. “Terima kasih karena sudah menolong saya. Maaf karena membuat pakaianmu jadi kotor. Saya Kirana”. Kirana mengulurkan tangannya dengan canggung sambil menatap Barra, sedangkan pria itu terkekeh pelan. “Saya Barra. Tidak masalah, Kirana. Saya senang bisa membantu. Kalau begitu, saya duluan ya. Mari”. Barra lalu pergi dari sana tanpa lagi menoleh ke belakang. Sepanjang masih ditangkap mata, Kirana melihatnya terus-terusan disapa oleh banyak pekerja perkebunan. "Dia Barra, Non. Putra pemilik kebun teh yang menjadi ladang pekerjaan bagi warga di sini. Sebenarnya, Bibi kaget karena dia hampir tidak pernah kelihatan sejak pergi ke Inggris empat tahun lalu dengan ibunya." "Kenapa, Bik?" Tanya Kirana semakin bingung. "Ayah dan Ibu Den Barra itu sudah bercerai sejak lama. Paras Den Barra juga terlihat seperti orang asing, karena ibunya berasal dari Amerika". Penjelasan Bi Sumi membuat Kirana mengangguk, tapi tak berkomentar lebih banyak selain menatap ke jalan yang dilalui Barra tadi. "Astaga! Non, sebentar lagi makan siang dan bibi belum menyiapkan apa-apa. Apa Nona mau pulang? Atau Nona mau kembali berjalan-jalan sendiri?" Tanya Bik Sumi yang merasa bersalah. "Aku masih ingin jalan-jalan, Bi. Cuacanya juga masih bagus. Jadi, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini." "Baiklah, tapi pastikan terus berhati-hati ya. Hubungi Bibi jika terjadi sesuatu." Kirana hanya mengangguk tanda mengerti. Lagipula, ia sudah cukup dewasa dan bisa pulang sendiri. Wanita itu lalu menyusuri jalan setapak berbatu yang tipis-tipis terpatri dalam ingatannya. Kirana berencana untuk berkunjung ke pohon besar yang dulu sering ia kunjungi bersama sang kakek. Sesampainya di sana, Kirana menatap pohon itu dengan haru. Terlebih kala ia seperti mendengar suara kakeknya yang memanggil ia untuk turun dari pohon. Namun, sebelum ingatan Kirana bisa melayang lebih jauh, sebuah suara menyentaknya dari lamunan. "Kirana?" Wanita itu menoleh tatkala mendengar seseorang menyebut namanya. Ia juga tak kalah kaget, saat melihat sosok pria yang ada di belakangnya. Barra? "Ah, Maaf. Apa aku mengganggu?" Tanya pria itu dengan ragu. "Ah, tidak. Aku hanya kaget, karena dulu hampir tak ada yang datang ke sini selain aku dan kakekku. Apa kamu yang mengurus tempat ini?" Kirana bertanya sambil berusaha menetralkan jantungnya yang masih berdegup kencang karena efek terkejut. "Ya. Maaf kalau lancang. Aku suka sekali dengan tempat ini dan sering mampir apabila merasa lelah." ujar Pria itu lagi. Kirana tersenyum, tapi reaksi Barra terlihat sangat aneh di matanya. Kirana tidak pernah melihat reaksi itu sebelumnya. "Baiklah. Tidak apa-apa. Lagipula aku hanya mampir sebentar dan akan segera kembali ke rumah. Aku duluan ya?” Kirana lalu melangkah pergi meninggalkan Barra yang memandangnya dalam diam.'Tidak, aku tidak boleh jatuh di sini. Ardan tidak boleh tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka,' batinnya terluka. Baru saja ia hendak memutar arah untuk pergi dari sana, sebuah pot tersenggol hingga jatuh dan menimbulkan suara keras."Siapa di luar?" Tanya Ardan dari dalam sana. Bahkan terdengar suara langkah kaki, yang menandakan bahwa pria itu mulai mendekat.Brak!Suara pintu terbuka, hingga menampilkan sosok pria tampan dengan wajah yang dipenuhi oleh rasa penasaran."Sayang, siapa?" Tanya Zara dari dalam sana."Bukan apa-apa, hanya pot yang jatuh." Ardan pun kembali masuk ke dalam ruangannya."Zara, sebaiknya kau pulang dulu. Hari ini aku benar-benar sibuk dan tak bisa menemani mu. Kau tau kan, aku baru kembali dan kerjaan ku menumpuk?" Tanya Ardan meminta pengertian pada Zara.Sesaat kemudian, wanita itu mengerucutkan bibirnya tanda tak suka. Namun, pada akhirnya ia memilih pergi daripada menerima kemarahan dari kekasihnya itu."Kamu janji akan menghubungi ku kan?
"Apa ini sungguhan?" Gumamnya pelan. Tatkala melihat nomor asing yang mengirim pesan singkat padanya. Pasalnya ia seperti mengenal nomor tersebut. Beberapa saat kemudian, sebuah panggilan telepon masuk dari nomor itu. Tak ingin membuang waktu, wanita cantik itu pun menerimanya. "Halo, Kirana. Ini aku," ucap seseorang di seberang sana, yang ternyata seorang pria. Ia seperti tak asing mendengar suaranya. Barra. "B-barra? Ini kau?" Tanya Kirana memastikan. Sekarang ia ingat jika pernah menyimpan nomor pria blasteran Amerika itu, tapi kenapa bisa sampai terhapus? Atau jangan-jangan ini ulah Ardan? "Benar, ini aku. Aku cemas karena tidak bisa menghubungi mu beberapa waktu terakhir ini. Apa kau baik-baik saja?" Tanya pria itu panik. Terdengar suaranya yang penuh kekhwatiran di seberang sana, yang mana hal itu membuat Kirana semakin merasa bersalah. "A-aku baik-baik saja. Maaf, ponselku mati dan baru dikembalikan oleh Ardan. Aku ingin meminta maaf karena sudah membuat kekacauan besar dan
"A-apa yang kau maksud?" Tanya Kirana gugup. Ia tak menyangka jika Ardan akan melupakan janjinya untuk meminta izin sebelum menyentuhnya. "Aku menginginkanmu... Kirana. Aku mohon," ucap Ardan lirih. Kirana menatap wajah Ardan yang sudah memerah akibat menahan sesuatu yang bergejolak di bawah sana. Bahkan, tatapan pria itu sudah seperti binatang buas yang sedang kesakitan. Ia juga merasa kasihan lantaran sudah hampir sebulan menolak sentuhan Ardan. "T-tapi kau harus melakukannya pelan-pelan." Ucapan Kirana bak angin segar bagi Ardan yang tengah kepanasan. Tanpa menunggu lama, Ardan memulai permainannya dengan mencium kening sang istri dengan lembut. 'Mas, aku tidak tahu ini benar atau salah. Yang jelas, aku belum bisa menerima semua ini. Cinta yang kamu keluarkan itu hanya sebatas rasa bersalah karena anakmu, bukan karena kau benar-benar mencintaiku.' Kirana berkata dalam hati, sambil menikmati setiap sentuhan yang Ardan berikan. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Ardan disela
Ardan tertegun sejenak. Ia tak menyangka bahwa istrinya akan membahas hal itu. Bahkan, ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa dan belum bisa menjawab pertanyaan Kirana. "Kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak seharusnya kau pikirkan. Jangan banyak bicara, karena sebentar lagi Bagas akan segera sampai." Kirana terdiam dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia yakin bahwa Ardan masih mencintai Zara, kekasihnya. Lantas untuk apa pria itu menahannya? Selang beberapa jam kemudian, Kirana maupun Ardan sudah sampai di kediaman mereka. Banyak pelayan maupun penjaga yang menyambut kedatangan sang pemilik rumah. Namun, Ardan meminta Kirana agar langsung beristirahat. "Istirahatlah, aku akan menemui Bagas sebentar," ucap Ardan yang kini masih duduk di bibir tempat tidur mereka. "Ardan, kita akan hidup sama seperti sebelumnya. Jadi tidak perlu mengatakan apapun padaku. Lagipula, aku bisa tidur di kamar sebelah." Kirana berkata dengan santai, seolah hal itu biasa. Meskipun memang keadaan m
"Jangan tinggalkan aku, Kirana," bisiknya dengan nada sensual. Lagi dan lagi, Ardan membuat perasaannya bergejolak. Apakah ia masih mencintai pria yang bahkan jadi sumber penderitaannya? "Aku ingin istirahat. Aku lelah." Kirana berusaha melepaskan dekapan suaminya dengan susah payah, hingga akhirnya bisa pergi meninggalkan pria itu. Sedangkan Ardan masih terdiam sejenak untuk mencerna apa yang tengah terjadi. 'Apa benar aku mencintai Kirana? Atau hanya rasa bersalah semata?' batin Ardan yang kembali kebingungan. Namun, satu hal pasti, ia tidak akan pernah membiarkan Kirana pergi dari hidupnya. Kirana yang sudah sampai di penginapan, hanya meringkuk di atas ranjang empuk setelah membersihkan diri. Ia tak menyangka akan ada hari, di mana ia bisa meluangkan waktu untuk berbulan madu bersama Ardan, pria yang dulu sangat ia cintai. Jika dulu, pasti ia akan sangat senang kegirangan, tapi saat ini hanya kehampaan yang ia rasakan. "Kirana... Apa kau sakit?" Tanya Ardan yang baru saja mas
Setelah Bagas pergi, Ardan kembali ke ruang makan. Kirana sudah duduk di sana, punggungnya tegak, sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Cahaya pagi menerpa wajahnya yang pucat, menonjolkan garis-garis kelelahan di bawah matanya. Ardan mendekat, dengan hati berdebar-debar. Kemudian ia menarik kursi dan duduk di hadapan Kirana."Kirana," katanya lembut, suaranya berusaha meredam ketegangan yang masih terasa di antara mereka. Kirana tidak menjawab, wanita itu hanya diam, dan tatapannya tetap tertuju pada taman kecil di luar.Tak lama kemudian, Ardan meraih tangan Kirana, jemarinya yang dingin terasa di genggamannya. "Aku tahu, aku telah menyakitimu. Aku tahu kata-kata tak cukup. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Tolong jangan bersikap dingin seperti ini. Aku tidak bisa, Kirana." Ia merasakan getaran halus di tangan Kirana, seolah-olah wanita itu sedang mempertimbangkan ucapannya.Kirana akhirnya menoleh, matanya menatap Ardan dalam-dalam, penuh dengan