Share

Membohongi Adiknya

***

Luna membuka pintu kamar Vino dengan hati-hati dan pelan sekali. Suasana kamar itu gelap gulita. Dia menyalakan lampu, dan mata langsung dibuat membeliak saat melihat pemandangan gila yang ada di atas ranjang.

"Kakakkk!" Teriakan Luna menggema. Buru-buru gadis itu berbalik badan sambil menutupi wajah.

"Oh sh!t!" Vino menggeram kesal. Dia segera memasukkan batang yang sejak tadi mengacung ke dalam tempatnya kembali. Ia campakkan earphone dan ponselnya. Panggilan di balik sana terputus begitu saja.

"Ngapain lo masuk kamar gue tanpa ketuk pintu!" Pria itu beranjak turun. Kakinya melangkah kesal menuju adiknya yang masih berdiri membelakangi. Vino membalik tubuh si adik supaya menghadapnya.

"Maaf Kak! Maaf."

Sekujur tubuh perempuan polos itu bergetar. Meski samar-samar, matanya baru saja ternodai oleh pemandangan batang sialan milik sang kakak. Ini pertama kalinya Luna melihat milik seorang pria. Dan sial! Kenapa ukurannya besar sekali?

"Aku udah ketuk pintu. Tapi Kakak yang gak denger," ujarnya takut-takut. 

"Sh!t!" Vino lagi-lagi mengumpat. Jelas ia tidak mendengar karena telinganya tertutup oleh desahan perempuan di balik sana.

"Buka matanya! Gue udah gak telanjang," ucapnya sarkas. 

Luna membuka matanya perlahan. Menyingkirkan tangannya dari wajah. Dia kemudian menunduk dan melirik bagian bawah milik Vino yang masih terlihat menonjol di balik boxernya.

"Isk!"

Perempuan itu refleks memalingkan wajahnya yang merah. Dia menelan salivanya beberapa kali. "Aku mau ngomong sesuatu," ujar Luna. Niatnya mau membuat sang kakak mati kutu, tapi sekarang Luna yang justru dilema tak menentu.

"Ya udah ngomong! Gak usah grogi, anggap aja yang tadi pemanasan sebelum lo ketemu jodoh!" Vino kembali bergerak menuju ranjang. Dia berguling masa bodo di sana. Vino sempat melirik ponsel, ternyata panggilan video itu sudah dimatikan dari balik sana.

"Lagian ngapain sih Kakak kayak gitu?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari bibi luna.

"Semua manusia butuh menyalurkan hasrat kali Lun! Emangnya lo, terlanjur mati rasa!" dengkus Vino.

Wajah perempuan itu kian memerah. Bagaimana bisa sang Kakak masih sesantai itu setelah dilihat anunya oleh Luna?

Luna kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Pikiran gadis itu masih syok. Dia belum bisa berkata apa-apa. Bahkan ia lupa tujuannya datang ke kamar Vino.

Seolah mengerti keraguan sang adik, Vino langsung membuka omongan. "Mau ngomong apaan? Ngomong aja nggak usah ribet-ribet," celetuknya kasar. Luna masih bergeming sambil memainkan jari-jemari.

"Woi! Mau ngomong apaan!" sentak Vino. Tangannya meraih ponsel di samping bantal. Dia membaca pesan dari seseorang.

[Oh Baby, aku belum sempat keluar] Dan Vino pun mengabaikan pesan itu.

"Woi!" Vino berteriak lagi.

Luna mendengkus. "Ya udah oke aku ngomong! Kaka bisa ngga, jangan malu-maluin aku lagi?" 

"Malu-maluin gimana? Emangnya gue kenapa?" Ia menatap wajah adiknya yang polos tampak dipenuhi kekesalan.Luna terlihat mau tak mau mengutarakan ucapanya itu.

"Lo kalo ngomong yang bener dikit, jangan menggantung gitu! Jelasin yang detail. Jangan kayak cewek yang suka ala-ala. Lo itu adik gue, jangan lemah!" Vino menyentak adiknya kembali. Nada bicara Vino memang sedikit kasar, tidak seperti adiknya yang lemah lembut. Sikap dan kelakuan mereka juga saling bertolak belakang.

"Pokoknya aku malu punya Kakak kaya kamu, aku cape dengar omongan para gadis yang bilang kaka itu playboy, mereka bilang kaka bajingan di kampus. Aku capek kak --"

Luna menghela nafas sebentar, membuat jeda sebelum ia melanjutkan ucapannya kembali.

"Hampir setiap hari aku disamperin gadis yang nggak dikenal cuma buat nanyain tentang Kakak ! Tolong dong, jangan nyakitin cewe-cewe yang ada di kampus lagi. Mereka nggak salah, jadi kaka jangan nyakitin mereka lagi. Stop gonta-ganti pacar lagi, aku malu Kak! Aku malu sama kelakuan Kakak yang nggak bermoral!" teriaknya dengan napas ngos-ngosan.

Luna baru saja selesai mengutarakan keluhannya. Sekarang ia hanya berharap kakaknya mau menuruti permintaanya. Pasalnya ia sudah sangat malu, hampir setiap hari telinganya harus mendengar sumpah serapah dari para gadis untuk kaka sialanya yang satu ini

Entah sudah berapa banyak gadis yang Vino kencani di kampus. Wajahnya yang tampan memberikan dukungan lebih untuk mendapatkan gadis macam apa pun yang ia mau. Vino tidak pernah mengencani gadis lebih dari satu bulan. 

Setelah puas mempermainkanya, ia akan meninggalkan mereka begitu saja dengan keji. Hatinya yang keras seperti batu tidak akan peduli dengan tangisan wanita yang mengemis cintanya. Vino sangat menikmati ketampanannya. 

Pesonanya yang kuat membuat setiap wanita berhamburan menyerahkan diri. Ia tidak pernah mencari wanita, tapi para wanita sendiri yang akan menjatuhkan hidupnya untuk mencintai iblis keparat bernama Vino Giovani.

"Udah ngomongnya?" Lelaki itu memiringkan sebelah kepala.

"Udah," balas Luna singkat.

"Kalo udah sana keluar!"

"Kak!" Mata gadis itu mendelik tidak terima. Masalahnya Luna benar-benar ingin masalah ini tuntas dan kelar.

"Luna ." Vino menurunkan nada bicaranya serendah mungkin. "Masalah ini biar menjadi urusan Kakak, kamu cukup belajar yang bener di kampus, jangan lupa bikin salinan materi dari dosen kalo Kaka bolos. Paham, 'kan?"

"Kak, kali ini aku serius! " Luna menghentakan kakinya kesal. "Kalo Kaka masih bikin malu aku di kampus, aku nggak mau kuliah lagi," ucapnya dengan nada menantang.

"Ya bagus dong, kalo ngga mau kuliah kamu di rumah aja masak yang enak. Atau jadi asisten mamih di butiknya."

Vino mengernyit licik, tidak ada satu pun orang yang dapat mengancam makhluk tampan berdarah dingin sepertinya. Apalagi menghalangi setiap langkah hidupnya. Big no, pikir Vino.

 

"Kak! " Luna menghela berat. Ia hampir menangis karena putus asa. Bagaimana caranya membujuk kakak sialan ini, ya Tuhan?

Andai ia dapat memilih, ia tidak ingin ditakdirkan menjadi adik mahluk astral yang ada di hadapanya sekarang. Memiliki kakak seperti Vino adalah bencana baginya.

"Udah stop! Jangan ikut campur urusan Kakak! Ini udah waktunya anak balita tidur. Sana keluar! Kaka masih sibuk ngerjain tugas. Apalagi besok kita mau pindah ke apartemen baru. "

Luna tau, kakaknya adalah orang yang sulit dicampuri jalan hidupnya. Berbeda denganya, Vino selalu menjadi penggenggam dari jalan hidup yang ia jalani dengan seenaknya. Tidak ada yang dapat mengatur hidupnya, tapi ia akan mengatur jalan hidup orang yang masuk dalam genggamanya.

Termasuk Luna yang selalu takut dan nurut pada kakanya, padahal jarak usia mereka hanya berpaut 5 bulan. Mereka selalu satu kelas sejak Tk. Betapa tersiksanya menjadi adik Vino, ia selalu membuat dua salinan PR setiap harinya, satu untuknya, dan satu lagi untuk kakanya . Dan itu ia lakukan semenjak mereka masuk SD sampai kuliah.

"Oke, kalo cara itu gak mempan! Aku masih punya rencana B," ujar Luna. 

"Rencana apaan?" Vino langsung memusatkan pandangannya pada si adik. 

"Besok kita pindah ke apartemen baru, kan?" Luna tersenyum licik.

"Iya? Terus kenapa kalo pindah? Jangan macem-macem ya! Pindah ke apartemen itu udah jadi impian gue dari dulu. Gue butuh kebebasan."

"Kalau begitu Kakak harus janji dulu sama aku. Jangan malu-maluin. Kakak harus belajar setia dan jangan mainin cewek di kampus kali.."

"Mana bisa si Lun? Gue terlahir sebagai pria tampan dan seksi. Sayang kalo gak dimanfaatin. Lo tahu persis watak gue kek mana!" Vino berdecak setelahnya.

"Ya udah kalo gak bisa! Aku bisa bilang ke Mami Papi supaya batalin rencana kita pindah ke apartemen baru dengan alasan malas hidup mandiri. Sesimpel itu."

"Jangan bercanda deh!" Vino mendelik kesal. Pasalnya mereka memang selalu dituntut bersama satu sama lain sejak kecil. Jika Luna menolak pindah, artinya Vino juga tidak bisa pindah.

"Turuti permintaan aku, atau enggak sama sekali. Gampang kan?" Luna menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya ancaman ini berhasil membuat seorang Vino menjadi kalang kabut dibuatnya.

"Sialan! Lo bener-bener sialan!" Vino meninju udara dengan perasaan kesal. "Oke, mulai saat ini gue gak akan gangguin cewek-cewek di kampus lagi. Puas lo?"

"Kakak juga harus belajar setia. Inget, pertimbangin semua itu," imbuh luna sembari mengerlingkan mata.

Vino membalas itu dengan dehaman malas. Luna tidak tahu saja bahwa janji yang Vino ucapkan hanya sekadar janji.

Lo pikir gue bodoh? Lo pikir gue mau nurutin permintaan anak bocah kaya lo, batin Vino dalam hati.

***

***

"Nih, buat lo."  Vino memberikan seikat bunga mawar dan sekotak coklat import pada adiknya.

"Ini buat Aku? Ini bukan bekas cewek lain kan?"

"Ya bukanlah! Masa iya adik sendiri dikasih barang bekas," celetuk Vino. Padahal ia dapat bunga dan coklat itu dari salah satu penggemarnya. Vino memberikan itu karena ada rencana besar di kepala yang sedang ia persiapkan untuk nanti malam.

Luna terlihat menarik sudut bibirnya membentuk senyum simpul. Kakaknya Vino memang paling tahu cara merayu adiknya. Dia harus bisa mengambil hati Luna supaya Vino bisa segera bebas dari aturan ketat mami dan papi.

"Iya buat lo, udah jangan ngambek lagi! Kita masih harus beres-beres di apartemen baru. Ayo buruan!"

Vino meraih pergelangan tangan adiknya, menariknya untuk segera masuk ke dalam mobil. Tak lupa Vino memakaikan seat belt untuk adiknya sebelum mengemudi. Itu adalah sebagian trik kecil yang ia lakukan terhadap wanita lain, termasuk adiknya sendiri. Setelah ia memakai seat belt untuk dirinya sendiri, langsung saja ia melajukan mobilnya menuju apartemen baru mereka.

Menjadi adik Vino tidak selamanya adalah bencana. Contohnya coklat dan bunga yang baru saja Luna dapatkan. Itu adalah hadiah dari salah satu penggemar Kakaknya. Semua hadiah yang diberikan para gadis untuk Vino jatuh ketangan adiknya. Vino tidak butuh hadiah, ia hanya menginginkan tubuh wanita cantik. Selain itu tidak perlu sama sekali.

Entahlah, Luna harus menyebut semua itu berkah atau bencana.

"Kak!" ucapnya lemah.

"Hemmm." Vino hanya berdeham, mata fokus menatap jalan yang ada di depanya.

"Kaka ngga mau pertimbangin lagi ucapan aku semalam? Kaka ngga mau belajar mencintai satu wanita? Setia itu menyenangkan loh kak." Luna mulai melontarkan ucapan-ucapan yang membuat telinga Vino berdengung ngilu.

Cinta?

Setia?

Rasanya dua kata itu sudah terhapus lama sejak ia lahir ke dunia.

Vino tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Seperti apa rasanya mencintai?  Ia bahkan tidak tahu apa itu cinta.

"Ngga usah ngomongin cinta sama Kakak, belajar yang bener. Jadi anak yang baik buat papih sama mamih. Itu tugas lo!"

"Kak!" Luna mendengus kesal. Matanya menyorot tajam ke arah kakaknya.

"Emangnya suatu hari nanti kakak Nggak mau nikah? Kaka mau terus kaya gini aja. Mungkin sekarang Kau masih ganteng, tapi nanti ? Kalo kaka udah tua jelek! Jangan harap ada yang mau sama Kakak terus." Luna melipat kedua tangannya di dada. Ia sudah mengerahkan berbagi kata untuk menyadarkan manusia iblis yang satu ini.

"Luna, hidup itu harus dinikmati setiap prosesnya. Masalah nikah, biar tuhan yang ngatur."

Sialan! Kakanya jauh lebih pintar menyusun kata dari Luna. Tidak heran jika ia dijuluki sang penakluk wanita. Luna tak mau kalah. Ia masih terus menantang segala ucapan kakanya.

" Kak, kalo kaka kaya gitu terus, gimana mau kepikiran nikah ?"

Refleks Vino melongo takjub. Apa-apaan sih Luna? Umur mereka baru 22 tahun loh!

Luna seperti emak-emak kolot yang sedang memaksa anaknya menikah. Jujur saja, mendengar kata menikah membuat hati Vino bergetar jijik. Ia tidak mau nasibnya seperti papih Reyno yang selalu tunduk pada mamih Jennie. Ia tidak mau hidup disetir oleh wanita seperti papihnya itu.

"Lun! Gitar kaka tadi kebawa ngga ya?" Vino mengalihkan pembahasan dengan pertanyaan lain. Ia sudah sangat muak mendengar kata menikah. Saat pacarnya membahas soal pernikahan saja ia selalu menghindari. Ini tambah adiknya ikut membahas hal semacam itu.

Apa sih pentingnya nikah buat cewe ?Kenapa cewe seneng banget ngomongin pernikahan?

"Kaka ngga usah ngalihin pembicaraan deh, gitar kaka udah dibawa." Bibir Luna maju tiga centi meter. Ia kesal, namun masih meladeni  pertanyaan kakanya. Sudah tahu Vino sedang mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Kak, coba bayangin kaka punya istri yang cantik, baik, terus dia sayang banget sama kaka. Pasti rasanya enakkan?" Luna tersenyum menengadahkan kepalanya.Tanganya bertaut membayangkan hal indah sendiri.

Enakan juga one night stand, pikir Vino dalam diam.

"Terus istri Kaka ngasih Kaka bayi yang lucu dan imut. Gimana? Manis bukan kalau ada bayi?" coleh Luna. Spontan Vino mengernyit.

"Bayi?"

"Iya bayi Kak!"

Vino semakin benci mendengar arah omongan adiknya. Mendengar kata bayi membuatnya bergidik ngeri. Horor banget baginya.

Makhluk kecil aneh itu. Hiiiii !

Baginya tidak ada hal yang lebih imut dan lucu selain melihat wanita telanjang polos tanpa busana. Itulah yang disebut lucu dan imut sesungguhnya. Masalah bayi, menurut Vino mereka hanyalah seekor makhluk mengerikan yang hanya tau menangis dan merengek-rengek.

Vino membenci bayi. Selain merepotkan, makhluk itu juga sangat menyebalkan, sebentar nangis, minta susu, minta digendong, pipis sembarangan, dan manja pula. Wanita cantik jauh lebih menyenangkan dari pada bayi, sexy untuk dipandang tentunya.

Terakhir ia menyentuh mahluk itu, si bayi malah pup di tangannya. Menjijikan sekali bukan? Sejak saat itu ia tidak pernah lagi menyentuh makhluk kecil mengerikan bernama

"Jangan bahas mahluk aneh itu. Gue males," ujar Vino makin merinding.

Dan satu lagi, andai Vino memiliki seorang bayi. Ia tidak dapat membayangkan generasi monster seperti apa yang akan ia hasilkan nanti.

Mungkin seekor  iblis bajingan generasi kedua darinya. Hisssskk.  Vino tidak boleh memiliki bayi. Atau bayi itu akan menjadi seorang bajingan sepertinya. Tidak pokoknya tidak  boleh ada bayi di dalam hidupnya.

"Kita udah sampe nih, ngayalnya entar lagi aja ya Princess. Sekarang kita turun dulu. Bantuin Kakak bawa barang semampu kamu."  Vino mengakhiri pembahasan gila adiknya. Untung saja sudah sampai, kalau tidak ia akan mati mendengar adiknya membicarakan soal pernikahan dan juga bayi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status