Blake Oxenberg menikmati acara berendam dalam bathubnya yang berukuran besar dengan air hangat ditambah bom busa yang semakin membuat kamar mandinya harum. Blake menyandarkan kepalanya di sandaran bathub dan memejamkan matanya.
Menjadi dokter bedah di usia 24 tahun dan termuda di Inggris Raya, membuat Blake disegani karena kejeniusannya hingga dia pun menjadi pribadi yang sombong dan arogan. Ditambah dia mendapatkan gelar professor di usia 31 tahun, membuat namanya semakin terkenal.
Blake memiliki wajah tampan dengan rahang tegas, rambut hitam tebal sedikit ikal, alis berbentuk pedang yang merupakan alis alaminya, mata biru yang sangat gelap seperti samudera ditambah bulu mata lentik, hidung macung terpahat sempurna khas aristokrat dan bibirnya yang tidak terlalu tebal tapi seksi, membuatnya banyak dikejar banyak kaum Hawa.
Blake sendiri termasuk selektif dalam memilih pasangan dan empat tahun lalu dia berkencan dengan Victoria McDean, salah satu anggota keluarga bangsawan Skotlandia, yang seorang desainer. Keduanya pergi bermain ski bersama di Alpen Swiss sekaligus merayakan Blake resmi menyandang gelar professor di bidang bedah. Mereka bermain ski hingga kecelakaan itu terjadi. Blake harus dirawat satu bulan di Zurich dan dokter memvonis dia mengalami kelumpuhan.
Satu hal yang membuat Blake bersyukur, dokter mengatakan tulang belakangnya tidak mengalami cidera berat yang bisa mengakibatkan dia lumpuh permanen. Blake pun bersemangat bisa berjalan lagi namun tidak dengan Victoria. Wanita itu tidak mau memiliki pasangan yang duduk di kursi roda karena baginya, Blake cacat permanen. Keduanya bertengkar dan Victoria meninggalkan Blake begitu saja.
Sebulan setelah mereka putus, Blake melihat di berita bahwa Victoria dekat dengan salah satu bangsawan dari kerajaan Monaco. Blake hanya bisa marah dan merasa dibohongi karena Victoria hanya mementingkan nama dan privilege saja. Terutama prestis karena bisa menggandeng salah satu dokter bedah jenius yang juga kaya raya karena salah satu bangsawan tertua di Skotlandia yang masih ada kekerabatan dengan kerajaan Luxembourg.
Semenjak itu, Blake menutup hatinya dengan yang namanya wanita karena baginya, semua wanita sama saja. Matrelialistis dan hanya memanfaatkan nama serta uangnya dia saja. Blake juga menjadi pribadi yang sulit dan semua orang tidak bisa perfeksionis macam dirinya jika berhubungan dengan bedah dan ilmu kedokteran. Tak heran jika banyak anak mentornya menjuluki dirinya sebagai Devil in Wheel Chair.
Blake memejamkan matanya, menikmati suasana relaks dan harum wood yang memenuhi kamar mandinya. Suara ketukan di pintu kamar mandi, membuat matanya pun terbuka.
"Masuk," ucapnya dan tak lama Albert pun masuk. "Ada apa Albert?"
"Apakah tuan sudah selesai berendam? Mau saya bantu?" jawab Albert.
"Aku sudah berendam berapa lama?"
"Hampir setengah jam, tuan."
Blake mengangguk. "Sepertinya aku terlalu lama."
Albert mengambil kursi roda yang memang khusus di kamar mandi dan diletakkan di pinggir bathub. Pria berusia lima puluh tahun itu pun meraih handuk besar yang disampirkan di bahunya. Albert membantu Blake untuk bangun dan keluar dari bathub lalu duduk di kursi rodanya. Handuk besar tadi ia berikan pada Blake agar bisa menyeka sisa-sisa airnya.
"Anda ingin ke shower?"
"Iya Albert."
Dengan telaten, Albert membantu tuannya. Setidaknya, Blake sekarang sudah lebih baik dari awal kecelakaan. Tiap tiga kali seminggu, ada seorang terapis yang datang untuk membantu fisioterapi kaki Blake. Sekarang Blake sudah bisa menggerakkan kakinya meskipun masih agak diseret tapi semua otot massanya mulai kembali setelah dua tahun terapi.
"Jeff datang besok?" tanya Blake setelah Albert memapahnya naik ke atas tempat tidurnya.
"Iya tuan. Master Jeff akan datang besok pagi sebelum anda ke rumah sakit pukul sepuluh pagi," ajwab Albert sambil membenarkan selimut.
"Kamu tenang saja Al, sebentar lagi, kamu tidak akan repot-repot lagi seperti ini karena aku akan bisa berjalan lagi seperti dulu." Blake tersenyum ke arah pelayannya.
"Itu yang saya doakan setiap hari tuan. Jujur saya rindu melihat anda berjalan-jalan di taman atau jogging keliling kastil," ucap Albert. "Bersemangatlah tuan."
"Selalu Albert. Selamat malam."
"Selamat malam, tuan."
Blake mencari posisi yang nyaman dan tak lama dia pun terlelap. Albert pun keluar dari kamar setelah mengganti lampu kamar menjadi remang-remang. Blake memang tidak bisa tidur dengan lampu terang.
Keesokan paginya, Blake kedatangan terapisnya, seorang pria muda bernama Jeff. Dia adalah salah satu terapis yang direkomendasikan oleh rekan kerjanya di rumah sakit setelah banyak terapis yang tidak betah dengan sikap dan sifat Blake yang arogan dan sulit. Jeff berbeda. Dia adalah tipe orang yang santai dan cuek dengan segala sikap kliennya karena tujuannya adalalh kesembuhan pasiennya.
"Pagi Blake ...." Jeff tersenyum lebar seperti sinar mentari di pagi hari. Jeff memang tidak memanggil Blake dengan gelarnya tapi langsung nama agar lebih enak. Blake sendiri tidak mempermasalahkan karena selama ini pun Jeff tidak pernah kurang ajar.
"Pagi Jeff. Sarapan?" tawar Blake sambil membaca jadwalnya di Ipadnya.
"Boleh!" Jeff pun duduk di sebelah Blake dan Albert segera menuangkan kopi di cangkir yang sudah disediakan. "Terima kasih Albert."
"Sama-sama Master Jeff," jawab Albert.
"Hari ini kita akan lanjutkan yang di palang sejajar, ya Blake," ucap Jeff sambil menyesap kopinya.
"Oke," jawab Blake pendek.
Jeff menatap kliennya. "Kamu kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggu kamu?"
Blake menoleh ke Jeff. "Hanya memikirkan operasi yang sangat sulit siang nanti."
Jeff mengangguk. "Tenang, fokus, konsentrasi ... Itu kan yang selalu kamu bilang?"
"Benar."
Albert datang bersama dengan pelayan sembari membawa kan piring-piring berisikan sarapan mereka.
"Kita sarapan cepat, Jeff. Aku sudah tidak sabar terapi."
Sementara Blake dan Jeff hendak melakukan terapi, Brigitta datang pagi ke rumah sakit karena ada salah satu residen tidak bisa datang pagi dan pihak rumah sakit menghubungi dirinya untuk menggantikannya. Brigitta pun menyanggupi karena dia sendiri merasa bingung di flat. Brigitta lalu menemui para pasien-pasien kemarin untuk memeriksa kondisi mereka pagi ini sebelum dimulainya diskusi kasus pagi har atau biasa disebut morning report.
"Selamat pagi Mrs Smith, bagaimana rasanya bekas operasi? Apakah masih sakit?" sapa Brigitta ke pasien yang kemarin dia tenangkan dan Blake tidak suka.
"Pagi, darling. Thanks God hari ini sudah mulai berkurang rasa sakitnya," senyum Mrs Smith.
"Saya periksa dulu ya kondisi anda." Brigitta lalu memeriksa kondisi pasiennya bersama dengan seorang suster. "Semuanya baik dan kita tinggal menunggu keputusan Professor Oxenberg kapan anda diperbolehkan pulang."
Mrs Smith tampak berbinar. "Oh, aku sudah tidak sabar bertemu dengan semua tanaman bonsaiku."
Brigitta tersenyum lalu dia berbincang sebentar dan berpamitan ke wanita itu. Saat dirinya berada di luar, seseorang menarik tangannya.
*** bersambung ***
Brigitta terkejut saat tahu siapa yang menarik tangannya. Otomatis gadis itu pun merasa tidak nyaman apalagi kemarin dia melihat sendiri bagaimana Thomas berperilaku seperti itu. Brigitta berusaha melepaskan genggaman tangannya."Lepas Thomas!" Brigitta menyentakkan tangannya dan Thomas melepaskan genggamannya."Kamu itu ngapain datang shift siang? Kan kita seharusnya tukaran!" hardik Thomas."Apa? Kamu sendiri yang sudah buat keputusan dan aku tidak akan bertukar shift denganmu!" balas Brigitta."Kamu itu ....""Apa? Kamu minta tukar shift denganku karena Dinah dapat shift siang dan kamu dapat shift malam kan?" ejek Brigitta. "Kenapa tidak Dinah saja yang sangat menikmati c*** kamu yang tukar shift jadi kalian bisa bertukar peluh?"Thomas menatap Brigitta bingung. "Apa maksud kamu?"Brigitta tertawa sinis. "Memangnya aku tidak tahu kalau kamu mau pindah ke apartemen Dinah ... di dalam janitor! Aku melihat kalian keluar dari ruang janitor dengan baju berantakan. Sebelumnya aku melihat
Blake Oxenberg menikmati acara berendam dalam bathubnya yang berukuran besar dengan air hangat ditambah bom busa yang semakin membuat kamar mandinya harum. Blake menyandarkan kepalanya di sandaran bathub dan memejamkan matanya.Menjadi dokter bedah di usia 24 tahun dan termuda di Inggris Raya, membuat Blake disegani karena kejeniusannya hingga dia pun menjadi pribadi yang sombong dan arogan. Ditambah dia mendapatkan gelar professor di usia 31 tahun, membuat namanya semakin terkenal.Blake memiliki wajah tampan dengan rahang tegas, rambut hitam tebal sedikit ikal, alis berbentuk pedang yang merupakan alis alaminya, mata biru yang sangat gelap seperti samudera ditambah bulu mata lentik, hidung macung terpahat sempurna khas aristokrat dan bibirnya yang tidak terlalu tebal tapi seksi, membuatnya banyak dikejar banyak kaum Hawa.Blake sendiri termasuk selektif dalam memilih pasangan dan empat tahun lalu dia berkencan dengan Victoria McDean, salah satu anggota keluarga bangsawan Skotlandia,
Blake berdehem karena tidak tahu jika dokter residen di depannya memiliki cerita tersendiri dari keluarganya, keluarga yang paling terdekat. "Jangan terlalu dekat dengan pasien!" ucap Blake membuat Brigitta tertawa sinis."Professor, apakah anda tidak punya empati?" tanya Brigitta sembari menatap tajam ke Blake. "Semua orang pasti punya rasa empati bukan?""Tidak usah menguliahi aku dengan gaya Sigmund Freud karena kamu masih menyelesaikan mata kulaih psikopatologi kan?" sindir Blake. "Sebenarnya kamu mau ambil bedah atau psikiatri?Brigitta terdiam. "Bedah, Prof. Tapi bidang psikiatri sangat membantu kita bukan?" jawabnya kemudian."Kamu harus fokus salah satu! Jika kamu ambil psikiatri, harusnya kamu dengan professor Hilton, bukan dengan saya!" Brigitta hanya menghela nafas panjang. "Saya mengambil bedah.""Yakin?""Yakin Prof.""Lima tahun kamu bersama saya!""Iya Prof.""Saya tidak akan menahan diri jika kamu melakukan kesalahan! Ini menyangkut nyawa manusia!"Brigitta menganggu
"Hai ... Kalian makan saja berdua," ucap Lucy."Iya. Kamu pergi saja Luce!" ucap Thomas judes.Lucy pun memajukan bibirnya dan pergi meninggalkan Brigitta bersama Thomas."Sekarang aku tanya sekali lagi. Kita sudah bersama tiga bulan dan biasanya dalam waktu segitu, kita sudah waktunya tinggal bersama, Bri." Thomas menatap Brigitta. "Please?""Kalau tinggal bersama, mau tinggal dimana? Kamu saja masih tinggal di asrama.""Ya di flat kamu lah! Kan kamu sudah punya flat," jawab Thomas dengan entengnya membuat Brigitta terkejut."Flat aku? Flat aku kecil, Thom! Hanya ada satu kamar tidur dan tidak ada tempat buat dua orang!" jawab Brigitta yang merasa keberatan."Hei, kan kalau kamu masuk shift malam, ada yang jaga kan?"Brigitta menggeleng. "Tidak, Thomas. Aku tidak bisa ...."Thomas tampak terkejut. "Kamu tidak cinta aku?""Bukan begitu tapi aku belum siap Thomas untuk tinggal bersama," jawab Brigitta.Thomas mendengus. "Memang kamu tidak cinta aku!" Pria itu pun berdiri dan meninggalk
Pria yang duduk diatas kursi roda itu menatap tajam ke arah Brigitta yang bangun dengan wajah memucat dan gestur tubuh kikuk."Ma ... maafkan saya, Professor Oxenberg. Sa ... saya tidak sengaja," bisik Brigitta dengan nada gemetar."Mata kamu kemana?" bentak pria yang dipanggil Professor Oxenberg."Ma ... Maaf, Sir." Brigitta pun menunduk dan Professor Oxenberg mengambil ID card yang terjatuh di lantai dan mulai membacanya."Brigitta Colby, MD." Mata biru Professor Oxenberg menatap wajah ketakutan Brigitta. "Kamu residen?""I ... iya Prof.""Kita tidak butuh residen tidak kompeten macam kamu!" Professor Oxenberg melemparkan ID Card Brigitta ke tubuhnya membuat gadis itu terlonjak kaget."Tidak ... tidak akan terulang lagi, Prof," cicit Brigitta. Professor Oxenberg pun memencet tombol di kursi rodanya dan mulai berjalan masuk ke dalam rumah sakit sementara Brigitta berusaha untuk tidak menangis karena ditegur oleh salah satu dokter bedah senior yang sudah bergelar Professor di usianya
Sebuah Kampus Terkenal di Edinburgh SkotlandiaSeorang gadis berlari tergesa-gesa memasuki gedung yang terbuat dari batu, mengingatkan pada film-film history atau Harry Potter. Sesampainya di dalam, dia menarik nafas dulu lalu bergegas naik tangga menuju lantai tiga dimana ruang kuliahnya berada. Gadis itu membuka pintu perkuliahan dan berjalan mengendap-endap menuju kursi bagian belakang. "Brigitta Colby! Ini sudah dua kali anda terlambat kelas saya! Kali ini masih saya tolerir! Ketiga kalinya, tidak ada kelas saya untuk anda!"Gadis itu mematung karena suara dosennya terdengar dan mengenalinya."Selamat pagi Prof Hilton," senyum Brigitta dengan kikuk. "Masih untung anda terlambat tiga menit. Dua menit lagi, anda saya usir!" Pria yang berdiri di depan para mahasiswa itu menatap tajam dari balik kacamatanya."Tidak akan terjadi lagi Prof," jawab gadis itu dengan sikap meyakinkan."Saya pegang kata-kata anda, Miss Colby." Professor Hilton lalu kembali ke papan tulis."Bagaimana kamu