“Kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah mengguncang hidupku, hah?” bisiknya dengan suara seraknya.
Sebelum Evi sempat menjawab, bibir Liam sudah menempel di bibirnya—keras, mendesak, menuntut. Napas Evi tercekat. Tubuhnya gemetar menahan gejolak yang berdesir dalam dadanya.
Liam menarik tubuh Evi ke dalam dekapannya. Tangan-tangannya yang besar dan kuat bergerak menyusuri punggungnya, pinggangnya, lalu menyelinap ke bawah blus tipis yang dipakainya.
Evi tahu dia harus mendorongnya. Dia tahu dia harus menolak. Tapi tubuhnya telah mengkhianati pikirannya. Lemas, pasrah, terbakar dalam sentuhan itu.
“Aku menginginkanmu sekarang, Evi. Jangan berani kabur apalagi menolakku,” bisiknya kemudian menarik tangan Evi dan membawanya ke dalam ru
Nala menggigit bibir bawahnya dengan pelan, menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan foto kiriman dari Evi.Jemarinya yang menggenggam ponsel tampak sedikit gemetar. Meski tak ada adegan mesra, hanya dokumentasi formal pertemuan bisnis, tetap saja rasa curiga menusuk dadanya seperti sembilu.Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Tapi sebelum dia bisa berkata-kata, suara berat Rafael memotong keheningan itu dari arah sofa di seberangnya.“Udahlah, Nala. Aku sudah bilang padamu, Liam tidak akan mengkhianatimu. Buktinya dia hanya sedang meeting dengan kliennya,” ucap Rafael santai sambil menyilangkan kaki.Di tangannya, sebatang rokok mengepul, aromanya menyebar memenuhi ruangan hotel yang mereka sewa untuk urusan proyek luar kota.Nala menghela napas kasar, begitu berat hingga dadanya naik-turun. Dia bersandar ke kursi dan mengusap keningnya dengan telapak tangan. “Ya, aku tahu. Aku cuma penasaran kenapa dia menolak bercinta d
Liam mengendikkan bahunya pelan, seperti tidak ingin terlalu larut dalam pembicaraan yang baginya sudah lama dia simpan dalam diam.“Aku sibuk, Evi. Kantorku juga sedang banyak tender dan aku sering meeting ke sana kemari. Tidak sempat mencaritahu apa yang Nala sembunyikan dariku. Tapi, aku sudah menaruh curiga bahwa dia ada main dengan bosnya itu,” ucap Liam sambil menatap langit-langit kamar.Evi terdiam. Tangannya menggenggam selimut di atas tubuhnya, dan matanya perlahan menatap ke arah Liam.Kalimat tadi menghujam keras di benaknya. Ternyata, Liam tahu. Dia tahu semuanya—tapi memilih tidak mencaritahu lebih lanjut.Entah karena tidak sempat, atau memang tidak mau menghadapi kenyataan lebih cepat dari waktunya.Ada rasa aneh yang menggantung di hati Evi. Luka yang samar, seperti tergores tanpa disadari.“Kalau tahu Bu Nala melakukan itu, kenapa Bapak juga lakukan ini dengan saya?” tanyanya dengan suara pelan
“Euh … anu. Ini ….” Evi kelagapan, bibirnya terbuka-tutup seperti ingin bicara, tapi tak satu pun kata keluar dengan lancar.Napasnya memburu, jantungnya memukul keras dari dalam dada.Dia tidak tahu harus mencari alasan apa untuk menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh pria itu.Otaknya kosong. Panik. Bahkan kaki dan tangannya terasa seperti bukan miliknya.Liam menatap Evi tanpa ekspresi, namun dalam matanya menyala ketajaman yang tak bisa disembunyikan.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik tangan Evi dengan tegas dan membawanya masuk ke dalam lift.Tarikan itu cepat, mendadak, dan cukup kuat hingga membuat tubuh Evi sempat kehilangan keseimbangan.Evi hanya bisa menurut. Tidak ada kata, tidak ada perlawanan. Dia terlalu syok karena tertangkap basah.Langkahnya lunglai mengikuti Liam ke dalam lift, dan ketika pintu lift tertutup di belakang mereka, dunia seolah menyusut menjadi ruang se
Dering ponselnya bersuara sedari tadi dan akhirnya Evi menghentikan aktivitas mengepel lantai.Ia meletakkan kain pel yang masih basah di dalam ember, lalu mengusap tangannya ke celemek lusuh yang ia kenakan.Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di layar ponsel—Nala. Hatinya langsung terasa gelisah.“Kenapa Bu Nala telepon di siang bolong begini?” gumamnya sambil menelan ludah. Ia segera menyentuh ikon hijau dan mengangkat panggilan itu. “Halo, Bu? Ada yang bisa dibantu?”Suara Nala terdengar tajam dan terburu-buru, seperti ada bara di balik kata-katanya.“Evi. Aku dapat informasi dari teman sekantor Liam. Dia lagi di hotel dan nggak tahu mau ketemuan sama siapa! Aku lagi di luar kota jadi nggak bisa buntuti dia. Kamu ke sana sekarang dan lihat dengan siapa dia masuk hotel itu!”Tubuh Evi langsung menegang mendengarnya. Ia merasa darahnya tersedot ke perut. Napasnya seketika jadi tidak ber
Waktu sudah menunjuk angka enam pagi. Evi baru keluar dari kamarnya dan langkahnya langsung terhenti ketika melihat Nala sudah duduk di meja makan seolah tengah menunggu dirinya.“Bu Nala? Sejak kapan dia ada di rumah?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Kamu sudah bangun. Bagus,” ucap Nala ketika melihat sosok Evi yang berdiri dekat dapur.Evi langsung mengangguk dan menyapa wanita itu dengan sopan. “Selamat pagi, Bu.”“Aku tidak ingin basa-basi, Evi.” Nada suara Nala langsung menembus jantung. “Aku ingin laporan.”“Laporan, Bu?” Evi mengangkat kepala dengan pelan.“Ya. Selama dua hari aku tidak ada di rumah. Apa saja yang dia lakukan? Jam berapa dia sampai? Apakah ada tamu? Telepon? Atau tanda-tanda mencurigakan lainnya?”Evi menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Dia sudah menduga Nala akan menanyakan tentang laporan lagi.
Evi mencoba menghapus bukti di ruang tengah, lututnya bertumpu di lantai dingin saat tangannya terus menggosok bantal sofa yang ternoda.Namun, sekeras apa pun dia menyeka dengan tisu basah, bercak putih itu tetap saja membandel, menyisakan jejak dari dosa yang baru saja mereka lakukan.“Astaga ... bagaimana ini? Kenapa harus meninggalkan bercak ini di sini?” gumamnya sambil mendesah panik, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.Napasnya tidak teratur. Detak jantungnya berdentam keras di dada, seolah memukul-mukul peringatan akan bahaya yang mengintai.Pandangan matanya resah menelusuri ruangan. Tirai belum ditutup sepenuhnya, aroma samar tubuh Liam dan dirinya masih tercium di udara, dan di permukaan meja kaca, masih ada sisa gelas air yang sempat dia minum setelah tubuhnya dipakai—tanpa ampun bahkan tanpa bisa menolak.Liam sendiri telah menghilang ke kamarnya, pintu kayu besar itu tertutup sejak lima belas menit lalu. Mungkin sudah mandi, membersihkan diri setelah sesi pe