Sudah satu minggu sejak Nala mulai menerima laporan dari Evi setiap malam. Catatan waktu, aktivitas harian Liam, dan percakapan telepon … semuanya Evi tulis rapi dalam sebuah buku kecil berwarna cokelat.
Namun, tidak ada satu pun yang mencurigakan. Tidak ada bukti bahwa Liam tengah menyembunyikan sesuatu apalagi berselingkuh. Setidaknya di mata Nala. Bahkan kecurigaannya pada Evi juga mulai luntur karena tidak juga mendapat gerak-gerik mencurigakan dari wanita itu apalagi Liam.
Nala tetap tenang, bahkan terlalu tenang. Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak ada nada curiga dalam suaranya.
Justru pagi ini, saat ia mengenakan blazer biru dan sibuk merapikan dokumen, ia hanya menatap Evi sekilas lalu berkata santai, “Evi, kamu yang antar dokumen itu ke kantor Liam, ya. Aku harus meeting di Bandung sampai beso
Dering ponselnya bersuara sedari tadi dan akhirnya Evi menghentikan aktivitas mengepel lantai.Ia meletakkan kain pel yang masih basah di dalam ember, lalu mengusap tangannya ke celemek lusuh yang ia kenakan.Keningnya berkerut saat melihat nama yang tertera di layar ponsel—Nala. Hatinya langsung terasa gelisah.“Kenapa Bu Nala telepon di siang bolong begini?” gumamnya sambil menelan ludah. Ia segera menyentuh ikon hijau dan mengangkat panggilan itu. “Halo, Bu? Ada yang bisa dibantu?”Suara Nala terdengar tajam dan terburu-buru, seperti ada bara di balik kata-katanya.“Evi. Aku dapat informasi dari teman sekantor Liam. Dia lagi di hotel dan nggak tahu mau ketemuan sama siapa! Aku lagi di luar kota jadi nggak bisa buntuti dia. Kamu ke sana sekarang dan lihat dengan siapa dia masuk hotel itu!”Tubuh Evi langsung menegang mendengarnya. Ia merasa darahnya tersedot ke perut. Napasnya seketika jadi tidak ber
Waktu sudah menunjuk angka enam pagi. Evi baru keluar dari kamarnya dan langkahnya langsung terhenti ketika melihat Nala sudah duduk di meja makan seolah tengah menunggu dirinya.“Bu Nala? Sejak kapan dia ada di rumah?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Kamu sudah bangun. Bagus,” ucap Nala ketika melihat sosok Evi yang berdiri dekat dapur.Evi langsung mengangguk dan menyapa wanita itu dengan sopan. “Selamat pagi, Bu.”“Aku tidak ingin basa-basi, Evi.” Nada suara Nala langsung menembus jantung. “Aku ingin laporan.”“Laporan, Bu?” Evi mengangkat kepala dengan pelan.“Ya. Selama dua hari aku tidak ada di rumah. Apa saja yang dia lakukan? Jam berapa dia sampai? Apakah ada tamu? Telepon? Atau tanda-tanda mencurigakan lainnya?”Evi menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Dia sudah menduga Nala akan menanyakan tentang laporan lagi.
Evi mencoba menghapus bukti di ruang tengah, lututnya bertumpu di lantai dingin saat tangannya terus menggosok bantal sofa yang ternoda.Namun, sekeras apa pun dia menyeka dengan tisu basah, bercak putih itu tetap saja membandel, menyisakan jejak dari dosa yang baru saja mereka lakukan.“Astaga ... bagaimana ini? Kenapa harus meninggalkan bercak ini di sini?” gumamnya sambil mendesah panik, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.Napasnya tidak teratur. Detak jantungnya berdentam keras di dada, seolah memukul-mukul peringatan akan bahaya yang mengintai.Pandangan matanya resah menelusuri ruangan. Tirai belum ditutup sepenuhnya, aroma samar tubuh Liam dan dirinya masih tercium di udara, dan di permukaan meja kaca, masih ada sisa gelas air yang sempat dia minum setelah tubuhnya dipakai—tanpa ampun bahkan tanpa bisa menolak.Liam sendiri telah menghilang ke kamarnya, pintu kayu besar itu tertutup sejak lima belas menit lalu. Mungkin sudah mandi, membersihkan diri setelah sesi pe
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Evi baru saja selesai membersihkan dapur saat suara deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Lampu sorot menerpa dinding rumah, menandakan mobil baru saja berhenti.Evi membeku seketika. Pikirnya, siapa yang datang lebih dulu? Nala atau Liam? Jika Nala, dia akan terbebas dari cengkeraman Liam yang sedari tadi sudah mengirim pesan padanya agar menunggunya pulang.Namun, jika Liam, maka dia tidak bisa menolak keinginan pria itu yang sudah tak sabar ingin menyentuhnya setelah satu minggu tidak pernah menyentuhnya.Tanpa pikir panjang, Evi segera berlari ke pintu depan, membuka tirai dan mengintip ke luar. Dan benar saja, mobil Liam yang terparkir.Detik berikutnya, pintu depan terbuka.
Sudah satu minggu sejak Nala mulai menerima laporan dari Evi setiap malam. Catatan waktu, aktivitas harian Liam, dan percakapan telepon … semuanya Evi tulis rapi dalam sebuah buku kecil berwarna cokelat.Namun, tidak ada satu pun yang mencurigakan. Tidak ada bukti bahwa Liam tengah menyembunyikan sesuatu apalagi berselingkuh. Setidaknya di mata Nala. Bahkan kecurigaannya pada Evi juga mulai luntur karena tidak juga mendapat gerak-gerik mencurigakan dari wanita itu apalagi Liam.Nala tetap tenang, bahkan terlalu tenang. Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak ada nada curiga dalam suaranya.Justru pagi ini, saat ia mengenakan blazer biru dan sibuk merapikan dokumen, ia hanya menatap Evi sekilas lalu berkata santai, “Evi, kamu yang antar dokumen itu ke kantor Liam, ya. Aku harus meeting di Bandung sampai beso
“Kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah mengguncang hidupku, hah?” bisiknya dengan suara seraknya.Sebelum Evi sempat menjawab, bibir Liam sudah menempel di bibirnya—keras, mendesak, menuntut. Napas Evi tercekat. Tubuhnya gemetar menahan gejolak yang berdesir dalam dadanya.Liam menarik tubuh Evi ke dalam dekapannya. Tangan-tangannya yang besar dan kuat bergerak menyusuri punggungnya, pinggangnya, lalu menyelinap ke bawah blus tipis yang dipakainya.Evi tahu dia harus mendorongnya. Dia tahu dia harus menolak. Tapi tubuhnya telah mengkhianati pikirannya. Lemas, pasrah, terbakar dalam sentuhan itu.“Aku menginginkanmu sekarang, Evi. Jangan berani kabur apalagi menolakku,” bisiknya kemudian menarik tangan Evi dan membawanya ke dalam ru