Dua hari kemudian, Nala kembali muncul. Tak seperti sebelumnya, kali ini wajahnya lebih kaku. Tanpa basa-basi, dia meminta laporan langsung.
“Ceritakan padaku semua yang kamu lihat dalam lima hari terakhir,” katanya dengan nada tajam.
Evi menarik napas pelan, mengeluarkan buku kecil dari saku celemeknya. Ia mulai membaca.
“Pak Liam keluar pukul 07.10, kembali pukul 18.45. Hari Senin, beliau menelepon seseorang bernama Pak Bima selama lima belas menit. Hari Rabu, beliau membeli kopi dan duduk sebentar di teras. Hari Kamis, beliau membersihkan meja kerjanya sendiri. Tidak ada interaksi dengan siapa pun selain lewat telepon.”
Nala menyilangkan tangan di dadanya dengan bibir tersenyum tipis menatap datar wajah Evi.
“Jangan mengada-ngada, Pak! Lepaskan saya!” pekik Evi sekali lagi, suaranya menggema di dalam ruang tamu yang sepi.Suasana mendadak mencekam, hawa dingin dari pendingin ruangan tak mampu menyamarkan ketegangan yang menggantung di udara.Namun Rafael justru menyeringai, genggaman tangannya makin erat pada pergelangan tangan Evi, seolah ia menemukan kesenangan dari penderitaan wanita di hadapannya itu.“Apa kamu tuli, huh?” gumam Rafael dengan nada datar yang menyeramkan. “Aku kan, sudah bilang padamu tadi. Aku sudah mencarimu ke mana-mana, tapi tidak juga ditemukan. Dan sekarang kita sudah bertemu. Tentu saja aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”Tatapan Evi tajam, napasnya terengah karena emosi yang ditahan. Dengan sekuat tenaga, dia menarik lengannya hingga terlepas dari genggaman Rafael.“Bapak gila, huh?” semprotnya, wajahnya memerah karena marah. “Masih banyak perempuan di luar sana yang mau melayani Anda. Jangan cari saya! Saya tidak mau melayani pria seperti Anda!”Kata-kat
Sepulang dari pasar, Evi sempat mampir sebentar ke warung kopi kecil untuk menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Hana.Namun, percakapan tadi justru semakin memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan tentang rumah tangga majikannya, juga tentang perasaan aneh yang semakin tumbuh terhadap Liam—suami dari Bu Nala.Begitu sampai di rumah, suasana tampak sepi. Tak ada suara musik dari kamar atas, tak ada derap kaki Nala yang biasanya sibuk bicara di telepon dengan rekan kerja.Evi membuka pintu rumah perlahan, menyeret kantong belanjaan yang cukup berat ke dalam, dan menutup pintu dengan pelan agar tak mengganggu siapa pun.Namun langkahnya terhenti mendadak begitu kakinya menginjak karpet ruang tengah.Matanya membelalak.Seorang pria asing sedang duduk dengan santai di atas sofa ruang tamu berbalut kulit mahal itu, kaki kirinya disilangkan di atas kanan, satu tangan merogoh saku celana, dan yang lain memegang gelas teh yang entah kapan dihidangkannya.Tatapan mata pria itu
Evi menoleh ke arah garasi mobil. Pandangannya tertuju pada ruang kosong di sisi kiri garasi, tempat mobil Nala biasanya terparkir.Namun pagi ini, tempat itu masih lengang. Tidak ada suara mesin, tidak ada jejak ban baru, dan tidak ada tanda-tanda kepulangan sang nyonya rumah.Dia menghela napas pelan. Embusan pagi yang masih dingin menyentuh wajahnya yang sedikit lelah."Bu Nala nggak pulang dalam semalam. Dia pergi ke mana kira-kira?" gumamnya sembari mempererat pegangan tas belanja yang sudah dia siapkan sejak tadi.Hari ini, seperti biasanya di akhir pekan, Evi akan pergi ke pasar untuk belanja bulanan.Tak butuh waktu lama, suara deru mesin terdengar mendekat. Mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya.Supirnya menurunkan kaca dan menyebut nama Evi. Dia mengangguk dan membuka pintu, lalu masuk ke dalam kabin mobil.Sepanjang perjalanan, Evi hanya diam. Pandangannya tertuju keluar jendela, menyaksikan deretan toko dan pepohonan pinggir jalan yang berlalu cepat. Tapi pikiran
Evi menatap Liam seraya meremas ujung bajunya sendiri. Dia tidak bisa tenang. Hatinya berdenyut cepat, dadanya sesak oleh bayang-bayang yang membelit pikirannya.Liam yang berdiri tak jauh darinya, bersandar di kusen pintu dengan tangan terlipat di depan dada.Matanya tak lepas menatap Evi—tatapan dalam, penuh intensitas yang membuat tubuh perempuan itu seolah sulit bergerak."Evi," suara Liam terdengar rendah namun mantap.Evi menoleh, tatapan matanya ragu. “Pak Liam ... ini salah,” ucapnya dengan pelan.Liam menggeleng kemudian melangkahkan kakinya menghampiri Evi. “Tidak. Ini tidak salah,” katanya tegas. “Perasaan bisa berubah kapan saja, bukan? Aku tahu kamu terkejut. Tapi itu kenyataan yang harus kamu tahu, Evi.”Evi menggigit bibirnya mendengarnya. “Tapi ... saya cuma pembantu di rumah ini, Pak. Derajat saya nggak pantas disandingkan sama Bapak.”Liam tertawa pelan. “Kalau hatiku sudah tertaut padamu, kamu pikir aku masih peduli pada status? Tidak, Evi. Aku tidak peduli dengan s
Evi menelan salivanya perlahan. Tenggorokannya terasa kering seketika, seolah udara di sekelilingnya berubah menjadi pasir yang sulit dihirup.“Pak Liam… nggak bercanda, kan?” ucapnya pelan, nyaris berbisik.Tatapannya penuh rasa tak percaya. Dia berharap, barangkali, pria itu hanya sedang meluapkan kekesalannya lewat sindiran. Tapi tidak. Tatapan Liam terlalu serius untuk itu. Terlalu jujur untuk disebut main-main.Liam terkekeh. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir yang menyiratkan rasa muak dan luka dalam yang ditertawakan agar tidak terlalu menyakitkan.“Menurutmu …,” katanya sembari menatap ke langit yang mulai kelam, “apa aku impoten? Apakah aku cepat keluar atau sebagainya?”Ia menoleh ke Evi. “Kamu sudah tahu sendiri bagaimana ganasnya aku di ranjang, bukan?”Evi terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Wajahnya memanas. Ada rasa malu, tapi juga terseret ke dalam bayang-ba
“Ibu … mau ke mana?” tanya Evi pelan, nyaris seperti bisikan yang tercekat di tenggorokannya.Tatapannya tertuju pada sosok Nala yang baru saja keluar dari kamar utama, mengenakan blouse putih bersih yang disetrika rapi dan celana panjang krem.Di tangan kanannya tergantung sebuah tas besar berwarna cokelat tua, tampak berat dan terisi penuh.Nala menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu. Dia menoleh menatap Evi dengan sorot mata datar yang dingin dan kosong, seperti tidak sedang melihat seorang manusia, melainkan angin kosong yang tak layak dipedulikan.“Bukan urusan kamu!” ucap Nala tajam disertai desisan pendek dari sela giginya.Tanpa menunggu reaksi dari Evi, Nala langsung menyikut bahunya kasar hingga tubuh Evi terdorong mundur beberapa langkah, hampir kehilangan keseimbangan.Pintu utama terbuka. Hembusan angin sore menyambut langkah Nala yang cepat dan penuh kemarahan terpendam.Suara hak sepatunya menghantam lantai marmer dengan mantap, menciptakan gema sunyi yang just