Langkah sepatu berhak tinggi Sarah berderap di sepanjang koridor kantor keluarga besar itu.Wajahnya dingin, meski matanya berkilat seperti sedang menahan emosi. Begitu ia melihat Rafael yang baru saja keluar dari ruang rapat dengan jas yang masih rapi, Sarah langsung mempercepat langkahnya.“Rafael!” panggilnya kemudian.Rafael menghentikan langkahnya lalu menoleh. Alisnya terangkat tipis, melihat istrinya menghampiri dengan wajah yang jelas menyimpan pertanyaan besar.Sarah berhenti tepat di depannya dan menatap lekat wajah sang suami. “Benarkah?” tanyanya tanpa basa-basi.“Benarkah Nala dan Liam sudah resmi bercerai?”Rafael menatap lekat-lekat wajah Sarah lalu mengangguk sekali. Ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan, seolah dia sudah menduga pertanyaan itu akan keluar dari mulut Sarah.“Ya. Putusan sudah diketuk hakim. Mereka sudah resmi berpisah.”Sarah menghela napasnya dengan panjang namun ekspresinya masih tetap datar sembari menatap kosong ke depan.Rafael menambahkan de
Suasana halaman depan pengadilan masih ramai setelah putusan sidang cerai Liam dan Nala resmi diketuk palu.Para pengunjung sidang, wartawan, dan bahkan orang-orang yang hanya ingin tahu, masih memenuhi pelataran.Udara terasa tegang, penuh bisik-bisik tentang drama besar yang baru saja diputuskan di ruang sidang.Ardi menghampiri Liam dan menepuk bahu lelaki itu dengan wajah puas. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah ingin mengucapkan sesuatu yang sejak lama terpendam.“Selamat, Liam,” ucap Ardi dengan suara mantap. “Akhirnya selesai juga semua kekacauan ini. Aku salut banget sama kamu, Liam. Sabarmu itu udah di luar batas manusia. Kalau aku jadi kamu, mungkin dari sidang pertama aku udah naik darah. Nala itu drama nggak ada habisnya. Aku sampai tidak bisa bernapas karena mendengarkan drama Nala.”Liam menarik napas dalam, matanya sedikit menerawang seolah mengulang kembali semua momen yang sudah dilewati. Raut wajahnya tetap datar, tapi jelas ada letih yang sulit disembunyikan o
Setelah jeda istirahat satu jam, para pihak kembali duduk di kursi masing-masing.Pengunjung sidang yang sejak tadi menunggu ikut menahan napas, seakan tahu bahwa inilah saat penentuan.Hakim memasuki ruang sidang dengan langkah mantap. Palu diketukkan tiga kali, suara kayu menghantam meja memantul keras di dinding ruangan.“Sidang dilanjutkan,” ucap hakim ketua, suaranya dalam dan menembus keheningan di dalam ruangan itu.Liam lantas duduk tegak, wajahnya tanpa ekspresi, meski jantungnya berdetak kencang.Di sampingnya, kuasa hukumnya tampak percaya diri, sementara di kursi seberang, Nala tampak gelisah.Mata wanita itu merah, entah karena tangis atau amarah, tetapi pandangannya terus tertuju pada Liam dengan tatapan penuh kebencian.Hakim mulai membacakan putusan dengan suara tegas.“Setelah melalui pemeriksaan bukti, keterangan saksi, serta fakta persidangan yang terungkap, majelis hakim menilai permohonan cerai dari pihak penggugat, Saudara Liam, memiliki alasan yang sah secara hu
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi.Ruang sidang terasa lebih tegang dari biasanya. Bau kertas, tinta, dan keringat bercampur, mengisi udara pengap yang hanya dipecah oleh suara palu hakim ketika sidang dinyatakan dibuka kembali.Semua mata tertuju pada kursi terdakwa dan penggugat. Hari ini adalah sidang lanjutan, momen yang sudah Liam tunggu—hasil pemeriksaan bukti akan dibacakan.Hakim yang duduk di kursi tinggi itu mengatur kacamatanya. Tatapannya tajam, nada suaranya dingin, membuat semua orang otomatis menahan napas.“Setelah melalui pemeriksaan bukti yang diajukan kedua belah pihak ….”Hakim membuka berkas tebal yang penuh tanda dan coretan, “…pengadilan telah menemukan sejumlah fakta hukum yang relevan.”Nala, yang duduk di kursi tergugat dengan gaun putih sederhana meremas ujung roknya.Wajahnya pucat, tapi matanya berkilat penuh kebencian, seolah menunggu keajaiban yang bisa membalikkan keadaan.Di sisi lain, Liam duduk tegak dengan jas hitam rapi. Dingin, tak menunjukk
Pintu depan berderit pelan. Langkah kaki berat terdengar memasuki rumah.Ardi yang membuka pintu hanya memberi anggukan singkat, dan Liam masuk dengan ekspresi lelah namun tetap tegas.Jas hitamnya sudah dilepas, dasinya longgar, memperlihatkan kerah kemeja yang sedikit kusut.Begitu mata Evi menangkap sosok Liam, dadanya langsung berdesir.Ada rasa lega sekaligus gentar. Lelaki itu masih sama—dingin, penuh wibawa—namun kehadirannya selalu membawa rasa aman yang tak bisa dia jelaskan.“Mas Liam?” sapa Evi dengan senyum tipis di bibirnya.Liam menatapnya dengan sorot matanya teduh namun keras.Ia berjalan mendekatinya lalu duduk di sofa berseberangan. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya datar, tapi Evi bisa merasakan ketulusan di balik nada itu.Evi menelan ludahnya mencoba bersikap biasa saja. “Saya baik-baik saja, Mas.Senyumnya hambar, hanya formalitas yang dia perlihatkan agar Liam tidak bertanya banyak tentang kondisinya saat ini.“Mas Ardi dan Mbak Alysa menjaga dan menemani saya di
Kata “sandiwara” itu membuat Nala mendongak dengan wajah memerah karena tangis dan amarah.“Sandiwara? Jadi semua air mataku kamu anggap bohong? Semua rasa sakitku kamu bilang palsu? Liam! Aku ini istrimu!“Aku perempuan yang sudah menemanimu bertahun-tahun! Kenapa sekarang kamu membuangku seperti sampah?!”Sorot matanya penuh amarah bercampur putus asa. Ia meronta dari pelukan salah satu kerabat yang mencoba menenangkannya, lalu jatuh berlutut di lantai marmer lorong.Liam menatap pemandangan itu lama, wajahnya tetap keras. Dalam hatinya, ada perih yang dia sembunyikan rapat.Ia tahu Nala pandai memainkan peran, tapi menyaksikan wanita itu menangis meraung di depannya masih saja menusuk nurani.Meski begitu, harga diri dan kebenaran jauh lebih penting dari sekadar simpati semu.Raka menghampiri Liam dan berbisik padanya, “Pak, sebaiknya kita pergi saja dari sini. Ini hanya akan dimanfaatkan lebih jauh oleh Bu Nala.”Namun Liam tetap diam. Ia hanya menghela napasnya lalu berbalik tanp