Lima bulan telah berlalu sejak Liam resmi melamar Evi. Waktu seolah berjalan dengan cepat, namun setiap detik terasa penuh warna bagi mereka.
Kini, sore yang hangat di apartemen sederhana itu diselimuti kesibukan kecil. Bukan riuh rendah persiapan pesta besar dengan ratusan tamu, melainkan sentuhan sederhana yang justru memancarkan ketulusan.
Selly sibuk menata bunga di sudut ruang tamu, tangannya cekatan merangkai mawar putih dengan pita satin yang ia beli khusus untuk hari istimewa itu.
Wajahnya berbinar, sesekali dia bersenandung kecil. Di sampingnya, Alysa, adik Ardi, ikut membantu menggantungkan lampion kertas berwarna pastel di dekat jendela besar apartemen.
“Eh, hati-hati, Kak Alysa. Jangan sampai jatuh,” kata Selly sambil menopang kursi yang diinjak Alysa.
Alysa menoleh ke bawah dan tertawa kecil. “Tenang aja, aku nggak setinggi itu kok. Cuma perlu sedikit menjinjit.”
Sementara itu, Evi duduk di kursi sambil m
Evi hanya mengangguk pasrah. Melihat itu, Liam kemudian menyunggingkan bibirnya, tersenyum miring melihat Evi yang sudah pasrah di bawahnya.“Baiklah. Kita mulai sekarang, Sayang.”Bibirnya menyapu pelan sepanjang garis rahang Evi hingga ke leher.Wanita itu menggeliat, tangannya secara refleks meraih rambut Liam, menahan kepala pria itu seolah tak ingin melepaskannya.“Mas …,” suaranya keluar lirih, nyaris seperti desahan yang tertahan.Liam tersenyum di sela ciumannya, kemudian menghisap lembut kulit halus di bawah telinga Evi, meninggalkan sensasi bergetar yang membuat jantung wanita itu kian berpacu.“Aku suka mendengar namaku keluar dari bibirmu,” ucapnya serak.Tubuh Evi makin panas. Gaun putih sederhananya terasa terlalu mengekang, dan Liam sadar akan hal itu.Jemari prianya meraih pita kecil di punggung gaun itu, lalu dengan sabar ia melonggarkannya. Tidak tergesa, justru penuh kelembutan, seakan ingin menikmati setiap detik momen ini.Gaun itu melorot perlahan dan menyingkap
Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Selly sudah kembali ke kamarnya, Ardi dan Alysa juga sudah pulang ke rumah mereka.Juga Evi dan Liam masuk ke dalam kamar yang kini sudah tak perlu lagi tidur terpisah. Mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri.Aroma bunga mawar yang sengaja ditaburkan Selly di atas ranjang masih segar, menyatu dengan harum lilin aromaterapi yang menyala di sudut ruangan.Angin malam dari jendela terbuka menyusup perlahan, membawa dingin tipis yang justru membuat setiap hangat sentuhan terasa lebih dalam.Evi berdiri di depan cermin, masih dengan gaun putih sederhana yang tadi dipakainya saat pemberkatan.Jemarinya gemetar ketika menyentuh kain lembut yang melingkupi tubuhnya. Senyumnya malu-malu, tapi matanya berkilat penuh cinta.“Cantik sekali,” suara bariton Liam terdengar lembut dari belakang.Evi terhenyak. Ia melihat bayangan Liam yang mendekat lewat pantulan kaca.Pria itu kini sudah melepas jas pengantinnya dan kini hanya mengenakan kemeja pu
Esok harinya, waktu sudah menunjuk angka lima sore.Langit sore itu memancarkan semburat jingga keemasan. Awan tipis melayang perlahan, seakan sengaja memberi jalan bagi matahari yang hendak turun di ufuk barat.Di rooftop apartemen sederhana itu, suasana berubah menjadi sakral. Tidak ada hiasan berlebihan, hanya beberapa rangkaian bunga putih yang dipasang Selly dan Alysa sejak pagi, kursi kayu berjejer rapi, dan altar kecil dengan kain putih sederhana.Evi berdiri di sisi ruangan yang telah ditata. Gaun putih sederhana melekat pada tubuhnya, jatuh dengan anggun hingga menyentuh lantai.Gaun itu bukan buatan desainer ternama, melainkan jahitan seorang penjahit langganannya sejak dulu.Namun justru kesederhanaan itulah yang membuatnya terlihat memukau. Rambutnya ditata Selly, disanggul rapi dengan hiasan bunga kecil.Senyumnya bergetar, tangannya dingin, namun matanya memancarkan cahaya bahagia.Di sisi lain, Liam berdiri tegap dengan
Lima bulan telah berlalu sejak Liam resmi melamar Evi. Waktu seolah berjalan dengan cepat, namun setiap detik terasa penuh warna bagi mereka.Kini, sore yang hangat di apartemen sederhana itu diselimuti kesibukan kecil. Bukan riuh rendah persiapan pesta besar dengan ratusan tamu, melainkan sentuhan sederhana yang justru memancarkan ketulusan.Selly sibuk menata bunga di sudut ruang tamu, tangannya cekatan merangkai mawar putih dengan pita satin yang ia beli khusus untuk hari istimewa itu.Wajahnya berbinar, sesekali dia bersenandung kecil. Di sampingnya, Alysa, adik Ardi, ikut membantu menggantungkan lampion kertas berwarna pastel di dekat jendela besar apartemen.“Eh, hati-hati, Kak Alysa. Jangan sampai jatuh,” kata Selly sambil menopang kursi yang diinjak Alysa.Alysa menoleh ke bawah dan tertawa kecil. “Tenang aja, aku nggak setinggi itu kok. Cuma perlu sedikit menjinjit.”Sementara itu, Evi duduk di kursi sambil m
Mereka sudah kembali ke apartemen.Dan Evi masih tertegun menatap cincin yang melingkar manis di jari manisnya. Hatinya seakan menari, masih sulit percaya bahwa Liam benar-benar baru saja melamarnya dengan cara yang begitu sederhana namun menggetarkan jiwa.Tangannya bergetar saat mengelus cincin itu, sementara senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.Selly yang sejak tadi berdiri di ambang pintu ruang tamu, akhirnya tak bisa menahan diri. Ia berlari kecil menghampiri kakaknya, lalu langsung memeluk erat tubuh Evi.“Mbak … akhirnya!” seru Selly dan matanya tampak berbinar penuh kebahagiaan.“Aku benar-benar bahagia banget lihat Mbak akhirnya dilamar sama Kak Liam. Rasanya kayak mimpi.”Evi terkekeh kecil, masih terhanyut dalam rasa haru.Ia mengusap rambut adiknya, lalu bertanya dengan tatapan menyelidik, “Selly … jangan bilang kamu sudah tahu dari awal kalau Mas Liam mau melamarku?”Selly mendongak dengan senyum penuh kemenangan. Wajahnya jelas-jelas tak bisa menyembunyikan rahasia.
Udara di restoran itu seolah menahan napas. Lilin di meja kecil di hadapan Evi bergoyang pelan, seperti ikut menyerap ketegangan yang mengalir di udara.Liam masih berlutut, cincin berkilau di tangannya, sementara mata tajamnya menatap Evi tanpa berkedip, penuh kesungguhan yang membuat dada siapa pun bisa bergetar.Evi menggenggam kedua tangannya di atas dada. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang pucat.Tubuhnya gemetar halus, seolah kata-kata yang hendak ia keluarkan tertahan oleh benang kusut yang menjerat di kerongkongan.“Mas,” panggilnya lirih, nyaris patah. “Aku … aku takut.”Liam mengernyit, tapi tatapannya tetap lembut. “Takut apa, Vi?” tanyanya sedikit bingung.Air mata Evi makin deras. Ia menggeleng lemah, matanya berkilat antara sedih dan panik.“Aku takut … aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku sudah terlalu banyak dihina, dicibir, dianggap sial oleh orang-orang kam