“Aaaaaaa!!!”Nala menjerit histeris hingga suaranya menggema di udara senja. Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri dan wajahnya pucat penuh amarah.Para tetangga yang lewat hanya menoleh sekilas, berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. Bagi mereka, perempuan itu sudah kehilangan kewarasan.“Tidak … tidak mungkin! Liam … kamu tidak bisa lakukan ini padaku!” jeritnya lagi dan air matanya membanjiri pipi. Ia berlari ke pagar dan menghantamkan kedua tangannya ke besi dingin itu.“Rumah ini milikku juga! Aku yang dulu menata semuanya, aku yang dulu tidur di sini, aku yang dulu … yang dulu ada di sisimu, Liam!”Ia menunduk dan pundaknya berguncang. Tangisnya berubah menjadi suara tawa pendek, getir, dan menakutkan.“Hahaha … Liam … kamu pikir kamu bisa hidup tenang setelah meninggalkanku? Kamu pikir aku akan diam saja melihatmu merangkul perempuan murahan it
Di kediaman Liam.Halaman rumah besar yang dulu menjadi saksi kehidupan rumah tangga Liam dan Nala kini tampak sepi, kosong, dan tak lagi ada tawa atau suara cekcok yang dulu kerap bergema dari dalamnya.Papan bertuliskan “DIJUAL” sudah terpasang sejak beberapa hari lalu, dan hari ini Liam datang dengan wajah tenang, seolah ingin menutup lembaran masa lalu yang penuh luka.Namun, ketenangan itu buyar ketika sebuah suara lembut, manja, namun penuh kepura-puraan terdengar dari teras.“Liam?” panggil Nala dengan nada mendayu.Dia kini berdiri di depan pintu, mengenakan gaun putih sederhana, rambut tergerai rapi seolah dia sudah menunggu sejak lama.“Aku tahu ... aku tahu kamu pasti datang untukku. Kamu tidak benar-benar tega meninggalkan aku, kan?” ucapnya dengan penuh percaya diri.Liam menghentikan langkahnya. Matanya langsung menatap lurus pada sosok perempuan yang dulu pernah dia sebut istri, tapi
Begitu berhasil membuat Rafael dan Sarah debat panjang, Nala pergi begitu saja seolah apa yang sudah dia rencanakan memang sudah selesai.Dia melangkah dengan anggun penuh dengan kemenangan. Menenteng tas mahalnya dengan kepala mendongak ke atas penuh dengan keangkuhan.“Sayang. Jangan percaya dengan ucapan Nala, aku mohon,” lirih Rafael dengan nada memohon.Sarah menatapnya penuh benci. “Kamu pikir aku akan percaya begitu saja kalau itu ‘sampah’? Kata-katanya terlalu detail, Rafael! Tentang bagaimana dia berjanji akan memberimu anak, tentang bagaimana kamu merencanakan menjatuhkanku di depan semua orang dengan tuduhan bahwa aku mandul. Itu bukan omong kosong, itu—”“—itu justru bukti kalau dia sedang berusaha menghancurkan kita!” potong Rafael dan suaranya meninggi untuk pertama kalinya.Sarah terdiam sejenak, kaget melihat Rafael begitu defensif. "Nala baru saja dipecat dan dia tidak terima dipecat, Sarah. Apa kamu tidak mau berpikir ke arah sana?" ucap Rafael sembari menahan gejol
Rafael baru saja tiba di rumah. Dia masuk dengan langkah pelan, pundaknya berat, pikirannya masih dipenuhi bayangan wajah Nala yang menangis histeris di ruang kerjanya tadi sore.Keputusan memecat Nala cukup menghantuinya, tapi lebih dari itu, ancaman Sarah masih menekan dadanya.Ia berharap malam ini tenang, setidaknya ada waktu untuk menarik napas. Namun begitu dia membuka pintu ruang tamu, langkahnya terhenti mendadak.Di sana, Sarah berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajah dingin seperti patung marmer, dan matanya menyala penuh bara.Dan di hadapan wanita itu ada Nala yang berdiri dengan angkuh di hadapan Sarah.“Sarah …?” Rafael tercekat. Sorot matanya beralih cepat dari Sarah ke Nala. “Apa yang dia lakukan di sini?”Sarah tidak langsung menjawab. Hanya tatapan tajamnya yang berbicara.Sementara Nala tertawa getir, lalu menatap nyalang wajah Rafael. “Oh, aku hanya mampir untuk memberitahu sedikit kebenaran pada istrimu, Rafael.”Rafael merasakan darahnya berdesir begitu mend
Malam itu hujan baru saja reda. Jalanan masih basah, aroma tanah bercampur aspal basah memenuhi udara.Di dalam kediaman besar keluarga, lampu kristal menyala terang, memberikan kesan anggun sekaligus kaku.Sarah baru saja turun dari ruang kerjanya ke ruang tamu, mengenakan gaun malam sederhana namun elegan.Ia berencana menenangkan diri dengan segelas anggur, setelah perdebatan panjang dengan Rafael di siang hari tadi.Namun ketenangan itu seketika buyar saat pintu depan terbuka dengan keras, disertai suara langkah tergesa yang masuk tanpa izin.“Sarah!”Sarah menoleh tajam dan matanya langsung menemukan sosok Nala.Rambutnya acak-acakan, wajahnya merah, matanya bengkak akibat tangis.Gaun kerjanya masih melekat, basah di bagian bawah karena hujan. Nafasnya tersengal, seolah datang ke rumah ini dengan terburu-buru tanpa pikir panjang.“Nala?” alis Sarah terangkat tinggi. “Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini? Kamu pikir kamu siapa berani masuk seenaknya ke dalam rumahku?”
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Rafael akhirnya memanggil Nala untuk datang ke ruangannya dan memberitahu apa yang diminta oleh Sarah.Tok tok tok!“Masuk,” titah Rafael dengan suara beratnya.Nala pun masuk lalu duduk di hadapan Rafael dengan tatapan datarnya. “Ada apa memanggilku di waktu jam kerja sudah habis?” tanyanya kemudian.“Kita perlu bicara,” ujar Rafael dengan nada rendah namun penuh dengan tekanan.“Katakan saja, aku akan mendengarnya,” jawab Nala kemudian.Rafael kemudian menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat.“Nala … hubungan kita harus berakhir sampai di sini.”Kata-kata itu menghantam Nala seperti palu godam.Tangannya yang memegang pena terlepas begitu saja dan jatuh di atas meja. “A-apa maksudmu?” tanyanya dengan nada bergetar.“Aku tidak bisa lagi mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan.” Rafael melanjutkan dan mencoba terdengar tegas, padahal hatinya pun terombang-ambing.“Mulai hari ini, kamu bukan lagi sekretarisku.”Nala menat