MasukSeluruh mata tertuju pada pria berusia tiga puluh tiga tahun itu. Tegas, tampan, berwibawa. Mata gelapnya mampu meluluhkan semua staff dan jajaran penting di sana. Termasuk Aruna.
Sementara Aruna merasa tubuhnya membeku. Ia menundukkan kepalanya, berusaha mengendalikan gemetar di tangannya.
“Astaga. Kenapa dunia sempit sekali. Kenapa harus Raka yang menjadi CEO baru di sini?” gumamnya sembari menggigit bibir bawahnya.
Setelah perkenalan singkat dengan seluruh staf, Raka memanggil Aruna ke ruangannya.
Kantor megah di lantai atas, dengan jendela lebar yang menampakkan panorama kota London, terasa menekan ketika pintu tertutup.
“Jadi, kau bekerja di sini selama ini,” ucap Raka tanpa basa-basi dan matanya menelisik setiap gerak tubuh Aruna. “Dan kau tidak pernah berniat memberitahuku apa pun?”
Aruna menelan ludahnya dengan pelan. “Aku tidak ingin mengganggumu lagi, Raka.”
Raka menyandarkan tubuh ke kursi kulit hitam dan tangannya bertaut di depan dada.
Mata gelapnya menatap tajam wajah mantan istri yang sudah meninggalkannya dua tahun yang lalu tahu sebab.
“Tidak ingin mengganggu?” Raka mengambil notulen yang diberikan oleh sekretarisnya dan membaca list di sana.
Tampak nama Aruna yang ingin mengunjunginya. Dia kemudian menatap datar wajah Aruna. “Ada apa kau ingin menemuiku?” tanyanya kemudian.
Aruna menelan ludahnya berkali-kali. “Aku … jujur saja aku tidak tahu kalau CEO baru di sini ternyata kau. Aku baru bekerja di kantor ini enam bulan yang lalu. Dan tidak pernah mendengar namamu disebut-sebut sebelumnya.”
“Katakan apa yang ingin kau katakan, Aruna!” ucapnya dengan tegas.
Aruna menatap wajah Raka dengan tatapan penuh dengan perasaan campur aduk. Selama ini Raka tidak tahu bahwa anak semata wayang mereka sedang sakit, karena Aruna saja baru tahu anaknya sakit saat mereka sudah berpisah.
“Nayla … anak kita—”
“Ada apa dengan Nayla? Kau membiarkan dia dirawat oleh ibumu yang sakit-sakitan itu?” potong Raka kemudian.
Aruna menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Tidak. Aku merawatnya dengan Maggie—sahabatku. Nayla … dia menderita penyakit jantung dan sekarang butuh uang untuk operasi. Aku ingin meminjam uang padamu untuk—”
“Apa?!” Suara Raka langsung menggelegar di sana. “Sejak kapan anak itu sakit, Aruna?” tanyanya kemudian.
Aruna menggigit bibirnya mendengrnya. Air matanya hampir jatuh, tapi dia menahannya.
“Sejak lahir. Dokter baru memberi tahu penyakit jantungnya setelah kita berpisah.” Aruna menjawab dengan suara gemetar.
“Apa?” suara Raka meninggi bahkan memukul meja hingga getaran terasa.
“Dan kau memilih diam saja selama bertahun-tahun? Kau biarkan aku hidup dalam kebodohan, seolah aku tidak punya hak sebagai ayah? Kau tega melakukan itu padaku, Aruna?”
“Aku hanya ingin melindungi dia, Raka. Aku takut … takut jika kau tahu, kau akan membenci kami.”
“Yang kau lakukan justru membuatku membencimu lebih dari siapa pun, Aruna,” balas Raka dan suaranya penuh bara.
“Aku punya hak atas anakku, Aruna. Dan kau membiarkan aku tidak tahu apa-apa soal penyakitnya? Ibu macam apa yang sudah menyembunyikan sakit yang diderita oleh anaknya dari ayahnya? Kau benar-benar ingin memisahkan aku dengan anak kita, bukan?”
Aruna menarik napasnya dengan panjang mencoba menegakkan tubuh. Ia harus menyingkirkan rasa bersalah, setidaknya untuk sementara. Ada sesuatu yang jauh lebih penting.
“Ya. Aku tahu. Aku tahu ini semua salahku. Tapi, aku rasa bukan saatnya untuk berdebat, Raka.”
“Bukan saatnya?” Raka menyunggingkan senyum sinis dan matanya menatap tajam wajah Ariana. “Kau sudah menyembunyikan penyakit Nayla, itu artinya kau sanggup membiayai pengobatannya!”
Aruna terdiam mendengarnya. Dia hanya memainkan jarinya sembari menundukan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa diam? Katanya, ada yang ingin kau bicarakan denganku,” pancing Raka kemudian.
Dia ingin tahu apa yang ingin Aruna katakan padanya.
Aruna menatap lirih wajah Raka. “Tolong pinjamkan aku uang. Nayla harus segera dioperasi. Tanpa itu, dia tidak akan bertahan. Malam ini Nayla harus sudah masuk ruang operasi agar dia selamat.”
Raka menatapnya lama seakan tengah menimbang apa yang diminta oleh mantan istrinya itu.
Lalu bibirnya melengkung tipis. “Dan kau datang padaku di saat terjepit. Dulu ke mana saja, hm? Sangat tidak membutuhkanku? Begitu?”
“Raka, aku tidak punya siapa pun lagi,” suara Aruna bergetar. “Aku akan melakukan apa saja. Apa pun yang kau minta. Asal Nayla bisa selamat. Aku mohon.”
Raka kemudian berdiri dan berjalan perlahan mendekati Aruna.
Tubuh tinggi tegapnya menjulang, aroma parfum maskulin menyeruak, hingga membuat Aruna semakin sulit bernapas. Dia berhenti hanya sejengkal di depannya dan menatap dalam ke matanya.
“Apa saja?” tanya Raka datar namun, penuh dengan tekanan.
Aruna menutup mata sejenak lalu mengangguk. “Ya.”
Raka mendekatkan wajahnya, suaranya menurun, nyaris berbisik. “Kau tahu, Aruna, aku bisa saja langsung menghubungi bank, atau menandatangani cek sekarang juga. Tapi, aku tidak akan melakukannya begitu saja.
“Kau telah menyembunyikan penyakit anakku selama ini. Kau membuatku kehilangan tahun-tahun yang seharusnya aku tahu, aku temani dia. Sekarang, aku ingin kau membayarnya. Bukan dengan uang … tapi dengan dirimu.”
Aruna mengadahkan kepalanya menatap Raka. “Apa maksudmu, Raka?” tanyanya kemudian.
“Layani aku kapan pun aku mau. Itu syaratku. Terima, atau biarkan anak kita mati.”
Usia kandungan Aruna sudah memasuki sembilan dan kini wanita itu sedang berbaring di tempat tidur, tangannya menggenggam selimut, dan wajahnya meringis menahan nyeri yang datang bergelombang.“Raka,” bisiknya pelan, dan napasnya tersengal. “Sepertinya … waktunya sudah dekat.”Raka yang semula sedang menyiapkan susu hangat di meja, langsung berbalik dengan mata membesar.“Sekarang?” suaranya meninggi, tapi cepat-cepat ia menenangkan diri. “Oke, oke … tenang, aku di sini.”Ia berlari ke lemari, menarik koper yang sejak dua minggu lalu sudah disiapkan berisi perlengkapan rumah sakit, pakaian bayi, dan dokumen penting.Tangannya sedikit gemetar saat memeriksa ulang semuanya. “Handuk kecil? Ada. Selimut bayi? Ada. Oh Tuhan, aku lupa pampers ukuran newborn.”“Raka.” Suara Aruna memanggil lembut, di sela kontraksi. “Aku baik-baik saja. Jangan panik, ya?”Lelaki itu berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang kini tampak pucat tapi tetap berusaha tersenyum.Ia menarik napas panjang, menundu
Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari baru saja menembus celah tirai kamar mereka. Aruna duduk di tepi tempat tidur, memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.Sudah tiga hari terakhir tubuhnya terasa aneh — mual setiap kali mencium aroma kopi Raka, pusing ringan, dan cepat lelah meski tidak banyak beraktivitas.Ia mencoba tersenyum menenangkan diri, tapi saat bangkit hendak berjalan ke kamar mandi, kepalanya berputar.“Aruna?” Suara Raka terdengar dari arah pintu.Lelaki itu baru saja selesai jogging dan terkejut melihat istrinya memegangi meja rias sambil menunduk. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat, menghampiri dengan wajah cemas.Aruna menggeleng pelan. “Entahlah … mungkin karena perut kosong,” gumamnya, mencoba terdengar ringan. Tapi ekspresi pucat di wajahnya membuat Raka semakin khawatir.“Tidak, ini bukan sekadar lapar,” ujarnya tegas. “Aku akan panggil dokter.”“Tidak perlu panik begitu, Raka.” Aruna mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah mengambil kunci mobil.“Ki
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai tipis kamar mereka, menyingkap pemandangan halaman rumah yang basah oleh embun.Dari dapur terdengar suara gemericik air, dentingan sendok, dan aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster.Aruna berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga kecil yang dulu dibelikan Raka.Rambutnya diikat asal dengan jepit besar, beberapa helaian terlepas menutupi wajahnya yang belum sepenuhnya berias. Tapi justru di situlah pesonanya—alami, lembut, dan begitu rumah.Di meja, ada sepiring telur orak-arik, potongan buah segar, dan dua cangkir kopi panas. Aruna menata semuanya dengan rapi sambil bersenandung pelan.“Wangi apa ini?” suara berat Raka terdengar dari arah ruang tengah.Aruna menoleh. Raka baru turun dari lantai atas, mengenakan kaus putih polos dan celana kain hitam, rambutnya sedikit berantakan, namun tetap tampan seperti biasa. Ia berjalan santai sambil mengucek mata, lalu berh
Sudah dua minggu berlalu dan kini mereka sudah kembali ke rumah.Mobil hitam itu berhenti di depan rumah yang sudah hampir dua minggu mereka tinggalkan. Langit sore itu berwarna lembut, cahaya matahari menembus pepohonan yang rindang di halaman depan.Dari balik kaca mobil, Aruna menatap rumah mereka—tempat segala hal dimulai, dan kini, tempat segalanya kembali utuh.Raka turun lebih dulu, lalu bergegas membuka pintu untuk Aruna. Ia menatap istrinya yang masih memeluk tas kecil di pangkuannya. “Sudah siap, Bu Mama?” godanya sambil tersenyum.Aruna terkekeh kecil. “Aku bahkan tidak sabar.”Belum sempat mereka melangkah ke teras, suara kecil yang familiar terdengar dari balik pintu. “Papaaa! Mamaaa!”Pintu terbuka lebar, dan sosok mungil berambut kuncir dua langsung berlari dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Nayla.Aruna berjongkok, dan gadis kecil itu langsung menubruk pelukannya. “Mamaaa! Aku kangeeen!” serunya dengan suara bergetar. Aruna memeluk Nayla erat-erat, mencium rambut d
Sore itu, sinar matahari menembus jendela besar vila dan menciptakan warna keemasan di seluruh ruangan.Raka sedang duduk di balkon, membaca buku tipis sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.Sementara itu, Aruna sibuk menata rambutnya di depan cermin, mengenakan gaun santai berwarna putih.Hari mereka berjalan begitu damai. Tidak ada rapat, tidak ada telepon kantor, hanya mereka berdua dan ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang terasa kurang — suara tawa Nayla yang biasanya memenuhi rumah.Aruna menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon.Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, layar itu tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di sana membuatnya tersenyum lebar.“Nayla. Video Call”Aruna segera menjawab panggilan itu. “Sayang!” serunya riang.Wajah kecil Nayla muncul di layar, pipinya chubby, rambutnya diikat dua seperti biasa.Ia tampak sedang duduk di ruang tengah
Pagi itu, vila yang mereka tinggali terasa begitu tenang. Hanya suara ombak lembut yang datang dari kejauhan, sesekali disertai desir angin yang menerpa tirai putih di balkon kamar mereka.Aruna masih meringkuk di tempat tidur, rambutnya berantakan dan wajahnya tampak begitu damai.Raka berdiri di dekat pintu, menatap pemandangan itu dengan senyum kecil. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melihat Aruna dalam keadaan seperti itu—tenang, lembut, tanpa beban. Ia ingin pagi ini menjadi sesuatu yang istimewa.Tanpa membangunkannya, Raka berjalan pelan keluar kamar, menutup pintu rapat-rapat. Ia melangkah menuju dapur vila yang luas dengan aroma roti panggang yang samar. Di sana, seorang koki paruh baya sedang merapikan meja.“Selamat pagi, Tuan Raka,” sapa sang koki ramah. “Mau saya siapkan sarapan seperti biasa?”Raka mengangkat tangan cepat-cepat. “Tidak, tidak perlu. Kali ini saya ingin mencobanya sendiri.”Koki itu menaikkan alis. “Maksudnya, Anda mau memasak sendiri?”Raka men







