Share

Bab 3

Penulis: Leona Valeska
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 16:43:02

Aruna berdiri di hadapan meja kerja itu dengan mata merah, dadanya sesak oleh campuran marah dan kecewa.

Dia sudah cukup menahan diri sejak tadi. Namun, syarat yang dilontarkan Raka benar-benar menusuk harga dirinya.

“Aku tidak percaya kau bisa sekejam itu, Raka,” suaranya pecah dan hampir bergetar.

“Kau menuntut sesuatu yang tidak masuk akal. Kita sudah selesai. Kita bukan lagi suami istri. Lalu mengapa kau tega memberiku syarat hina itu, padahal yang kau minta adalah harga diriku—demi pengobatan anakmu sendiri?”

Raka menegakkan tubuh dari kursinya. Matanya tajam dan sorotnya menusuk seperti belati.

“Anakku?” ucap Raka dengan tajam. “Kau baru mengakuinya sebagai anakku setelah terpojok? Bertahun-tahun kau sembunyikan penyakit itu dariku, Aruna. Kau kira aku tidak punya hak untuk marah?”

Aruna mengatupkan bibirnya rapat. Air matanya berusaha dia tahan, tapi berkilat di sudut mata.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin melindungi Nayla. Aku takut … kalau kau tahu dia sakit sejak lahir, kau akan meninggalkan kami. Kau akan membencinya. Karena penyakit itu penyakit bawaan dari ayahku, bukan dari keluargamu.”

Raka menghentakkan tangannya ke meja. “Jangan bicara seolah kau tahu isi kepalaku! Aku punya hak mengetahui kebenaran. Kau mencuri waktu, mencuri hakku sebagai seorang ayah.

“Bertahun-tahun aku hidup tanpa tahu apa pun, sementara anakku berjuang melawan sakitnya. Itu dosamu, Aruna!”

Nada suaranya menggema di ruangan, membuat Aruna terdiam.

Ia ingin membela diri, tapi kata-kata itu membungkam. Raka benar.

Ia memang bersalah. Diamnya selama ini bukan hanya melukai dirinya sendiri, tetapi juga Raka. Namun apakah itu alasan Raka menindasnya dengan syarat yang kejam?

“Aku tidak menyangkal kesalahanku,” bisik Aruna nyaris tak terdengar. “Tapi apa yang kau minta dariku sekarang itu tidak adil. Tidak adil untukku, tidak adil untuk Nayla.”

Raka melangkah mendekat. Suara langkah sepatunya terdengar berat di lantai kayu. Ia berhenti hanya sejengkal dari Aruna, tubuhnya menjulang, sorot matanya tajam dan berkuasa.

“Tidak adil? Kau bicara soal keadilan padaku?” Raka mendengus dan suaranya penuh amarah yang terpendam.

“Kau menyembunyikan penyakit anakku bertahun-tahun. Itu artinya, kau merasa sanggup menanggung semuanya sendiri, bukan? Kau merasa tidak butuh aku. Jadi sekarang, mengapa kau datang memohon?”

Aruna terdiam. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada bentakan.

Ia tidak punya jawaban. Karena benar, dia memilih jalan itu sendiri. Dan kini dia kembali ke Raka dengan kepala tertunduk, meminta belas kasihan.

Raka mencondongkan wajahnya, suaranya rendah namun menekan. “Jawab aku, Aruna. Jika kau merasa mampu, mengapa datang padaku sekarang?”

Air mata Aruna akhirnya jatuh. Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rapuhnya.

“Karena aku sudah tidak mampu lagi …,” suaranya pecah. “Aku tidak punya siapa-siapa. Aku hanya ingin menyelamatkan Nayla. Aku rela merendahkan diriku, asal dia selamat.”

Raka memandangnya lama. Sorot matanya menyiratkan pergulatan batin, tapi senyum tipis segera terlukis di bibirnya. Senyum yang membuat Aruna semakin gemetar.

“Kalau begitu,” ucapnya dingin, “kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

Aruna menegakkan kepalanya menatap datar wajah Raka. “Kapan … kapan ini akan dimulai?”

Raka tersenyum lebih lebar, senyum misterius yang membuat suasana semakin mencekam. Ia mendekat, berbisik tepat di telinga Aruna.

“Malam ini.”

Aruna terpaku. Seluruh tubuhnya gemetar, antara takut, marah, dan tak berdaya. Kata-kata itu terdengar seperti vonis, mengikatnya dalam permainan yang tidak pernah ia bayangkan akan dijalani lagi bersama lelaki ini.

Namun ia tahu, ia tidak punya pilihan lain. Nyawa putrinya terlalu berharga untuk dipertaruhkan.

“Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan,” ucapnya dengan suara lirih. Pasrah dengan apa yang harus dia hadapi saat ini.

Raka melangkah mundur dan kembali duduk di kursinya. Dia menatap Aruna yang masih berdiri dengan tubuh lemah.

“Kau boleh membenciku, Aruna. Kau boleh menganggapku kejam. Tapi mulai malam ini, kau akan belajar bahwa setiap keputusan punya konsekuensi. Kau sembunyikan penyakit anakku dariku—maka kau harus menebusnya dengan caramu sendiri.”

Aruna mengusap air matanya dan mengumpulkan sisa keberanian untuk membalas ucapan mantan suaminya itu.

Ia menatap Raka dengan sorot luka yang dalam. “Aku tidak pernah ingin begini, Raka. Tapi jika ini satu-satunya jalan … maka aku akan jalani. Untuk Nayla.”

Raka hanya menyunggingkan senyum, senyum yang dingin namun penuh penguasaan.

“Bagus. Aku tahu kau akan memilih itu.”  

Dia kemudian mengambil cek di dalam laci dekat meja kerjanya dan menandatangani cek—belum dia isi nominalnya agar Aruna saja yang mengisinya.

“Mulai malam ini, kau akan menemaniku di ranjang … seperti saat kita masih menjadi suami-istri!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 80

    Usia kandungan Aruna sudah memasuki sembilan dan kini wanita itu sedang berbaring di tempat tidur, tangannya menggenggam selimut, dan wajahnya meringis menahan nyeri yang datang bergelombang.“Raka,” bisiknya pelan, dan napasnya tersengal. “Sepertinya … waktunya sudah dekat.”Raka yang semula sedang menyiapkan susu hangat di meja, langsung berbalik dengan mata membesar.“Sekarang?” suaranya meninggi, tapi cepat-cepat ia menenangkan diri. “Oke, oke … tenang, aku di sini.”Ia berlari ke lemari, menarik koper yang sejak dua minggu lalu sudah disiapkan berisi perlengkapan rumah sakit, pakaian bayi, dan dokumen penting.Tangannya sedikit gemetar saat memeriksa ulang semuanya. “Handuk kecil? Ada. Selimut bayi? Ada. Oh Tuhan, aku lupa pampers ukuran newborn.”“Raka.” Suara Aruna memanggil lembut, di sela kontraksi. “Aku baik-baik saja. Jangan panik, ya?”Lelaki itu berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang kini tampak pucat tapi tetap berusaha tersenyum.Ia menarik napas panjang, menundu

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 79

    Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari baru saja menembus celah tirai kamar mereka. Aruna duduk di tepi tempat tidur, memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.Sudah tiga hari terakhir tubuhnya terasa aneh — mual setiap kali mencium aroma kopi Raka, pusing ringan, dan cepat lelah meski tidak banyak beraktivitas.Ia mencoba tersenyum menenangkan diri, tapi saat bangkit hendak berjalan ke kamar mandi, kepalanya berputar.“Aruna?” Suara Raka terdengar dari arah pintu.Lelaki itu baru saja selesai jogging dan terkejut melihat istrinya memegangi meja rias sambil menunduk. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat, menghampiri dengan wajah cemas.Aruna menggeleng pelan. “Entahlah … mungkin karena perut kosong,” gumamnya, mencoba terdengar ringan. Tapi ekspresi pucat di wajahnya membuat Raka semakin khawatir.“Tidak, ini bukan sekadar lapar,” ujarnya tegas. “Aku akan panggil dokter.”“Tidak perlu panik begitu, Raka.” Aruna mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah mengambil kunci mobil.“Ki

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 78

    Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai tipis kamar mereka, menyingkap pemandangan halaman rumah yang basah oleh embun.Dari dapur terdengar suara gemericik air, dentingan sendok, dan aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster.Aruna berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga kecil yang dulu dibelikan Raka.Rambutnya diikat asal dengan jepit besar, beberapa helaian terlepas menutupi wajahnya yang belum sepenuhnya berias. Tapi justru di situlah pesonanya—alami, lembut, dan begitu rumah.Di meja, ada sepiring telur orak-arik, potongan buah segar, dan dua cangkir kopi panas. Aruna menata semuanya dengan rapi sambil bersenandung pelan.“Wangi apa ini?” suara berat Raka terdengar dari arah ruang tengah.Aruna menoleh. Raka baru turun dari lantai atas, mengenakan kaus putih polos dan celana kain hitam, rambutnya sedikit berantakan, namun tetap tampan seperti biasa. Ia berjalan santai sambil mengucek mata, lalu berh

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 77

    Sudah dua minggu berlalu dan kini mereka sudah kembali ke rumah.Mobil hitam itu berhenti di depan rumah yang sudah hampir dua minggu mereka tinggalkan. Langit sore itu berwarna lembut, cahaya matahari menembus pepohonan yang rindang di halaman depan.Dari balik kaca mobil, Aruna menatap rumah mereka—tempat segala hal dimulai, dan kini, tempat segalanya kembali utuh.Raka turun lebih dulu, lalu bergegas membuka pintu untuk Aruna. Ia menatap istrinya yang masih memeluk tas kecil di pangkuannya. “Sudah siap, Bu Mama?” godanya sambil tersenyum.Aruna terkekeh kecil. “Aku bahkan tidak sabar.”Belum sempat mereka melangkah ke teras, suara kecil yang familiar terdengar dari balik pintu. “Papaaa! Mamaaa!”Pintu terbuka lebar, dan sosok mungil berambut kuncir dua langsung berlari dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Nayla.Aruna berjongkok, dan gadis kecil itu langsung menubruk pelukannya. “Mamaaa! Aku kangeeen!” serunya dengan suara bergetar. Aruna memeluk Nayla erat-erat, mencium rambut d

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 76

    Sore itu, sinar matahari menembus jendela besar vila dan menciptakan warna keemasan di seluruh ruangan.Raka sedang duduk di balkon, membaca buku tipis sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.Sementara itu, Aruna sibuk menata rambutnya di depan cermin, mengenakan gaun santai berwarna putih.Hari mereka berjalan begitu damai. Tidak ada rapat, tidak ada telepon kantor, hanya mereka berdua dan ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang terasa kurang — suara tawa Nayla yang biasanya memenuhi rumah.Aruna menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon.Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, layar itu tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di sana membuatnya tersenyum lebar.“Nayla. Video Call”Aruna segera menjawab panggilan itu. “Sayang!” serunya riang.Wajah kecil Nayla muncul di layar, pipinya chubby, rambutnya diikat dua seperti biasa.Ia tampak sedang duduk di ruang tengah

  • Terjebak Gairah Panas Mantan Suami   Bab 75

    Pagi itu, vila yang mereka tinggali terasa begitu tenang. Hanya suara ombak lembut yang datang dari kejauhan, sesekali disertai desir angin yang menerpa tirai putih di balkon kamar mereka.Aruna masih meringkuk di tempat tidur, rambutnya berantakan dan wajahnya tampak begitu damai.Raka berdiri di dekat pintu, menatap pemandangan itu dengan senyum kecil. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melihat Aruna dalam keadaan seperti itu—tenang, lembut, tanpa beban. Ia ingin pagi ini menjadi sesuatu yang istimewa.Tanpa membangunkannya, Raka berjalan pelan keluar kamar, menutup pintu rapat-rapat. Ia melangkah menuju dapur vila yang luas dengan aroma roti panggang yang samar. Di sana, seorang koki paruh baya sedang merapikan meja.“Selamat pagi, Tuan Raka,” sapa sang koki ramah. “Mau saya siapkan sarapan seperti biasa?”Raka mengangkat tangan cepat-cepat. “Tidak, tidak perlu. Kali ini saya ingin mencobanya sendiri.”Koki itu menaikkan alis. “Maksudnya, Anda mau memasak sendiri?”Raka men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status