Aruna berdiri di hadapan meja kerja itu dengan mata merah, dadanya sesak oleh campuran marah dan kecewa.
Dia sudah cukup menahan diri sejak tadi. Namun, syarat yang dilontarkan Raka benar-benar menusuk harga dirinya.
“Aku tidak percaya kau bisa sekejam itu, Raka,” suaranya pecah dan hampir bergetar.
“Kau menuntut sesuatu yang tidak masuk akal. Kita sudah selesai. Kita bukan lagi suami istri. Lalu mengapa kau tega memberiku syarat hina itu, padahal yang kau minta adalah harga diriku—demi pengobatan anakmu sendiri?”
Raka menegakkan tubuh dari kursinya. Matanya tajam dan sorotnya menusuk seperti belati.
“Anakku?” ucap Raka dengan tajam. “Kau baru mengakuinya sebagai anakku setelah terpojok? Bertahun-tahun kau sembunyikan penyakit itu dariku, Aruna. Kau kira aku tidak punya hak untuk marah?”
Aruna mengatupkan bibirnya rapat. Air matanya berusaha dia tahan, tapi berkilat di sudut mata.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin melindungi Nayla. Aku takut … kalau kau tahu dia sakit sejak lahir, kau akan meninggalkan kami. Kau akan membencinya. Karena penyakit itu penyakit bawaan dari ayahku, bukan dari keluargamu.”
Raka menghentakkan tangannya ke meja. “Jangan bicara seolah kau tahu isi kepalaku! Aku punya hak mengetahui kebenaran. Kau mencuri waktu, mencuri hakku sebagai seorang ayah.
“Bertahun-tahun aku hidup tanpa tahu apa pun, sementara anakku berjuang melawan sakitnya. Itu dosamu, Aruna!”
Nada suaranya menggema di ruangan, membuat Aruna terdiam.
Ia ingin membela diri, tapi kata-kata itu membungkam. Raka benar.
Ia memang bersalah. Diamnya selama ini bukan hanya melukai dirinya sendiri, tetapi juga Raka. Namun apakah itu alasan Raka menindasnya dengan syarat yang kejam?
“Aku tidak menyangkal kesalahanku,” bisik Aruna nyaris tak terdengar. “Tapi apa yang kau minta dariku sekarang itu tidak adil. Tidak adil untukku, tidak adil untuk Nayla.”
Raka melangkah mendekat. Suara langkah sepatunya terdengar berat di lantai kayu. Ia berhenti hanya sejengkal dari Aruna, tubuhnya menjulang, sorot matanya tajam dan berkuasa.
“Tidak adil? Kau bicara soal keadilan padaku?” Raka mendengus dan suaranya penuh amarah yang terpendam.
“Kau menyembunyikan penyakit anakku bertahun-tahun. Itu artinya, kau merasa sanggup menanggung semuanya sendiri, bukan? Kau merasa tidak butuh aku. Jadi sekarang, mengapa kau datang memohon?”
Aruna terdiam. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada bentakan.
Ia tidak punya jawaban. Karena benar, dia memilih jalan itu sendiri. Dan kini dia kembali ke Raka dengan kepala tertunduk, meminta belas kasihan.
Raka mencondongkan wajahnya, suaranya rendah namun menekan. “Jawab aku, Aruna. Jika kau merasa mampu, mengapa datang padaku sekarang?”
Air mata Aruna akhirnya jatuh. Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rapuhnya.
“Karena aku sudah tidak mampu lagi …,” suaranya pecah. “Aku tidak punya siapa-siapa. Aku hanya ingin menyelamatkan Nayla. Aku rela merendahkan diriku, asal dia selamat.”
Raka memandangnya lama. Sorot matanya menyiratkan pergulatan batin, tapi senyum tipis segera terlukis di bibirnya. Senyum yang membuat Aruna semakin gemetar.
“Kalau begitu,” ucapnya dingin, “kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Aruna menegakkan kepalanya menatap datar wajah Raka. “Kapan … kapan ini akan dimulai?”
Raka tersenyum lebih lebar, senyum misterius yang membuat suasana semakin mencekam. Ia mendekat, berbisik tepat di telinga Aruna.
“Malam ini.”
Aruna terpaku. Seluruh tubuhnya gemetar, antara takut, marah, dan tak berdaya. Kata-kata itu terdengar seperti vonis, mengikatnya dalam permainan yang tidak pernah ia bayangkan akan dijalani lagi bersama lelaki ini.
Namun ia tahu, ia tidak punya pilihan lain. Nyawa putrinya terlalu berharga untuk dipertaruhkan.
“Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan,” ucapnya dengan suara lirih. Pasrah dengan apa yang harus dia hadapi saat ini.
Raka melangkah mundur dan kembali duduk di kursinya. Dia menatap Aruna yang masih berdiri dengan tubuh lemah.
“Kau boleh membenciku, Aruna. Kau boleh menganggapku kejam. Tapi mulai malam ini, kau akan belajar bahwa setiap keputusan punya konsekuensi. Kau sembunyikan penyakit anakku dariku—maka kau harus menebusnya dengan caramu sendiri.”
Aruna mengusap air matanya dan mengumpulkan sisa keberanian untuk membalas ucapan mantan suaminya itu.
Ia menatap Raka dengan sorot luka yang dalam. “Aku tidak pernah ingin begini, Raka. Tapi jika ini satu-satunya jalan … maka aku akan jalani. Untuk Nayla.”
Raka hanya menyunggingkan senyum, senyum yang dingin namun penuh penguasaan.
“Bagus. Aku tahu kau akan memilih itu.”
Dia kemudian mengambil cek di dalam laci dekat meja kerjanya dan menandatangani cek—belum dia isi nominalnya agar Aruna saja yang mengisinya.
“Mulai malam ini, kau akan menemaniku di ranjang … seperti saat kita masih menjadi suami-istri!”
Langkah Aruna terasa seperti berlari di tengah kabut tebal. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, seolah dunia menindih pundaknya.Begitu pintu ruang tunggu operasi terlihat, dia segera menghampiri sosok Maggie yang duduk gelisah di kursi panjang.“Maggie!” suara Aruna tercekat.Maggie sontak berdiri dan menoleh cepat ke arah Aruna. “Aruna … akhirnya kau datang.”Dia mengusap lengan Aruna dengan pelan. “Operasinya belum selesai. Nayla masih di dalam.”Aruna mengusap dadanya tengah mencoba meredam rasa panik yang kian menyesakkan.“Bagaimana? Apakah dokter bilang sesuatu? Apa ada harapan?” tanyanya dengan nada cemas.Maggie menggeleng lemah. “Belum ada kabar. Mereka masih berusaha sekuat tenaga. Aku hanya bisa berdoa, Aruna.”Aruna menelan ludahnya. Kakinya lemas dan akhirnya duduk di kursi tunggu.Kedua tangannya bergetar menutupi wajahnya. Air mata yang sudah kering itu kembali jatuh.“Semoga operasi anakku berjalan dengan lancar,” bisiknya lirih.Maggie memandanginya dengan tatapan c
Begitu pintu terbuka, tampak seorang wanita muda dengan gaun malam elegan berdiri di depan sana.Wajahnya cantik, tapi kini terhalang oleh amarahnya. Mata tajamnya langsung menatap Raka dengan penuh tuntutan.“Raka!” suaranya nyaring. “Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Sudah berkali-kali aku telepon! Apa yang kau lakukan di dalam sini?!” teriaknya penuh dengan amarah.Raka berdiri santai lalu menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu. “Aku sedang sibuk.”“Sibuk?!” Selina mendengus tak percaya.“Sibuk dengan siapa? Jangan bilang ada orang lain di dalam!” Ia mencoba mendorong pintu, namun Raka cepat-cepat menahan. Tubuhnya yang tegap menjadi penghalang sempurna.“Jangan pernah masuk ke kamarku tanpa izin,” ucapnya dengan nada dingin. “Tidak peduli siapa pun kau.”Selina terbelalak mendengar ucapan Raka. “Tidak peduli siapa pun? Aku ini tunanganmu, Raka! Tunanganmu! Apa kau sudah gila menolak aku masuk?!”Raka menajamkan tatapannya menatap sinis ke arah Selina. “Aku tidak peduli. Aku s
Raka terkekeh dengan suara beratnya. “Aku senang melihatmu memohon seperti ini,” bisiknya kemudian.Aruna menelan ludahnya. Rasanya ingin sekali mengambil alih dan menyentuh pria itu. Namun, dia tahan. Dia sudah sangat hina di hadapan Raka.Jika melakukan itu, Aruna akan semakin kehilangan harga dirinya di hadapan mantan suaminya itu.Raka menjauh dari Aruna dan justru mengambil sebatang di rokok di atas nakas.Aruna berdiri terpaku di dekat ranjang dan tubuhnya masih tegang meski kini Raka menjauh darinya.Sementara Raka bersandar pada kusen pintu balkon dengan sebatang rokok di antara jemarinya meski tak kunjung dia nyalakan.Keheningan itu terlalu panjang.Hingga akhirnya, Raka bersuara lagi. “Katakan padaku, Aruna,” ucapnya dengan nada dinginnya.“Siapa lelaki itu? Yang dulu kau sebut-sebut saat pergi dariku.”Aruna tersentak. Dadanya berdegup kencang begitu Raka membuka topik pembicaraan itu lagi.Ia menunduk dan menatap lantai marmer, tidak berani menatap Raka meski jarak mereka
“Kau … sudah menikah lagi? Tapi, kenapa kau membawaku kemari? Bagaimana perasaan istrimu kalau tahu kau membawa wanita lain ke rumah ini?”Banyak sekali pertanyaan yang Aruna lontarkan pada Raka karena panik dan cemas usai mendengar ucapan Raka tadi.“Aku belum menikah lagi,” katanya singkat.“Masuk,” katanya datar.Aruna menelan ludahnya dan berjalan memasuki rumah megah itu di belakang Raka.Begitu pintu utama terbuka, Aruna langsung terpukau melihat kemegahan rumah itu.Dulu, saat mereka masih menjadi suami-istri, rumah yang mereka tinggali memang cukup besar. Namun, rumah yang kini ditinggali Raka dua kali lipat lebih besar.Langkah kakinya bergema di lorong panjang berlantai marmer putih.Lampu gantung kristal berkilau di langit-langit, sementara dinding dihiasi lukisan-lukisan klasik yang tampak mahal.Aruna berjalan pelan mengikuti Raka yang berjalan beberapa langkah di depannya.Ia memandang sekeliling dengan hati bergetar.‘Pantas saja,’ batinnya berbisik getir. 'Ternyata per
“Tidak di sini. Aku tidak akan mengotori tempat kerjaku hanya untuk menyentuh tubuhmu lagi!”Raka mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya dan mengancingkan jas hitamnya.“Ikut aku!” ucapnya dan keluar dari ruangan itu.Aruna mengerutkan kening dan berjalan di belakang Raka. Entah mau dibawa ke mana dirinya, Aruna tidak ingin bertanya, tapi sebenarnya penasaran.“Masuk,” titah Raka begitu mereka tiba di basement.Aruna menoleh sebentar ke arah Raka sebelum masuk ke dalam mobil sedan hitam milik pria itu.Napas panjang dia tarik sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa banyak kata.Begitu pintu tertutup, suara mesinnya bergemuruh dan membawa mereka meluncur ke jalanan yang tampak sepi.Hening.Hanya suara ban melibas aspal basah dan dentuman halus musik klasik dari radio mobil. Raka menyetir dengan tatapan lurus ke depan, seolah Aruna tak ada di kursi sampingnya.Aruna menggenggam erat pangkuannya, jari-jarinya saling mengait. Perutnya terasa mual oleh gugup. Ia ingin bicara, tapi
Aruna bergegas pergi ke bank untuk mencairkan uang yang sudah diberikan oleh Raka. Awalnya dia ingin menulis dua ratus juta, sebagian untuk biaya perawatan anaknya.Namun, dia urungkan. Aruna tetap menuliskan nominal sesuai dengan keperluannya saja.Setelah beberapa menit berlalu, uang sudah ada di tangannya. Dia bergegas kembali ke rumah sakit untuk segera membayar administrasi biaya operasi sang anak.Hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja dia sudah sampai di sana. Aruna langsung membayar secara tunai uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.“Tolong, segera atur jadwal operasi anak saya,” pinta Aruna dengan nada memohon.Pelayan rumah sakit langsung mengangguk dan segera mengurus segala berkas yang diperlukan.Aruna menunggu dengan cemas di kursi tunggu. Kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang kini terasa begitu berat, seolah menyimpan seluruh harapannya.Sesekali dia melirik ke arah ruang perawatan anaknya. Dari balik kaca, terlihat tubuh mungil yang masih terbaring