Se connecterRaka terkekeh dengan suara beratnya. “Aku senang melihatmu memohon seperti ini,” bisiknya kemudian.
Aruna menelan ludahnya. Rasanya ingin sekali mengambil alih dan menyentuh pria itu. Namun, dia tahan. Dia sudah sangat hina di hadapan Raka.
Jika melakukan itu, Aruna akan semakin kehilangan harga dirinya di hadapan mantan suaminya itu.
Raka menjauh dari Aruna dan justru mengambil sebatang di rokok di atas nakas.
Aruna berdiri terpaku di dekat ranjang dan tubuhnya masih tegang meski kini Raka menjauh darinya.
Sementara Raka bersandar pada kusen pintu balkon dengan sebatang rokok di antara jemarinya meski tak kunjung dia nyalakan.
Keheningan itu terlalu panjang.
Hingga akhirnya, Raka bersuara lagi. “Katakan padaku, Aruna,” ucapnya dengan nada dinginnya.
“Siapa lelaki itu? Yang dulu kau sebut-sebut saat pergi dariku.”
Aruna tersentak. Dadanya berdegup kencang begitu Raka membuka topik pembicaraan itu lagi.
Ia menunduk dan menatap lantai marmer, tidak berani menatap Raka meski jarak mereka cukup jauh.
“Raka, aku … aku sudah bilang, aku tidak ingin membicarakan itu lagi,” ucapnya lirih.
Raka terkekeh getir. “Tidak ingin membicarakan? Setelah bertahun-tahun? Setelah kau merobek-robek hidupku dengan kata-kata itu?”
Dia berjalan perlahan mendekati Aruna lagi dengan langkah berat.
“Kau meninggalkanku dengan alasan mencintai pria lain. Kau hancurkan aku, Aruna. Dan sekarang kau berdiri di sini, seolah tidak pernah terjadi apa-apa?”
Aruna mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca menatap lirih wajah Raka yang mendesak penjelasan darinya.
“Aku tidak punya pilihan …,” bisiknya lemah.
Raka menatapnya lama, begitu dalam hingga Aruna merasa seluruh rahasianya telanjang di depan tatapan itu.
Senyum miring muncul di bibir pria itu, senyum yang lebih mirip luka ketimbang kebahagiaan.
“Tidak punya pilihan, katamu?” Raka mendesis pelan dan sorot matanya merendahkan. “Lihatlah dirimu sekarang, Aruna.”
Tangannya terangkat dan menunjuk wajah wanita itu dengan rokok yang masih belum menyala.
“Kau … yang dulu dengan bangga meninggalkanku demi laki-laki lain, kini berdiri di hadapanku seperti pengemis, merangkak hanya untuk sedikit belas kasihan.”
Aruna terdiam. Dadanya sakit. Kata-kata Raka bagai pisau yang mengiris perlahan, membuat luka lama yang nyaris mengering kembali menganga.
“Begitu murahnya kau, Aruna,” lanjut Raka dengan suara penuh sarkasme.
“Kau pikir aku lupa bagaimana caramu membunuh harga diriku? Kau lemparkan aku ke jurang dengan kalimat singkat: ‘Aku mencintai pria lain.’ Hanya itu. Hanya itu, Aruna. Kau buat aku seperti pria paling tak berharga di dunia.”
Aruna menutup bibirnya rapat dan mencoba menahan isak yang sudah mendesak keluar. Bahunya bergetar, namun dia tetap berdiri di sana.
Raka mendekat lagi, langkahnya teratur, berwibawa, dan menekan.
Ia berhenti tepat di hadapan Aruna, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah wanita itu.
Asap rokok yang belum menyala kini tercium samar dari batangnya, bercampur dengan aroma tubuh Raka yang masih familiar di indera Aruna.
“Dan lihat sekarang …,” bisik Raka dengan tatapan yang menusuk. “Kau kembali. Dengan wajah basah air mata, dengan tubuh gemetar, memohon padaku.”
Aruna menggigit bibirnya kuat-kuat, rasa asin darah hampir terasa di lidahnya. Hatinya benar-benar hancur. Ia ingin berteriak membela diri, namun suaranya mati di tenggorokan.
Raka memperhatikan reaksi itu dengan mata berkilat. “Kenapa diam, hm?” bisiknya dengan nada tajam.
“Bukankah itu sikap paling tepat untuk seorang wanita sepertimu? Diam, tunduk, dan menerima. Karena memang begitulah posisimu sekarang di hadapanku.”
Sejurus kemudian, Raka meletakkan batang rokok itu di nakas lagi, lalu mendekat lebih jauh.
Tubuhnya hampir menempel pada tubuh Aruna. Napas hangatnya menerpa wajah wanita itu.
Tangan besarnya terulur, mencengkeram dagu Aruna dengan lembut tapi menekan, memaksa wanita itu menatap matanya.
“Lihat aku, Aruna,” desisnya. “Tatap mataku. Rasakan betapa rendahnya dirimu saat ini di hadapanku.”
Aruna tidak kuasa menahan air matanya lagi. Bulir itu jatuh, menuruni pipinya, membasahi jemari kasar Raka yang masih menahan dagunya.
Raka terkekeh pelan. “Menangis? Kau kira air matamu masih punya harga? Tidak, Aruna. Air mata itu tidak akan mengubah kenyataan.”
Perlahan, tangannya bergeser dan menyusuri pipi Aruna, lalu turun ke lehernya. Jemarinya yang kokoh meraba kulit halus itu dengan penuh kuasa. Aruna gemetar. Tubuhnya kaku, tapi ia tak mampu menggerakkan diri sedikit pun.
Raka menundukkan kepalanya, bibirnya mendekati telinga Aruna, napasnya berat dan panas.
“Aku ingin melihatmu tersiksa dengan posisimu sekarang. Kau yang dulu meninggalkanku … kini harus rela berdiri di sini, dengan tubuh yang bergetar, menungguku mempermainkanmu.”
Tangan Raka kini melingkar di pinggang Aruna dan menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya.
Aruna terperangkap di dadanya yang bidang, tubuhnya menegang, sementara Raka membiarkan hidungnya menghirup aroma rambut Aruna yang lembap.
Aruna mencoba menahan diri, matanya terpejam, jantungnya berdegup liar. Ia tidak berani mendorong, tidak juga berani melawan.
Raka menurunkan kepalanya, bibirnya menyentuh sudut bibir Aruna, sekilas saja, seperti sebuah provokasi yang membuat tubuh wanita itu tersentak. Ia terkekeh lagi, puas dengan reaksinya.
Dengan perlahan, Raka menelusuri garis rahang Aruna dengan bibirnya, turun ke leher, memberi ciuman singkat yang membuat wanita itu menahan napasnya dengan keras.
Sentuhan itu panas, membuat tubuhnya bergetar hebat.
Namun ….
Tok tok tok!
Sebuah ketukan kasar di pintu kamarnya membuat keduanya menoleh kompak. Mata Aruna membola dan menatap Raka dengan cemas.
“Siapa itu?” bisik Aruna tegang.
Usia kandungan Aruna sudah memasuki sembilan dan kini wanita itu sedang berbaring di tempat tidur, tangannya menggenggam selimut, dan wajahnya meringis menahan nyeri yang datang bergelombang.“Raka,” bisiknya pelan, dan napasnya tersengal. “Sepertinya … waktunya sudah dekat.”Raka yang semula sedang menyiapkan susu hangat di meja, langsung berbalik dengan mata membesar.“Sekarang?” suaranya meninggi, tapi cepat-cepat ia menenangkan diri. “Oke, oke … tenang, aku di sini.”Ia berlari ke lemari, menarik koper yang sejak dua minggu lalu sudah disiapkan berisi perlengkapan rumah sakit, pakaian bayi, dan dokumen penting.Tangannya sedikit gemetar saat memeriksa ulang semuanya. “Handuk kecil? Ada. Selimut bayi? Ada. Oh Tuhan, aku lupa pampers ukuran newborn.”“Raka.” Suara Aruna memanggil lembut, di sela kontraksi. “Aku baik-baik saja. Jangan panik, ya?”Lelaki itu berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang kini tampak pucat tapi tetap berusaha tersenyum.Ia menarik napas panjang, menundu
Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari baru saja menembus celah tirai kamar mereka. Aruna duduk di tepi tempat tidur, memegangi perutnya sambil menarik napas panjang.Sudah tiga hari terakhir tubuhnya terasa aneh — mual setiap kali mencium aroma kopi Raka, pusing ringan, dan cepat lelah meski tidak banyak beraktivitas.Ia mencoba tersenyum menenangkan diri, tapi saat bangkit hendak berjalan ke kamar mandi, kepalanya berputar.“Aruna?” Suara Raka terdengar dari arah pintu.Lelaki itu baru saja selesai jogging dan terkejut melihat istrinya memegangi meja rias sambil menunduk. “Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat, menghampiri dengan wajah cemas.Aruna menggeleng pelan. “Entahlah … mungkin karena perut kosong,” gumamnya, mencoba terdengar ringan. Tapi ekspresi pucat di wajahnya membuat Raka semakin khawatir.“Tidak, ini bukan sekadar lapar,” ujarnya tegas. “Aku akan panggil dokter.”“Tidak perlu panik begitu, Raka.” Aruna mencoba menenangkan, tapi suaminya sudah mengambil kunci mobil.“Ki
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menerobos lembut melalui tirai tipis kamar mereka, menyingkap pemandangan halaman rumah yang basah oleh embun.Dari dapur terdengar suara gemericik air, dentingan sendok, dan aroma roti panggang yang baru keluar dari toaster.Aruna berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga kecil yang dulu dibelikan Raka.Rambutnya diikat asal dengan jepit besar, beberapa helaian terlepas menutupi wajahnya yang belum sepenuhnya berias. Tapi justru di situlah pesonanya—alami, lembut, dan begitu rumah.Di meja, ada sepiring telur orak-arik, potongan buah segar, dan dua cangkir kopi panas. Aruna menata semuanya dengan rapi sambil bersenandung pelan.“Wangi apa ini?” suara berat Raka terdengar dari arah ruang tengah.Aruna menoleh. Raka baru turun dari lantai atas, mengenakan kaus putih polos dan celana kain hitam, rambutnya sedikit berantakan, namun tetap tampan seperti biasa. Ia berjalan santai sambil mengucek mata, lalu berh
Sudah dua minggu berlalu dan kini mereka sudah kembali ke rumah.Mobil hitam itu berhenti di depan rumah yang sudah hampir dua minggu mereka tinggalkan. Langit sore itu berwarna lembut, cahaya matahari menembus pepohonan yang rindang di halaman depan.Dari balik kaca mobil, Aruna menatap rumah mereka—tempat segala hal dimulai, dan kini, tempat segalanya kembali utuh.Raka turun lebih dulu, lalu bergegas membuka pintu untuk Aruna. Ia menatap istrinya yang masih memeluk tas kecil di pangkuannya. “Sudah siap, Bu Mama?” godanya sambil tersenyum.Aruna terkekeh kecil. “Aku bahkan tidak sabar.”Belum sempat mereka melangkah ke teras, suara kecil yang familiar terdengar dari balik pintu. “Papaaa! Mamaaa!”Pintu terbuka lebar, dan sosok mungil berambut kuncir dua langsung berlari dengan kecepatan penuh ke arah mereka. Nayla.Aruna berjongkok, dan gadis kecil itu langsung menubruk pelukannya. “Mamaaa! Aku kangeeen!” serunya dengan suara bergetar. Aruna memeluk Nayla erat-erat, mencium rambut d
Sore itu, sinar matahari menembus jendela besar vila dan menciptakan warna keemasan di seluruh ruangan.Raka sedang duduk di balkon, membaca buku tipis sambil menikmati suara deburan ombak yang menenangkan.Sementara itu, Aruna sibuk menata rambutnya di depan cermin, mengenakan gaun santai berwarna putih.Hari mereka berjalan begitu damai. Tidak ada rapat, tidak ada telepon kantor, hanya mereka berdua dan ketenangan yang sudah lama mereka rindukan.Namun di balik keheningan itu, ada sesuatu yang terasa kurang — suara tawa Nayla yang biasanya memenuhi rumah.Aruna menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon.Tapi sebelum sempat menekan tombol panggil, layar itu tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di sana membuatnya tersenyum lebar.“Nayla. Video Call”Aruna segera menjawab panggilan itu. “Sayang!” serunya riang.Wajah kecil Nayla muncul di layar, pipinya chubby, rambutnya diikat dua seperti biasa.Ia tampak sedang duduk di ruang tengah
Pagi itu, vila yang mereka tinggali terasa begitu tenang. Hanya suara ombak lembut yang datang dari kejauhan, sesekali disertai desir angin yang menerpa tirai putih di balkon kamar mereka.Aruna masih meringkuk di tempat tidur, rambutnya berantakan dan wajahnya tampak begitu damai.Raka berdiri di dekat pintu, menatap pemandangan itu dengan senyum kecil. Ada rasa yang sulit dijelaskan setiap kali melihat Aruna dalam keadaan seperti itu—tenang, lembut, tanpa beban. Ia ingin pagi ini menjadi sesuatu yang istimewa.Tanpa membangunkannya, Raka berjalan pelan keluar kamar, menutup pintu rapat-rapat. Ia melangkah menuju dapur vila yang luas dengan aroma roti panggang yang samar. Di sana, seorang koki paruh baya sedang merapikan meja.“Selamat pagi, Tuan Raka,” sapa sang koki ramah. “Mau saya siapkan sarapan seperti biasa?”Raka mengangkat tangan cepat-cepat. “Tidak, tidak perlu. Kali ini saya ingin mencobanya sendiri.”Koki itu menaikkan alis. “Maksudnya, Anda mau memasak sendiri?”Raka men







