“Kau … sudah menikah lagi? Tapi, kenapa kau membawaku kemari? Bagaimana perasaan istrimu kalau tahu kau membawa wanita lain ke rumah ini?”
Banyak sekali pertanyaan yang Aruna lontarkan pada Raka karena panik dan cemas usai mendengar ucapan Raka tadi.
“Aku belum menikah lagi,” katanya singkat.
“Masuk,” katanya datar.
Aruna menelan ludahnya dan berjalan memasuki rumah megah itu di belakang Raka.
Begitu pintu utama terbuka, Aruna langsung terpukau melihat kemegahan rumah itu.
Dulu, saat mereka masih menjadi suami-istri, rumah yang mereka tinggali memang cukup besar. Namun, rumah yang kini ditinggali Raka dua kali lipat lebih besar.
Langkah kakinya bergema di lorong panjang berlantai marmer putih.
Lampu gantung kristal berkilau di langit-langit, sementara dinding dihiasi lukisan-lukisan klasik yang tampak mahal.
Aruna berjalan pelan mengikuti Raka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
Ia memandang sekeliling dengan hati bergetar.
‘Pantas saja,’ batinnya berbisik getir. 'Ternyata perbedaan kami sangat kontras sekali.'
Aruna hanyalah perempuan miskin dari keluarga sederhana. Sementara dia … pria kaya raya yang bahkan rumahnya saja laksana istana.
Begitu sampai di kamar, Aruna melangkah masuk. Kamar itu luas, dengan ranjang king size berkanopi, tirai sutra berwarna kelabu, dan balkon kaca yang menampakkan taman belakang.
Aroma maskulin memenuhi ruangan—wangi kayu manis dan cedar yang melekat pada Raka.
Jantung Aruna berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa kaku, langkahnya tertahan di ambang pintu.
Raka menoleh sekilas lalu mulai melepaskan jasnya. Dengan gerakan tenang, dia menggantung jas hitam itu di kursi lalu membuka kancing kemejanya satu per satu.
Aruna menelan ludahnya. Tangannya meremas ujung mantel yang dia kenakan.
Melihat Raka membuka pakaiannya membuat tubuhnya tegang.
Ingatan lama menyeruak—malam-malam ketika mereka masih saling mencintai, sebelum kebohongan memisahkan segalanya.
Namun tatapan Raka kini berbeda. Tidak ada cinta, hanya dingin dan amarah yang ada di dalam matanya.
“Jangan tegang begitu, Aruna,” ucap Raka tiba-tiba, suaranya menyelipkan sindiran pada wanita itu.
“Bukankah kau sudah pernah melakukannya dengan pria lain? Setidaknya itu alasan yang kau pakai ketika meninggalkanku dulu.”
Aruna terdiam mendengarnya. Hanya bisa menatap dengan raut wajah tegangnya.
Raka melangkah mendekat, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Aku penasaran, Aruna. Lelaki itu ke mana sekarang? Mengapa bukan dia yang menanggung biaya operasi Nayla? Apa dia sudah meninggalkanmu?”
Aruna memejamkan matanya sejenak. Kata-kata itu bagai belati menusuk jantungnya.
Dia ingin menjawab, ingin berkata bahwa lelaki itu hanyalah dusta yang dia ciptakan untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman keluarga Raka.
Namun dia tidak bisa. Lidahnya kelu, terperangkap antara kebenaran dan kebohongan yang sudah terlalu lama dia pertahankan.
“Aku … tidak ingin membicarakan itu lagi, Raka,” ucapnya lirih.
“Aku sudah berada di sini. Aku sudah menerima syaratmu. Jadi, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan padaku. Aku tidak punya banyak waktu. Nayla membutuhkanku di rumah sakit. Durasi operasinya tiga jam.”
Aruna melihat jam yang melingkar di tangannya. “Sudah dua jam berlalu. Aku harus pergi ke rumah sakit, Raka. Aku ingin melihat kondisi anakku.”
“Dia juga anakku, Aruna!” Raka menatapnya lama seakan menelanjangi batinnya.
Lalu dia tersenyum samar. “Kau ingin aku segera melakukannya, hm? Sudah tidak sabar ingin merasakan sentuhanku lagi?”
Aruna menggenggam tangannya sendiri, menahan gemetar yang menyelimutinya dengan erat.
Dia lalu mengangguk dengan terpaksa. “Ya.”
Namun bukannya mendekat, Raka justru membalikkan badannya.
Dia meletakkan jam tangannya di meja, lalu berjalan mengitari kamar dengan tenang. Sesekali matanya melirik Aruna, penuh dengan permainan.
Aruna semakin gelisah karena Raka terus mempermainkan dirinya padahal dia tidak punya banyak waktu.
Raka mendekat perlahan lalu mengangkat tangannya. Jari-jarinya menyentuh wajah Aruna, lembut namun penuh kuasa.
Namun ketika dia menunggu ciuman atau sentuhan lebih jauh, Raka justru berhenti. Ia hanya menatap dalam lalu tersenyum tipis tanpa menempelkan bibirnya.
Aruna terheran. “Mengapa … mengapa kau tidak melakukannya?” tanyanya kemudian.
“Jangan mengulur waktu lagi, Raka. Lakukan sekarang juga!”
Langkah Aruna terasa seperti berlari di tengah kabut tebal. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, seolah dunia menindih pundaknya.Begitu pintu ruang tunggu operasi terlihat, dia segera menghampiri sosok Maggie yang duduk gelisah di kursi panjang.“Maggie!” suara Aruna tercekat.Maggie sontak berdiri dan menoleh cepat ke arah Aruna. “Aruna … akhirnya kau datang.”Dia mengusap lengan Aruna dengan pelan. “Operasinya belum selesai. Nayla masih di dalam.”Aruna mengusap dadanya tengah mencoba meredam rasa panik yang kian menyesakkan.“Bagaimana? Apakah dokter bilang sesuatu? Apa ada harapan?” tanyanya dengan nada cemas.Maggie menggeleng lemah. “Belum ada kabar. Mereka masih berusaha sekuat tenaga. Aku hanya bisa berdoa, Aruna.”Aruna menelan ludahnya. Kakinya lemas dan akhirnya duduk di kursi tunggu.Kedua tangannya bergetar menutupi wajahnya. Air mata yang sudah kering itu kembali jatuh.“Semoga operasi anakku berjalan dengan lancar,” bisiknya lirih.Maggie memandanginya dengan tatapan c
Begitu pintu terbuka, tampak seorang wanita muda dengan gaun malam elegan berdiri di depan sana.Wajahnya cantik, tapi kini terhalang oleh amarahnya. Mata tajamnya langsung menatap Raka dengan penuh tuntutan.“Raka!” suaranya nyaring. “Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Sudah berkali-kali aku telepon! Apa yang kau lakukan di dalam sini?!” teriaknya penuh dengan amarah.Raka berdiri santai lalu menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu. “Aku sedang sibuk.”“Sibuk?!” Selina mendengus tak percaya.“Sibuk dengan siapa? Jangan bilang ada orang lain di dalam!” Ia mencoba mendorong pintu, namun Raka cepat-cepat menahan. Tubuhnya yang tegap menjadi penghalang sempurna.“Jangan pernah masuk ke kamarku tanpa izin,” ucapnya dengan nada dingin. “Tidak peduli siapa pun kau.”Selina terbelalak mendengar ucapan Raka. “Tidak peduli siapa pun? Aku ini tunanganmu, Raka! Tunanganmu! Apa kau sudah gila menolak aku masuk?!”Raka menajamkan tatapannya menatap sinis ke arah Selina. “Aku tidak peduli. Aku s
Raka terkekeh dengan suara beratnya. “Aku senang melihatmu memohon seperti ini,” bisiknya kemudian.Aruna menelan ludahnya. Rasanya ingin sekali mengambil alih dan menyentuh pria itu. Namun, dia tahan. Dia sudah sangat hina di hadapan Raka.Jika melakukan itu, Aruna akan semakin kehilangan harga dirinya di hadapan mantan suaminya itu.Raka menjauh dari Aruna dan justru mengambil sebatang di rokok di atas nakas.Aruna berdiri terpaku di dekat ranjang dan tubuhnya masih tegang meski kini Raka menjauh darinya.Sementara Raka bersandar pada kusen pintu balkon dengan sebatang rokok di antara jemarinya meski tak kunjung dia nyalakan.Keheningan itu terlalu panjang.Hingga akhirnya, Raka bersuara lagi. “Katakan padaku, Aruna,” ucapnya dengan nada dinginnya.“Siapa lelaki itu? Yang dulu kau sebut-sebut saat pergi dariku.”Aruna tersentak. Dadanya berdegup kencang begitu Raka membuka topik pembicaraan itu lagi.Ia menunduk dan menatap lantai marmer, tidak berani menatap Raka meski jarak mereka
“Kau … sudah menikah lagi? Tapi, kenapa kau membawaku kemari? Bagaimana perasaan istrimu kalau tahu kau membawa wanita lain ke rumah ini?”Banyak sekali pertanyaan yang Aruna lontarkan pada Raka karena panik dan cemas usai mendengar ucapan Raka tadi.“Aku belum menikah lagi,” katanya singkat.“Masuk,” katanya datar.Aruna menelan ludahnya dan berjalan memasuki rumah megah itu di belakang Raka.Begitu pintu utama terbuka, Aruna langsung terpukau melihat kemegahan rumah itu.Dulu, saat mereka masih menjadi suami-istri, rumah yang mereka tinggali memang cukup besar. Namun, rumah yang kini ditinggali Raka dua kali lipat lebih besar.Langkah kakinya bergema di lorong panjang berlantai marmer putih.Lampu gantung kristal berkilau di langit-langit, sementara dinding dihiasi lukisan-lukisan klasik yang tampak mahal.Aruna berjalan pelan mengikuti Raka yang berjalan beberapa langkah di depannya.Ia memandang sekeliling dengan hati bergetar.‘Pantas saja,’ batinnya berbisik getir. 'Ternyata per
“Tidak di sini. Aku tidak akan mengotori tempat kerjaku hanya untuk menyentuh tubuhmu lagi!”Raka mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya dan mengancingkan jas hitamnya.“Ikut aku!” ucapnya dan keluar dari ruangan itu.Aruna mengerutkan kening dan berjalan di belakang Raka. Entah mau dibawa ke mana dirinya, Aruna tidak ingin bertanya, tapi sebenarnya penasaran.“Masuk,” titah Raka begitu mereka tiba di basement.Aruna menoleh sebentar ke arah Raka sebelum masuk ke dalam mobil sedan hitam milik pria itu.Napas panjang dia tarik sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa banyak kata.Begitu pintu tertutup, suara mesinnya bergemuruh dan membawa mereka meluncur ke jalanan yang tampak sepi.Hening.Hanya suara ban melibas aspal basah dan dentuman halus musik klasik dari radio mobil. Raka menyetir dengan tatapan lurus ke depan, seolah Aruna tak ada di kursi sampingnya.Aruna menggenggam erat pangkuannya, jari-jarinya saling mengait. Perutnya terasa mual oleh gugup. Ia ingin bicara, tapi
Aruna bergegas pergi ke bank untuk mencairkan uang yang sudah diberikan oleh Raka. Awalnya dia ingin menulis dua ratus juta, sebagian untuk biaya perawatan anaknya.Namun, dia urungkan. Aruna tetap menuliskan nominal sesuai dengan keperluannya saja.Setelah beberapa menit berlalu, uang sudah ada di tangannya. Dia bergegas kembali ke rumah sakit untuk segera membayar administrasi biaya operasi sang anak.Hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja dia sudah sampai di sana. Aruna langsung membayar secara tunai uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.“Tolong, segera atur jadwal operasi anak saya,” pinta Aruna dengan nada memohon.Pelayan rumah sakit langsung mengangguk dan segera mengurus segala berkas yang diperlukan.Aruna menunggu dengan cemas di kursi tunggu. Kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang kini terasa begitu berat, seolah menyimpan seluruh harapannya.Sesekali dia melirik ke arah ruang perawatan anaknya. Dari balik kaca, terlihat tubuh mungil yang masih terbaring