"Aku merasa lebih baik setelah berendam."
Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab dari Emma. Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak. Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang: Emma: “Besok tolong datang pagi, Seren.” “Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.” “Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.” Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi. Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon. Seren menjawab, "Halo?" "Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa. "Iya. Aku baru selesai mandi." "Hm. Pokoknya, besok datanglah lebih pagi. Aku tidak ingin ada masalah dengan pemasok baru itu. Dan—" "—aku tahu. Rapat kecil pukul sepuluh, pelayan baru mulai kerja. Sudah aku catat," potong Seren cepat sambil menyandarkan dagunya pada bantal, malas beranjak dari tempat tidur. Di seberang telepon, Emma masih terdengar cerewet, tapi Seren sudah hafal pola bicaranya. Satu kalimat penting, sisanya omelan bercampur kekhawatiran. Emma bukan cuma sahabat lama, tapi juga satu-satunya orang yang benar-benar bisa dia percaya untuk mengurus kafe bersamanya. Mereka membangun tempat itu dari nol, dengan segala modal yang pas-pasan. Sementara kafe itu sendiri berada di lantai bawah rumah peninggalan ibunya, rumah yang dia tempati saat ini. "Bagus." Tapi suara Emma tiba-tiba menurun satu oktaf. Ada jeda yang agak lama sebelum dia bicara lagi. "Seren ... mengenai Theron." Seren memutar mata karena dia tahu arah pembicaraan ini. "Aku sudah tahu kau akan membahas ini lagi—" "Dia bukan orang baik. Aku tahu kau keras kepala, tapi aku serius. Laki-laki itu pasti menyimpan sesuatu. Jangan terlalu dekat dengannya dan jangan terlalu percaya." Seren diam sejenak, matanya menatap langit-langit kamar. "Kau terlalu paranoid, seperti biasa." "Dan kau terlalu mudah percaya," balas Emma. "Aku hanya tidak ingin kau terluka lagi." Seren menarik napas panjang, "Aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagipula, sejauh ini dia belum menunjukkan sesuatu yang mencurigakan." "Itu justru yang paling mencurigakan," gumam Emma. Seren mendengus pelan, "Dia bahkan butuh waktu tiga menit hanya untuk membuka tutup botol saus." "Tidak ada orang segoblok itu di dunia nyata,” geram Emma dengan nada frustrasi. "Emma—" "Aku sudah bilang. Semua terserah kau, dan keputusan ada di tanganmu. Tapi kalau terjadi sesuatu, jangan katakan aku tidak memperingatkanmu." Klik. Telepon terputus. Seren menatap layar kosong beberapa detik sebelum meletakkan ponsel di samping bantal. Pikirannya berkecamuk, tapi dia berusaha menepis semuanya. Dia membenamkan wajah ke bantal, tapi suara Emma tetap terngiang. Tentang Theron. Theron memang terasa terlalu manis, dan kadang terlalu misterius. Tapi entah kenapa, Seren merasa nyaman saat bersamanya. Seolah dengan membantu laki-laki itu, dia juga sedang menyembuhkan luka lamanya. Tanpa banyak pikir, Seren bangkit dari tempat tidur. Setelah mandi bersama Theron, rasa hangat di tubuhnya perlahan menghilang dan digantikan oleh rasa lapar. Jam makan malam hampir tiba. “Sup jamur hangat pasti cocok di cuaca sedingin ini,” gumamnya sambil melirik jam dinding. “Aku harus segera memasaknya.” Dia berjalan menuju dapur, tapi pandangannya sekilas terarah ke kamar mandi. Theron belum juga keluar. 'Lama sekali. Apa dia tenggelam di sana?' Seren merasa khawatir karena menurutnya dengan kekuatan yang dimiliki Theron, dia bisa mengosongkan air di bak mandi dengan hitungan detik. Namun, mengapa kali ini dia membutuhkan waktu yang cukup lama? Rasa khawatir mulai muncul. Pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan aneh. Apa dia pingsan? Atau terpeleset? Seren berjalan keluar dari dapur dan harus rela pergi ke kamar mandi demi memeriksa sendiri apa yang terjadi pada Theron. Tentu saja itu juga karena dia merasa lapar dan ingin segera makan bersamanya. "Theron? Apa kau baik-baik saja di dalam?" Tidak ada jawaban. Seren membuka pintu dengan hati-hati. Uap tebal masih memenuhi ruangan hingga mengaburkan pandangannya. Namun, dari balik kabut itu, matanya masih bisa menangkap bak mandi yang sudah kosong dan bersih, bertentangan dengan kekhawatirannya. Theron berdiri membelakangi Seren di balik kaca buram pancuran, air mengalir deras dari atas kepalanya, membasahi rambut dan tubuhnya yang tinggi. Suara air sepertinya cukup keras hingga Theron tidak mendengar panggilan tadi. Dari balik kaca, punggung Theron terlihat tegang. Bahunya naik turun, seperti sedang menahan napas ... atau "sesuatu" yang lain. Gerakan samar tubuhnya tampak berulang dan ritmis, hampir tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan benar. Dan Seren, tak terlalu memperhatikannya. “Theron, keringkan tubuhmu dan cepat keluar. Bantu aku memasak sup jamur!” Seren berbicara dengan lembut dan berbalik. Berkat uap air yang masih mekar di kamar mandi, pandangannya menjadi kabur. Dia tidak sempat melihat apa yang dilakukan tangan Theron di tubuh bagian bawahnya. *** Pagi di distrik pinggiran kota selalu sunyi sebelum deretan kedai buka. Tepat pukul delapan, aroma kopi mulai memenuhi jalan kecil itu, berasal dari rumah dua lantai bergaya klasik di ujung jalan. Dindingnya dipenuhi tanaman rambat, dengan jendela kayu tua—rumah peninggalan ibu Seren, yang kini jadi satu-satunya tempat ia pulang setelah diusir keluarganya. Lantai atas jadi ruang tinggal, lantai bawah ia sulap menjadi kafe bernama Kafe Tujuh Awan. Kafe kecil nan hangat, dengan meja kayu, rak buku lawas, dan lampu tembaga. Pagi ini, Seren membuka lebih awal, menata kue buatannya sambil menyeduh kopi. Theron muncul dari arah tangga dengan rambut hitamnya yang sedikit berantakan, mengenakan celemek bergambar roti panggang. Matanya yang jernih tampak masih mengantuk. “Semangat bekerja, Seren,” katanya polos. Seren menoleh sekilas dan hampir tertawa. “Ya, semangat bekerja juga.” Tak lama kemudian, pengunjung mulai berdatangan. Dan seperti biasa, beberapa pelanggan perempuan langsung duduk di dekat konter. Pandangan mereka kompak tertuju pada satu titik: Theron, yang sedang membungkuk di balik meja cuci dan sibuk mencuci gelas. “Astaga, dia cakep banget .…” “Baru kali ini aku lihat cowok seganteng itu cuci piring.” “Serius deh, aku bakal jadi pelanggan tetap.” Seren mengamati mereka sambil tetap fokus menggiling biji kopi. Pemandangan seperti ini sudah menjadi bagian dari rutinitas harian. Sejak Theron mulai membantu di kafe, jumlah pelanggan perempuan memang meningkat drastis. Masalahnya, Theron sendiri tidak menyadari dampak keberadaannya. Dengan wajah polos dan senyum kikuk, ia mencuci gelas seolah itu pekerjaan paling rumit di dunia. Gerak-geriknya kaku, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat menggemaskan di mata para pengunjung. Lonceng pintu berbunyi. Kali ini bukan pelanggan tetap, melainkan seorang gadis muda berambut pendek dengan ransel di punggung. Senyumnya cerah, langkahnya ringan. Matanya langsung menyapu ruangan. “Permisi! Aku Ivy! Kak Emma bilang aku bisa mulai kerja hari ini?” Seren menoleh dari balik mesin kopi, lalu mengangguk sambil memberi senyum tipis. “Iya, aku Seren, pemilik kafe ini. Selamat datang di Kafe Tujuh Awan.” Ivy mengangguk antusias. Tatapannya berkeliling penuh kekaguman. “Tempatnya lebih lucu dari yang aku bayangkan! Aroma kopinya juga enak banget, dan—” Mata Ivy berhenti. Lebih tepatnya, membeku. Theron yang sedang membalik papan menu tiba-tiba jadi objek pusat perhatian Ivy. “—dan … siapa dia?” bisik Ivy nyaris tanpa suara. Seren meraih celemek dari gantungan dan menyerahkannya pada Ivy, sengaja mengabaikan nada terkejut dalam suara gadis itu. “Itu Theron. Dia tinggal di sini dan bantu-bantu di kafe. Tapi jangan terlalu berharap bisa berbicara banyak dengannya. Dia agak pemalu kalau sama orang baru.” Theron menoleh dengan ekspresi bingung. “Aku tidak pemalu,” katanya pelan, “aku hanya ... lebih suka ngobrol sama Seren.” ***Kafe itu lengang sore itu. Hanya denting sendok dan suara kain lap yang bergesekan dengan permukaan meja. Seren membungkuk, mengelap meja dengan gerakan cepat dan kasar. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara tak panas.Di sudut matanya, sekilas ia menangkap bayangan seseorang bertubuh tinggi dan besar sedang berdiri di ambang pintu.Theron.Namun, Seren malah pura-pura tidak melihat. Ia mengencangkan ikatan celemeknya, lalu beralih ke meja berikutnya. Gerakannya menjadi lebih keras, hampir seperti ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat di atas permukaan kayu itu.Theron melangkah masuk dengan senyum kecil menggantung canggung di bibirnya. Di tangannya, ia membawa tas berisi kotak-kotak kecil bahan segar yang dia beli setelah menyelesaikan urusan di luar.Tapi langkahnya perlahan melambat. Ada sesuatu yang salah. Wajah Seren yang biasa menyambutnya dengan ketenangan dan lembut itu kini tampak tegang dan rapuh. Ada retakan tipis di mata Seren, seolah ada badai besar yang
Ivy terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, “Hah, kok jadi gemas, sih.” Seren menyadari bahwa tatapan Ivy tak pernah benar-benar lepas dari sosok Theron. Bahkan Ivy, yang baru masuk, tampaknya sudah terkena efek dari pesona pria lugu itu. “Baiklah, Ivy. Tugas pertamamu adalah bantu aku di dapur menyiapkan bahan untuk makan siang." Ivy mengangguk penuh semangat, "Siap, Kak Seren!" Namun, sebelum pintu dapur sempat menutup, suara langkah pelan menghentikan Seren. Theron mendekat dengan gugup dan ragu-ragu. “Seren ... aku ... mau keluar sebentar,” katanya seperti sedang berbisik. Seren mengangkat alis, “Keluar? Mau ke mana?” Theron menunduk, tangannya menggenggam ujung celemek, “Ada yang harus kulakukan. Tapi ... aku balik nanti.” Seren memandangnya sebentar. Wajah pria itu terlalu bersih dari niat bohong. Dia tidak mencurigainya. Rumah lama Theron—warisan dari pamannya yang baru meninggal beberapa bulan lalu—hanya berjarak dua blok dari sini. Sejak kehilangan satu-satunya keluarga
"Aku merasa lebih baik setelah berendam." Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab dari Emma. Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak. Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang: Emma: “Besok tolong datang pagi, Seren.” “Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.” “Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.” Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi. Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon. Seren menjawab, "Halo?" "Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa. "Iya. Aku baru selesai mandi." "Hm. Pokoknya, beso
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Melissa, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh
Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu. Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya de