Ivy terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, “Hah, kok jadi gemas, sih.”
Seren menyadari bahwa tatapan Ivy tak pernah benar-benar lepas dari sosok Theron. Bahkan Ivy, yang baru masuk, tampaknya sudah terkena efek dari pesona pria lugu itu. “Baiklah, Ivy. Tugas pertamamu adalah bantu aku di dapur menyiapkan bahan untuk makan siang." Ivy mengangguk penuh semangat, "Siap, Kak Seren!" Namun, sebelum pintu dapur sempat menutup, suara langkah pelan menghentikan Seren. Theron mendekat dengan gugup dan ragu-ragu. “Seren ... aku ... mau keluar sebentar,” katanya seperti sedang berbisik. Seren mengangkat alis, “Keluar? Mau ke mana?” Theron menunduk, tangannya menggenggam ujung celemek, “Ada yang harus kulakukan. Tapi ... aku balik nanti.” Seren memandangnya sebentar. Wajah pria itu terlalu bersih dari niat bohong. Dia tidak mencurigainya. Rumah lama Theron—warisan dari pamannya yang baru meninggal beberapa bulan lalu—hanya berjarak dua blok dari sini. Sejak kehilangan satu-satunya keluarga yang mengasuhnya, Theron mulai enggan tinggal sendirian. Dia lebih banyak menghabiskan waktu berkeliaran, hingga akhirnya tinggal bersama Seren. “Ambil sesuatu di rumah, ya?” tanya Seren pelan. Theron mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi hati-hati, dan jangan berbicara dengan orang aneh.” Theron mengangguk lagi lebih tegas dan matanya membulat penuh semangat. “Iya, Seren,” jawabnya patuh. Senyuman polos dengan binar jujur itu selalu membuat hati siapa pun melemah. Wajahnya bersih, terlalu tampan untuk lelaki yang tinggal di kota kecil seperti ini. Dan gerak-geriknya saat menggantung celemek, terlalu sempurna, penuh perhatian, dan ... manis. Lonceng kecil berdenting lembut saat Theron membuka dan menutupnya. Sementara Seren menoleh ke dapur, di mana Ivy masih berdiri menunggunya. Keluguan dan sikap patuh Theron, memang membuat hati siapapun sedikit tergetar, termasuk Seren dan Ivy. Tapi di balik wajah lugu dan langkah pelan itu, ada sesuatu yang berubah pada sorot matanya saat melangkah keluar. Sesuatu yang tidak biasa dan penuh arah. *** "Aku hampir menyeret mereka ke sini, Seren!" dengus Emma begitu pintu kafe berdenting dan aroma kayu manis menyambutnya. Seren, yang sedang mengelap meja, langsung menoleh dan mendekat. "Ada apa lagi, Em?" Emma meletakkan dua kantong belanja di meja dengan gerakan keras. "Negosiasi dengan pemasok itu berakhir kacau. Mereka benar-benar sialan!" Ivy, pelayan baru, menghampiri dengan dua cangkir kopi di tangannya. "Aku buatkan kopi untuk kalian, Kak Seren, Kak Emma." Seren tersenyum lembut, "Terima kasih, Ivy. Kamu cepat sekali belajar." Emma hanya mengangguk seadanya karena masih diselimuti amarah. Dia menarik kursi dengan kasar, lalu menjatuhkan dirinya duduk. "Emma, ceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Seren. Emma mencondongkan badan ke meja, "Pemasok kopi yang sudah kita sepakati tiba-tiba batal. Mereka pasti ditekan oleh pihak tertentu, hingga kontrak dibatalkan begitu saja." Seren membeku di tempat. Ivy, yang masih berdiri, perlahan duduk di seberang mereka sambil menatap khawatir. "Tekanan?" bisik Seren, walau dalam hatinya dia sudah tahu jawabannya. Emma mengangkat bahu, "Kalau bukan keluarga tirimu itu, siapa lagi? Mereka masih saja mengusikmu, bahkan setelah mengusirmu dari rumah." Suasana di kafe seketika terasa menyesakkan. Mesin espresso berdengung di kejauhan, tapi seolah tak ada yang benar-benar mendengarnya. Seren mengepalkan jemarinya di pangkuan, "Kenapa mereka tidak bisa membiarkanku?" Emma menggeram pelan, "Karena mereka ingin melihatmu jatuh. Bagaimana mereka bisa sejahat itu?" Seren menunduk, bulu matanya bergetar. Ada rasa pahit yang lama mengendap di dadanya, kini kembali mengalir perlahan. Lira Morgan, ibu tiri yang dulu memasang senyum palsu, tidak pernah menginginkan kehadirannya. Bagi Lira, Seren hanyalah noda dari masa lalu yang memalukan—anak dari istri pertama yang sudah lama dilupakan. Bahkan, ayah kandungnya juga tak pernah memedulikannya. Sejak kecil, Seren terbiasa berjalan di antara lorong-lorong luas rumah keluarga itu, membungkam diri, dan menjadi bayang-bayang agar tidak mengganggu "keluarga baru" yang sempurna. Dia tidak pernah diusir dengan kata-kata kasar. Tapi justru dengan sesuatu yang lebih dingin, yaitu pengabaian dan tatapan yang membuatnya merasa kecil. Mengumpulkan serpihan harga dirinya, Seren mengangkat kepala. "Kita harus cari pemasok baru secepatnya. Pemasok kecil yang mau bertumbuh bersama kita. Kita bangun jaringan sendiri." Belum sempat Emma menjawab, pintu kembali berdering. Kali ini suara hak tinggi terdengar mengetuk lantai kayu kafe. Seorang wanita elegan melangkah masuk, mengenakan mantel krem mahal yang jatuh rapi di tubuhnya, sepatu kulit mengilap, rambut bergelombang sempurna, dan aroma parfum mahal memenuhi udara seketika. Wanita itu berdiri di tengah kafe dengan postur penuh percaya diri, seolah-olah dia pemilik tempat ini. Seren membeku. Ivy yang baru saja hendak membawa tambahan kopi terhenti di tengah jalan, memandang bingung antara wanita asing itu dan Seren yang wajahnya tiba-tiba pucat. Emma bangkit dari kursinya dengan cepat seolah siap menghadapi sesuatu. Wanita itu melepas kacamata hitamnya perlahan, memperlihatkan sepasang mata tajam penuh ejekan yang begitu Seren kenal. "Seren," sapa wanita itu. Suaranya dingin dan manis seperti racun yang dilapisi gula. "Aku dengar kau membuka kafe kecil? Jadi seperti ini penampakannya ...." Seren menelan ludah, "Melissa." Melissa Morgan—saudari tirinya. Yang dulu berdiri di tangga marmer rumah mereka dengan gaun mahal dan senyum mengejek. Sekarang ... dia berdiri di hadapannya dan menatapnya seolah semua usahanya di kafe ini adalah sebuah lelucon kecil yang patut dikasihani. "Aku heran kenapa Ibu masih terus mengawasimu dan kafe busukmu ini. Tanpa melakukan apa-apa pun kafe ini pasti akan bangkrut," lanjut Melissa sambil melirik sekeliling dengan pandangan miris. "Tapi aku selalu kagum pada orang yang berani bermimpi tinggi meski kenyataannya ...," dia tersenyum sinis, "mereka dilahirkan untuk tetap di tanah. Menjadi sesuatu yang bahkan tak pantas dilihat." Seren mengepalkan jemarinya erat di sisi rok. Emma melangkah maju, "Kalau kau tidak ada urusan, sebaiknya kau pergi." Melissa tertawa pelan dengan penuh kesombongan. Dia membalik tubuh, tapi sebelum benar-benar meninggalkan mereka, dia berbalik lagi, "Oh, hampir lupa," ujarnya manis. "Aku bertunangan." Melisa melirik kuku-kukunya yang dipoles sempurna sebelum melanjutkan, "Dengan seseorang yang sangat berpengaruh. Mungkin kau pernah dengar namanya." Dia mendekat selangkah, cukup dekat sehingga Seren bisa mencium aroma parfum mahalnya. "Lucu, sebenarnya. Karena pria itu dulunya tunanganmu." Seren membelalak tanpa sadar. Dia tidak pernah bertemu langsung dengan pria yang dulu dijodohkan untuknya. Segala urusan pertunangan itu selalu diurus keluarganya, dibungkus dalam diam dan ketidakpedulian. Dia hanya tahu sedikit kalau pria itu pewaris keluarga yang sangat kaya. "Tentu saja, setelah kau dikeluarkan dari keluarga dengan segala kekacauanmu." Melissa mengangkat bahu tidak acuh, "seseorang harus mengambil peranmu, bukan? Dan siapa lagi kalau bukan aku?" Tatapannya menyapu Seren dari kepala hingga kaki, seolah Seren tak lebih dari debu yang menempel di sepatunya. Debu yang membuat matanya gatal dan ingin sekali dia singkirkan. "Pesanku untukmu ...." Melissa menyeringai. "Teruslah merangkak di tempat kotor seperti sekarang. Jangan pernah bermimpi kembali ke rumah. Bagi kami, kau sudah mati. Seperti tikus busuk yang dibuang ke selokan. Kau tak diinginkan dan tak pernah dicari lagi." Emma melangkah maju, matanya menyala marah. "Keluar, sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran, Melissa." ***Kafe itu lengang sore itu. Hanya denting sendok dan suara kain lap yang bergesekan dengan permukaan meja. Seren membungkuk, mengelap meja dengan gerakan cepat dan kasar. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski udara tak panas.Di sudut matanya, sekilas ia menangkap bayangan seseorang bertubuh tinggi dan besar sedang berdiri di ambang pintu.Theron.Namun, Seren malah pura-pura tidak melihat. Ia mengencangkan ikatan celemeknya, lalu beralih ke meja berikutnya. Gerakannya menjadi lebih keras, hampir seperti ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat di atas permukaan kayu itu.Theron melangkah masuk dengan senyum kecil menggantung canggung di bibirnya. Di tangannya, ia membawa tas berisi kotak-kotak kecil bahan segar yang dia beli setelah menyelesaikan urusan di luar.Tapi langkahnya perlahan melambat. Ada sesuatu yang salah. Wajah Seren yang biasa menyambutnya dengan ketenangan dan lembut itu kini tampak tegang dan rapuh. Ada retakan tipis di mata Seren, seolah ada badai besar yang
Ivy terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, “Hah, kok jadi gemas, sih.” Seren menyadari bahwa tatapan Ivy tak pernah benar-benar lepas dari sosok Theron. Bahkan Ivy, yang baru masuk, tampaknya sudah terkena efek dari pesona pria lugu itu. “Baiklah, Ivy. Tugas pertamamu adalah bantu aku di dapur menyiapkan bahan untuk makan siang." Ivy mengangguk penuh semangat, "Siap, Kak Seren!" Namun, sebelum pintu dapur sempat menutup, suara langkah pelan menghentikan Seren. Theron mendekat dengan gugup dan ragu-ragu. “Seren ... aku ... mau keluar sebentar,” katanya seperti sedang berbisik. Seren mengangkat alis, “Keluar? Mau ke mana?” Theron menunduk, tangannya menggenggam ujung celemek, “Ada yang harus kulakukan. Tapi ... aku balik nanti.” Seren memandangnya sebentar. Wajah pria itu terlalu bersih dari niat bohong. Dia tidak mencurigainya. Rumah lama Theron—warisan dari pamannya yang baru meninggal beberapa bulan lalu—hanya berjarak dua blok dari sini. Sejak kehilangan satu-satunya keluarga
"Aku merasa lebih baik setelah berendam." Seren menggulung rambutnya dengan handuk seadanya, lalu menjatuhkan diri tengkurap ke atas kasur. Tubuhnya masih hangat dari air, dan aromaterapi yang diberikan Theron masih tercium samar. Dia meraih ponselnya dan menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab dari Emma. Pesan yang belum dibaca? Cukup banyak. Dia membuka chat Emma lebih dulu. Beberapa pesan singkat terpampang: Emma: “Besok tolong datang pagi, Seren.” “Ada pengiriman bahan dari supplier baru, aku mau kamu cek kualitasnya.” “Dan tolong jangan lupa, kita punya meeting kecil jam sepuluh. Pelayan baru juga mulai kerja.” Seren mendesah pelan. Baru saja merasakan kedamaian setelah berendam, sekarang sudah dihadapkan pada rutinitas kafe lagi. Layar ponsel menyala kembali. Ternyata Emma yang menelepon. Seren menjawab, "Halo?" "Halo. Baru melihat pesanku?" Suara Emma terdengar cemas, tapi tetap tegas seperti biasa. "Iya. Aku baru selesai mandi." "Hm. Pokoknya, beso
Meskipun sebentar dan langsung menutup mata, Seren merasa sangat tidak nyaman. “Theron, duduk!” perintahnya, mencoba meniru nada Melissa, saudara tirinya, ketika menyuruh pelayan. Tubuh besar Theron sudah meringkuk di bangku dekat wastafel. Pose itu membuatnya terlihat seperti beruang kutub di kebun binatang yang besar, tapi jinak. Dengan gerakan kasar, Seren merobek kaus yang menempel di dada Theron. Namun, pandangannya jatuh pada punggung pria itu. Bukan hanya satu dua. Seluruh permukaan punggung Theron dipenuhi jaringan parut, memanjang dan bercabang seperti akar pohon mati yang merambat di kulit. Satu garis putih lurus melintang vertikal di sepanjang tulang belakang, begitu dalam dan rapi hingga menyerupai luka tusukan. Jemari Seren terulur tanpa sadar, menyentuh bekas luka itu perlahan. “Kau pernah ditikam?” Theron menggerakkan kepala, “Jatuh … di hutan.” Alis Seren berkerut, “Jatuh di hutan bisa membuatmu begini?” Suaranya tak percaya. “Sampai satu punggungmu penuh
Ketika melihat bibir lembut dan erotis milik Theron yang baru saja menyenangkannya, Seren melanjutkan kebohongannya yang tak tahu malu. "Ha, terima kasih, Theron. Racun Fiuh! Menurutku semuanya sudah keluar. Aku selamat berkatmu.” "Ah, aku lega kalau begitu." Dengan wajah santai, Theron menjawab sambil tersenyum. Matanya begitu jernih, tidak tahu apa-apa. Seren mengusap wajah Theron yang polos. Saat ini, rasa bersalah yang membanjiri. Hati nuraninya yang telah dia buang sebelumnya, kembali mengungkapkan keberadaannya. 'Apa yang telah aku lakukan pada anak baik ini?' Seren mulai tersadar, meski sudah terlambat. Dia mungkin akan tetap membuat pilihan yang sama jika kembali di waktu sebelumnya. Dan pada akhirnya, dia akan meratapi dan menyalahkan dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba, satu sisi hati Seren bergetar cemas. Theron adalah orang yang tidak suka keberadaannya diketahui. Dia tidak suka berbaur dan cenderung tidak mengucapkan sepatah kata pun di depan orang lain. Namun, ke
Seperti yang diharapkan, Theron, selalu menjawab ucapan Seren dengan patuh. Meskipun wajahnya gelisah saat memperhatikan Seren yang sejak tadi menghela napas sambil berpikir keras, dia mendekat tanpa ragu. Theron menyandarkan kepalanya ke paha Seren sambil menatapnya. Tingkahnya begitu polos dan jinak seperti seekor Tibetan Mastiff yang duduk di dekat kaki majikannya. Berkat itu, hati nurani Seren yang kecil semakin tersentil. Sejenak ia teringat tentang dirinya di masa lalu yang tampak seperti Theron saat ini, membuatnya sedikit kesal karena saat itu ia tidak bisa memberontak, dan kini Theron juga tidak memberontak, sama sepertinya. Namun, rasa muak itu justru membuat Seren semakin dimabuk keserakahan. Keputusan sudah dibuat. Jelas, Seren tidak akan lagi goyah. Seren yang telah dengan mudah membuang sisa hati nuraninya, tiba-tiba memegang perutnya sambil memasang ekspresi kesakitan, “Oh, owww! Aku sekarat!” “Seren, ada apa? Di mana yang sakit?" Theron mengangkat kepalanya de