Anita tersenyum tipis. Meski tak bisa bersenang-senang dengan Zane, setidaknya dia masih bisa bersenang-senang dengan uangnya.“Aku akan selalu menantikan teleponmu, sayang,” ujar Anita sambil memeluk Zane dari belakang.Entah kenapa, pelukan itu membuat Zane merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang berbeda. Tidak seperti biasanya.Dengan pelan, Zane menurunkan tangan Anita dari tubuhnya dan berjalan ke kursi kerja.“Ya, aku akan menghubungimu secepatnya,” katanya tanpa menoleh, lalu mulai membaca berkas-berkas di mejanya.“Baiklah… aku pergi dulu, sayang,” pamit Anita, tapi hanya mendapat anggukan dingin dari Zane.Saat Anita membuka pintu untuk pergi, Belvan masuk ke ruangan—tanpa menoleh sedikit pun ke arah Anita.Belvan memang tidak pernah menyukai wanita itu. Tapi selama Zane menyebut Anita hanya sebagai boneka mainan, ia tak keberatan dengan kehadirannya.Pintu tertutup."Tumben dia pulang cepat," sindir Belvan, mengingat mereka sempat naik lift bersama menuju ruangan direktur utam
“Kau jahat, Zane…”Valerie mengusap air mata yang mengalir tanpa permisi di pipinya.“Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?” lirihnya dalam hati, penuh sesak.Ia menarik napas panjang—sebanyak yang bisa ia kumpulkan—lalu mengembuskannya perlahan, disertai isakan yang tertahan. Kalimat Zane yang menyatakan tak ingin memiliki anak darinya terdengar begitu kejam di telinganya.Valerie memang tidak mencintai Zane. Bahkan bisa dikatakan ia membenci pria itu. Tapi kenyataannya, mereka telah terikat dalam pernikahan.Kalau bukan dari suaminya sendiri, dari siapa lagi ia akan memiliki anak?Bagi seorang perempuan, kodratnya seakan baru utuh saat mampu mengandung dan melahirkan. Tapi suami yang kini sah menjadi pasangan hidupnya justru berkata terang-terangan bahwa ia tak ingin terbebani oleh kehadiran seorang anak.“Dia memberiku status sebagai Nyonya Zane Hardata… tapi sekaligus merampas hakku sebagai seorang ibu. Tuhan… aku harus bagaimana?”Ucapan Zane benar-benar menghantam Valerie den
“Apa kau mencintai Belvan?” tanya Zane dengan wajah tenang."Untuk apa dia menanyakan itu sekarang?! Sungguh menyebalkan!" sungut Valerie dalam hati, mendidih oleh kesal yang nyaris tak tertahankan."Aku juga akan menanyakan hal yang sama. Kita lihat saja bagaimana reaksinya," tukas Valerie sambil menyunggingkan senyum sinis ke arah Zane.“Apa kau mencintai Anita?” balas Valerie dengan nada datar namun menusuk.“Kau tak perlu ikut campur urusanku dengan Anita. Apa pun hubungan yang aku miliki dengan wanita itu, tak akan pernah mengusik posisimu sebagai Nyonya Zane Hardata. Posisi itu hanya untukmu,” jawab Zane tenang, tanpa ragu.“Heh…” Valerie mendengus kesal mendengar ucapan Zane. Sekali lagi, tanpa sadar, pria itu telah merendahkan harga dirinya.“Pertama, kau tak ingin aku ikut campur urusanmu dengan pacarmu, Anita, tapi kau justru ikut campur dalam urusanku dengan Belvan!Kedua, kenapa kau begitu percaya diri, Tuan Zane Hardata? Apa kau pikir aku begitu menginginkan posisi itu? L
“Aaa... Aaaow!” jerit Valerie sambil menekuk kakinya. Organ intimnya, yang sebenarnya masih belum pulih sepenuhnya, terasa nyeri akibat dorongan kasar dan pemaksaan dari tubuh Zane yang memperlakukan tubuhnya semena-mena.Awalnya, Zane tak menggubris jeritan Valerie dan tetap melanjutkan aktivitasnya menciumi lehernya. Namun, semakin lama, suara Valerie semakin keras.“Aauww!!” pekiknya, tubuhnya menegang.“Valerie! Valerie!! Kau kenapa?!” tanya Zane panik, melepas pelukannya dan kini hanya memegang bahu Valerie.“Auww!!” Valerie tak berkata apa-apa. Ia hanya menjerit sambil memegangi bagian atas pahanya.“Astaga!” Zane segera menggendong Valerie dan membawanya ke ruang istirahatnya.Ia membaringkan Valerie di atas tempat tidur besar di ruangan itu.“Di sini yang sakit?” tanyanya polos sambil meletakkan tangannya di atas bagian pribadi Valerie. Meski terhalangi rok yang Valerie kenakan, tetap saja Valerie merasa ingin menampar wajah Zane yang dengan seenaknya menyentuh bagian sensitif
“Makasih ya, Belvan,” ucap Valerie ketika mereka tiba di depan meja kerjanya.“Gak masalah, Valerie. Sekalian ke kantor,” jawab Belvan dengan senyum bahagia.Matanya menatap wajah Valerie yang terlihat berbeda pagi ini. Begitu cerah, begitu berseri.Apakah itu karena ia telah menghabiskan malam bersama Zane sebagai sepasang suami-istri? Atau karena pagi ini mereka berangkat ke kantor bersama? Batin Belvan bertanya-tanya.Belvan tahu—ia seharusnya hanya melihat Valerie sebagai istri sepupunya kini, tidak lebih. Namun salahkah bila hatinya belum bisa sepenuhnya tunduk? Masih ada bagian dari dirinya yang memandang Valerie sebagai seorang wanita. Bukan bagian dari keluarga.Sementara itu, Zane rupanya sudah berdiri di depan pintu ruang kerjanya sejak tadi. Matanya mengamati lekat-lekat interaksi antara Valerie dan Belvan.Zane tidak buta. Ia jelas melihat cara mereka saling menatap. Tatapan yang tak bisa disembunyikan: seolah ada cinta, dan kerinduan di sana.Tiba-tiba, dada Zane terasa n
“Aku rasa, aku bisa membagi dua ruangan ini. Di sana, ruang ganti pakaian. Di sebelah sini, akan kujadikan ruang tidurku. Jadi aku tak perlu lagi satu ranjang dengan pria mesum itu,” tukas Valerie, bangga dengan ide brilian yang menyelinap di kepalanya.“Sepulang kerja nanti, akan kusulap ruangan ini jadi kamarku. Malam hari, begitu Zane selesai berganti pakaian, akan kukunci dari dalam. Pagi-pagi tinggal kubuka,” lanjutnya antusias. Setidaknya, ada hal yang bisa membuat paginya terasa sedikit menyenangkan.Valerie pun melangkah keluar dari ruangan itu.Begitu membuka pintu, pandangannya langsung tertuju ke arah tempat tidur mereka semalam. Kosong. Zane tidak ada di sana.Ia segera memindai seluruh penjuru kamar, namun tetap tak ditemukan tanda-tanda kehadiran pria itu.“Mandi, mungkin?” gumamnya dalam hati, seraya melirik ke arah kamar mandi. Tapi pintunya terbuka lebar.“Sepertinya bukan di kamar mandi juga,” ucapnya, lalu mulai berjalan ke arah pintu keluar.“Kau mencariku, Valerie?