Valerie membuka pintu kamarnya dengan pelan. Walaupun tidak berniat mencari keberadaan Zane, matanya secara refleks menyapu ruangan, melirik ke sana kemari. Tapi Zane tidak terlihat di dalam.“Apa dia mandi?” gumam Valerie, menutup pintu perlahan.Ia menajamkan pendengaran, mencoba menangkap suara air dari kamar mandi. Tapi tidak ada bunyi apa pun. Sunyi.“Tidak terdengar suara orang mandi…” bisiknya, melangkah menuju ruang ganti pakaian.“Heem… mungkin dia ke ruang kerjanya,” lanjut Valerie, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin Zane memang tidak kembali ke kamar, melainkan singgah ke ruang kerja terlebih dahulu.Tanpa ragu, Valerie masuk ke ruang ganti pakaian. Ia mengunci pintu dari dalam, seperti biasa, karena akan berganti pakaian. Ruangan itu seharusnya kosong. Ia tidak berpikir dua kali.Dengan gerakan cepat, Valerie mulai melepaskan pakaiannya satu per satu. Hanya penutup inti tubuhnya yang tersisa. Ia merasa aman, karena dia merasa sendiri di kamar itu.Namun satu hal yang
Supercar McLaren P1 berwarna kuning-hitam itu meluncur mulus ke area parkir luar mansion keluarga Hardata. Mesin mendengkur pelan, elegan, sebelum akhirnya berhenti sempurna.“Heemm... sini aku bantu,” ujar Zane sambil mencondongkan tubuh ke arah Valerie, tangannya terulur untuk membuka seatbelt Valerie.“Tidak perlu. Aku bisa melepaskan ini sendiri,” jawab Valerie cepat, sedikit panik.Ia tidak ingin berada dalam jarak yang terlalu dekat dengan Zane. Sepanjang perjalanan tadi saja jantungnya sudah berdentum tak karuan, terutama saat melihat betapa cool-nya Zane menyetir. Apalagi waktu parkir mundur tadi—auto meleleh Valerie dibuatnya.“Tapi aku memaksa,” balas Zane, tak peduli dengan penolakan Valerie. Tangannya tetap menanggalkan seatbelt Valerie.“Deg...” Jantung keduanya seolah saling menyapa dalam diam.“Ehm... terima kasih,” ucap Valerie cepat, nyaris terbata.Saking gugupnya, Valerie lupa bahwa pintu mobil Tama itu terbuka ke atas, bukan ke samping.“Ke atas...” ujar Zane pelan
Sepanjang perjalanan itu, tak satu pun dari Valerie dan Zane yang berinisiatif membuka pembicaraan. Keduanya hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, ditemani alunan lagu cover dari Tama. Ya, adik Zane itu memang hobi meng-cover lagu dan merekamnya. Bahkan Tama memiliki studio musik pribadi di mansion keluarga mereka.Perlahan, suara Tama mulai menghipnotis Valerie dan Zane. Lagu yang diputar adalah “Someone You Loved”—dinyanyikan dengan suara lembut dan penuh emosi khas Tama. Liriknya mengalir, menyentuh ruang-ruang sunyi dalam hati mereka.I need somebody to heal, somebody to know, somebody to have, somebody to hold... I let my guard down, and then you pulled the rug...Alunan itu membawa mereka kembali ke momen di tepi laut, saat mereka bicara hati ke hati di bawah langit senja.#Flashback OnZane berdiri tepat di depan Valerie, menatap mata bening milik wanita yang kini berstatus istrinya. Ia ingin meraih tangan Valerie, tapi Valerie justru menarik tangannya menjauh.Zan
"Valerie, aku undur diri dulu," ucap Anne sambil mencium pipi kiri dan kanan Valerie dengan hangat."Zane, Belvan... aku duluan," tambahnya, melambaikan tangan sebelum berbalik."Elka, ayo..." ajak Anne pada sepupunya, yang masih berdiri mematung.Elka melangkah pelan, lalu menepuk pundak Belvan. "Aku duluan, Belvan," katanya, tanpa sedikit pun menyapa Zane."Valerie, aku duluan. Sampai jumpa lagi," ucap Elka, mengulurkan tangan untuk berjabat."Ya... sampai jumpa lagi," jawab Zane, mengambil alih dan menyambut jabatan tangan Elka dengan wajah yang jelas tak ramah.Elka menggenggam tangan Zane sekuat tenaga, dan Zane, tentu saja, tidak tinggal diam. Ia balas genggaman itu dengan kekuatan yang sama. Otot-otot tangan mereka menegang, mata saling menatap tajam, seolah sedang bertarung dalam diam.Semua orang yang menyaksikan hanya bisa geleng-geleng kepala. Tingkah Zane dan Elka benar-benar seperti bocah yang berebut mainan."Kalau kau sudah selesai, Elka, maka segera susul aku," ujar An
"Anne... bagaimana keadaan Tama?" tanya Belvan, suaranya pelan namun penuh perhatian."Dia akan segera membaik," jawab Anne, singkat, nada suaranya tenang tapi lelah."Anne, terima kasih," ucap Valerie, menatap Anne dengan tulus."Anytime, Valerie," balas Anne, senyumnya tipis namun hangat.Dari kejauhan, mereka melihat sosok yang tak asing berjalan mendekat. Frendi Dedusto muncul bersama beberapa temannya, wajahnya masih bonyok, sisa dari perkelahian semalam."Wah... pantas saja aku tidak melihat kalian di pesta. Ternyata kalian semua berkumpul di sini," Sapa Frendi, mencoba terdengar santai meski senyumnya terlihat canggung.Matanya sempat melirik Valerie, namun cepat berpaling begitu menyadari Elka dan Belvan berdiri di dekatnya. Ia tahu batas. Atau setidaknya, ia mencoba mengingatnya."Dan... Anne, kenapa kau tidak terlihat di pesta semalam?" tanya Frendi, berusaha terdengar ramah.Anne menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan tenang, "Aku hanya datang untuk healing dengan caraku
Sesaat setelah Valerie dan Zane kembali dari perbincangan hati ke hati mereka, suasana di luar kamar terasa kontras dengan riuhnya pertengkaran Tama dan Anne di dalam. Di luar, hanya suara hempasan air laut yang terdengar jelas, menghantam tiang-tiang kayu penyangga dermaga. Sunyi. Tegang. Satu wanita berdiri di antara tiga pria yang mencintainya.Valerie berdiri diam, tapi matanya bergerak, memperhatikan Zane, Belvan, dan Elka bergantian. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Saat tatapannya jatuh pada wajah Zane dan Elka, ia baru menyadari sesuatu yang tak ia lihat sebelumnya—lebam-lebam di wajah mereka bertambah. Lebih banyak dari terakhir kali ia melihat mereka setelah perkelahian dengan Frendi dan kawan-kawannya.Saat ia berbicara dengan Zane semalam, Valerie terlalu larut dalam emosi dan topik pembicaraan mereka. Ia tak sempat memperhatikan wajah Zane dengan saksama. Tapi pagi ini, semuanya terlihat jelas."Wajah kalian kenapa?" tanya Valerie, tak mampu lagi menahan rasa penas