“Dad, can you explain it to her?!” seru Zane yang mulai frustrasi dengan kesimpulan-kesimpulan ngawur ibunya. Wajah sang ibu yang sangat cantik pastilah faktor utama sang ayah terikat hingga urat terkecil di dalam hatinya. Kalau kemampuan berpikir—huff—ibunya memang tidak pernah bisa diandalkan.Arka menatap putranya. “Katakan dengan jelas maksudmu, Zane!” seru Arka yang sebenarnya sudah bisa melihat taktik apa yang sedang dimainkan Zane.“Aku bersedia menikah dengan Valerie, asalkan Belvan juga menikahi Katerina, kakak Valerie, sebab aku tahu Belvan dan Katerina pernah menghabiskan malam yang panas bersama!” sebut Zane yang langsung mendapat serangan dari Belvan.“Malam yang panas? Kau kira aku dan Katerina main obor, huh, Zane?! Jangan seenaknya saja kau menuduhku!” protes Belvan sambil menarik kerah baju Zane.Bisa-bisanya Zane membuat masalah ini semakin kacau dengan membawa-bawa nama Katerina.Tapi tinju Belvan seakan hanya mengambang di udara, sebab tanpa sengaja ia melihat raut
“Aku tidak sedang membuka forum negosiasi, Zane!” kecam Arka.“Terserah nanti Ayah akan menamai apa yang aku lakukan ini. Tapi yang pasti, kalian semua di ruangan ini harus mendengarkanku dulu. Baru setelah itu, kalian bisa memaksaku menikah dengan wanita—” Hampir saja Zane menyebut Valerie dengan sebutan wanita murahan sekali lagi, andaikan Belvan tidak menatapnya dengan tatapan membunuh.Zane menelan salivanya dan melanjutkan perkataannya. “Ehem... jadi, dengarkan dulu apa yang akan aku sampaikan. Baru setelahnya kalian berkomentar,” jawab Zane sambil menyentuh ponselnya dari luar permukaan celana yang ia kenakan.“Emm... katakan, apa yang ingin kau tanyakan,” seru Arka dengan mata elangnya yang masih siap untuk mengawasi gerak-gerik Zane.“Cukup Ayah jawab pertanyaanku dengan ‘ya’ atau ‘tidak’. Ayah juga diperbolehkan menggunakan tangan dan kepala untuk membantu Ayah mengekspresikan jawabannya,” sela Zane dengan entengnya. Dia benar-benar merasa masalah ini sudah bukan sebuah masal
Tiga puluh menit pun berlalu...Zane memasuki ruang kerja ayahnya dengan langkah tertatih. Wajahnya babak belur, berlapis plester, seolah tiap luka adalah stempel dari malam yang brutal. Di belakangnya, Belvan menyusul—wajah kusut, mata merah, napas masih berat. Seperti kain lusuh yang digulung tanpa kasih, seminggu tak pernah disetrika.“Duduklah.” Suara Arka memecah sunyi. Berat, tajam, tidak mengandung simpati sedikit pun.Zane dan Belvan patuh. Duduk dengan jarak yang cukup untuk menandai status mereka: bukan saudara, bukan teman, tapi dua musuh yang dipaksa berbagi udara di ruangan yang sama.Arka memandangi Zane. Sesaat kemudian, tatapannya beralih pada Belvan.“Akulah yang memberi tahu Belvan tentang apa yang terjadi semalam.”Kalimat itu jatuh seperti batu ke permukaan air yang tenang.Zane membeku.“Apa?!” Kejutan yang menyelip rasa sakit merambat ke dalam pikirannya. Jadi... ayahnya sendiri yang menyulut amarah Belvan? Apa lagi rencana rubah tua itu sekarang?“Tak perlu terl
Malam itu akhirnya berlalu.Zane tidur tenang, tersenyum kecil dalam mimpi penuh siasat, puas dengan skenario licik yang telah ia tuliskan di dalam otaknya.Sementara Valerie... telah lebih dulu terlelap, tenggelam bukan dalam ketenangan, melainkan kelelahan batin yang menyayat—rasa sakit dan perih mengendap dalam jiwanya, bahkan saat tubuhnya tak lagi bergerak.Pagi menjelma perlahan.Mentari mulai bangkit dari ufuk, menyebarkan kilau hangatnya dengan murah hati, seperti senyuman semesta yang tak tahu luka manusia. Burung-burung bersahutan dari dahan ke dahan, dan embusan angin laut membelai dedaunan dengan kelembutan yang menipu. Langit bersih. Tanah damai.Hanya saja ketenangan di rumah Arka Hardata tidak bisa berlama-lama setenang dan seindah itu di pagi ini...“Bajingan kau, Zane!!!”Amukan Belvan memecah kedamaian. Tangannya menarik paksa selimut Zane, melemparkannya ke lantai. Tak cukup, ia menyeret kaki Zane hingga tubuh itu terpelanting jatuh dari tempat tidur.“Belvan??!!” Z
Zane pergi dengan wajah kesal. Ia lupa kalau ayahnya adalah mantan ketua komunitas pembunuh bayaran—segala cara dihalalkan asal misi tercapai.“Damn!!!” Tinju Zane menghantam samsak tinju di kamarnya.“Bisa-bisanya dia melakukan hal licik seperti itu padaku!!! Putranya sendiri!!” Zane kembali melayangkan tinjunya.“Licik dilawan licik!! Ingin aku menikahinya? Sampai kapan pun tidak akan terjadi!!” Zane menghujani samsak dengan pukulan bertubi-tubi.“Tunggu... benda apa itu?” Zane melihat sebuah tas wanita di kamarnya. “Jangan-jangan itu tas wanita murahan itu.” Ia memegangi samsak agar berhenti bergoyang dan menatap tajam ke arah tas milik Valerie yang tertinggal.Zane mendekat, mengambil tas itu, lalu membukanya sembarangan. Ia terus mengeluarkan isi tas dan melemparnya ke lantai seenaknya.“Wanita macam apa dia ini?! Lihat isi tasnya—semua perlengkapan makeup!!!” Seru Zane. Prasangkanya terhadap Valerie terasa semakin terbukti.“Kenapa tidak ada yang percaya kata-kataku!!!” Teriak Z
Arka mematung melihat sikap keras kepala putranya.Pikirannya langsung bergerak cepat. Jika dengan ancaman seperti tadi dia tidak bisa membuat putranya bertanggung jawab pada Valerie, itu artinya dia harus...Arka menegakkan tubuhnya, lalu tiba-tiba menggenggam dada sebelah kiri. “Zane… apa kau mau aku dan ibumu mati karena malu?” Suara itu meninggi, tangannya makin menekan dada seolah sedang meredam nyeri yang menyusup ke jantung.“Kalau aku tidak bisa mengancammu dengan menakut-nakuti melalui ancaman, maka aku akan mencoba menyentil baktimu sebagai seorang anak untuk membuatmu mengikuti keinginanku,” seru Arka dalam hati.“Aku tidak akan termakan sandiwaramu, rubah tua!” gumam Zane dalam hati.“Zane…” Napasnya dibuat putus-putus, suara tercekat. “Tolong… obatku. Di laci nakas itu. Cepat, Nak.”Zane memelototi Arka. “Obat? Memangnya sejak kapan Ayah punya riwayat sakit jantung?” Ketusnya, yakin ini tidak lebih dari sandiwara sang ayah.Secara, ayahnya punya tubuh ideal, rutinitas ola