Valerie tersenyum tipis melihat Zane yang kepedasan.“Bagaimana rasa cabai kiriman dari neraka jahanam, Zane?” gumam Valerie dalam hati.“Valerie!! Valerie!! Water, please!” seru Zane yang sudah tidak tahan dengan rasa pedas di mulutnya.Dengan senyuman super jahilnya, Valerie memberikan gelas yang berisi teh es itu pada Zane.“Biar nyahok sekalian!” gumam Valerie dalam hati.Zane mengambil minuman itu dan meminumnya sampai setengah gelas.Awalnya Zane merasa rasa pedas yang dirasanya menghilang, namun tak sampai sedetik kemudian, Zane kembali merasakan pedas di mulutnya.“Kenapa masih pedas?” batin Zane sambil mangap-mangap.“Katanya suka? Kok baru makan satu tusuk doang?” provokasi Valerie berikutnya sambil menarik daging-daging sate itu dengan giginya.Zane melihat Valerie yang memakan santai sate milik Valerie, jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati:“Kenapa dia sesantai itu memakan satenya? Bukannya aku memesan makanan yang sama dengan dirinya?” seru Zane dalam hati sambil men
Valerie mengambil bedak yang ada di dalam tasnya, lalu membuka bedak itu dan bertingkah seakan-akan dia sedang memperbaiki makeup-nya. Padahal, Valerie penasaran siapa pria yang dikatakan oleh pelayan tadi sedang mengikutinya.“Pakaian itu?” Valerie tersenyum miring. Valerie ingat itu adalah baju yang sama dengan yang Zane gunakan.“Untuk apa laki-laki itu mengikuti aku? Huh! Dia pasti masih memelihara dengan baik semua pikiran buruknya padaku!” seru Valerie dalam hati.“Aku akan membuatmu memakan sate tingkat neraka jahanam itu!”Valerie melihat pelayan tadi mengantarkan makanan ke meja Zane. Di tengah Zane berinteraksi dengan pelayan tadi, maka dengan cepat Valerie mengambil sate dan teh es-nya lalu bergegas pindah ke meja Zane.“Hai…!” sapa Valerie dengan wajah tak berdosa.“Kau!” seru Zane, terkejut karena tiba-tiba wanita yang diawasinya dari tadi malah saat ini duduk pas di sampingnya.“Wow... aku sungguh tidak menyangka kalau kita memang sudah ditakdirkan, Tuan Zane Hardata! Se
“Kalau begitu, aku harus menyelamatkanmu dari ini dulu,” ujar Sonya cepat sambil merebut gelas dari tangan Natasya sebelum sempat diteguk.Sonya menggandeng sahabatnya ke sofa. Ia menatap Natasya lekat-lekat.Wajah itu—wajah yang selalu membuat banyak pria kehilangan akal—terlihat sangat galau malam ini.Tapi Sonya tidak menepik bahwa Natasya memang tidak pernah puas dengan satu cinta. Bukan karena ia tidak tahu rasa syukur, tapi karena terlalu banyak yang bersedia menyerahkan dunia untuknya.“Andai aku punya seperenam saja dari kecantikanmu, Natasya…” ujar Sonya sambil terkekeh, “beeuh… habis semua pria di kota ini ku jadikan pijakan kakiku!”Kelakarnya yang selalu berandai-andai bila memiliki kecantikan seperti sohib karibnya- Natasya. Dan inilah saatnya Sonya untuk menelpon Frendi. Si empunya acara, yang dapat memberikan informasi yang dia dan Natasya butuhkan.“Hei, Frendi. It’s me, Sonya,” sapa Sonya cepat saat sambungan tersambung.“Hi girl! Tumben banget nelpon!” sahut Frendi,
“Kau hadir di pestanya Frendi besok, Natasya?” tanya Sonya, salah satu sahabat terdekatnya.“Entahlah…” jawab Natasya sambil menggulir laman gosip yang memuat berita terbaru tentang Zane.“Dia lagi?” tanya Sonya, lalu menjatuhkan dirinya di sandaran sofa tempat Natasya duduk.“Dia tetap tampan seperti biasa, kan?” sahut Natasya dengan senyum tipis, matanya terpaku pada foto Zane yang menghiasi sampul majalah pengusaha sukses.Natasya mengelus lembut permukaan majalah itu sebelum memeluknya erat. “I miss you...” bisiknya.“Kalau masih cinta, bilang saja!” celetuk Sonya cepat.“Dia sudah tak cinta aku lagi, Sonya,” ujar Natasya pelan, matanya masih menatap wajah Zane di sampul itu.“Siapa bilang? Buktinya, dia belum menikah sampai sekarang!” sahut Sonya sambil menyilangkan tangan di dada.“Tapi Zane sudah punya pacar. Kau tahu siapa dia,” Natasya bangkit, berjalan pelan menuju minibar di sudut apartemennya, lalu menuang anggur ke dalam gelas kristal.Ia meneguknya sekaligus. Pahit, hang
Valerie menatap undangan pesta di tangannya. Ia yakin—Zane pasti akan datang ke acara itu.“Aku pasti akan datang ke pesta ini,” gumamnya pelan, lalu memasukkan kembali undangan itu ke dalam tas—untuk kedua kalinya.“Belvan?” panggil Valerie cepat saat melihat pria itu keluar dari ruangan Zane.“Ya, Valerie? Kau memanggil ku?? Hmm- sepertinya kau lagi banyak kerjaan, ya?” tanya Belvan sambil berjalan mendekat ke mejanya.“Lumayan,” jawab Valerie, menghentikan sejenak aktivitasnya.“Oh iya! Tadi ke mana?” tanya Belvan santai.“Tadi?” Valerie mengulang, sedikit gugup.“Iya, tadi...” ulang Belvan. Ia mengingat saat tadi melewati ruang latihan para model, meja Valerie kosong. Tak terlihat bayangannya di sana.“Oh... tadi aku ke toilet,” jawab Valerie cepat. Bohong. Tidak mungkin ia menceritakan hal sebenarnya—tentang bagaimana Zane tadi mencumbunya tanpa izin, menyentuh bagian intimnya, hingga menyuruhnya minum pil pencegah kehamilan. Semua itu terlalu absurd untuk dicerna.Dan alasan "ke
Frendi baru ingat—masih ada satu undangan pesta lagi di saku jasnya. Entah kenapa, dia merasa sangat ingin memberikan undangan itu kepada gadis yang baru dikenalnya ini."Aku akan menjadikannya pusat perhatian malam itu. Zane pasti tak keberatan kalau dia jadi pemanis pesta," pikir Frendi, sedikit licik.“Hei... sibuk?” tanya Frendi pada Valerie yang tengah fokus merapikan jadwal Zane untuk minggu depan.Valerie mengangkat wajah, menatap Frendi sejenak lalu tersenyum kecil. “Lumayan,” jawabnya singkat sebelum kembali menunduk ke buku catatannya.“Weekend ini kau nggak ada lembur, kan?” tanya Frendi santai sambil menumpukan sikunya ke meja kerja Valerie.“Namanya juga weekend. Ya jelas libur dong,” sahut Valerie cepat, masih dengan mata yang tak lepas dari jadwal kerja.“Pas banget!” seru Frendi semangat sambil mengeluarkan undangan dari saku jasnya. “Datang ya. Ini pesta koktail yang aku adakan. Semua pengusaha muda top bakal hadir. Termasuk bosmu juga!”Frendi menyelipkan undangan di