“Benarkah?” Arka mengangkat alis, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Ia tak menyangka Belvan telah menemukan seseorang yang bisa men-counter sifat dominan Zane.
Zane memang putranya. Tapi kelakuannya... persis seperti ayah Arka—Zee—saat masih muda. Kalau Arka dulu dianggap bandel, maka Zee jauh melampaui itu. Dan kini, Zane seperti cetakan ulang dari generasi yang tak pernah belajar tenang. Semuanya serba amukan dan perintah. Seakan-akan dia lah maharaja di atas dunia ini.
“Benar, Paman.” jawab Belvan mantap. “Aku melihat sendiri bagaimana Valerie menentang semua ucapan Zane. Ia takut, jelas. Tapi ia tak berlindung di balik ketakutannya. Ia memilih berdiri menghadapi Zane, apapun risikonya.”
Belvan berbicara dengan hati-hati, tapi lugas. Setiap kalimatnya mengandung bujuk rayu yang nyata, karena ia tahu—inilah satu-satunya kesempatan untuk dapat menolong Valerie sekaligus menolong dirinya dari tugas yang bisa dikatakan tidak mungkin bisa dilaksanakan- mencari sekretaris yang tahan dengan sikap Zane.
Jadi ini lebih dari kisah perjuangan untuk mendapatkan kesempatan kedua bagi seseorang yang pantas.
Arka menyandarkan punggung. Ia mulai membolak-balik berkas milik Valerie.
“Wanita yang menarik.” gumamnya, tak lepas dari lembaran data di tangannya.
“Latar belakang pendidikannya juga bagus.” pujinya, nada suaranya memberi angin segar bagi Belvan.
Sesaat kemudian, Arka menutup berkas itu dan menatap Belvan dengan sorot tegas.
“Baiklah. Berikan kejutan untuk sepupumu itu.” ucapnya sambil menyilangkan tangan.
“Jangan bilang apa pun padanya. Tempatkan Valerie sebagai sekretaris Zane. Tapi ingat—jelaskan dengan detail seperti apa kelakuan sepupumu terhadap Valerie. Aku tak ingin ini terlihat seperti tipuan licik. Usia ku sudah tidak muda untuk bermain dengan cara-cara seperti itu.” Lanjut Aka.
Belvan mengangguk mantap. “Baik, Paman. Aku mengerti.”
Ia pamit dengan sopan, meninggalkan Arka yang kini kembali tenggelam dalam tumpukan kertas yang harus dia tanda tangani hari ini juga sebab esok ia resmi tidak lagi datang ke perusahan ini.
***
Sambil bergegas menuju ruangannya, Belvan terus memutar otak. Ia yakin Valerie akan menolak tawaran menjadi sekretaris Zane. Jelas, mereka sudah mendeklarasikan perang dingin kan tadi?
Jadi, Belvan harus menemukan cara halus… cara yang bisa “memaksa” Valerie menerima jabatan itu, tanpa membuatnya merasa dipaksa.
“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Maafkan aku, Paman Arka... kali ini aku harus sedikit licik.” gumamnya sambil berlari—langkahnya makin cepat karena antusiasme dan sedikit panik bercampur jadi satu.
Begitu pintu ruangannya terbuka, ia langsung memanggil:
“Valerie!!”
Matanya menyapu ruangan… kosong. “Mana dia? Tadi jelas-jelas aku suruh tunggu.” gumamnya, sambil menutup pintu dan melangkah ke luar.
“Wanita yang tadi di dalam, sudah pergi?” tanyanya pada sekretarisnya.
“Baru saja keluar, Tuan. Sepertinya menuju lift.”
Belvan mengumpat pelan. “Nih anak, disuruh tunggu malah main pergi!” ujarnya sambil berlari ke arah lift, kepalanya sibuk menghitung kemungkinan langkah Valerie.
Ia segera menghubungi sekuriti di lobi.
“Dengar baik-baik… jangan biarkan dia keluar gedung! Tahan dia dulu.” tegasnya, lalu menutup telepon dan meningkatkan kecepatan larinya.
Sesampainya di depan lift, tampak angka panel bergeser turun…
“Lobi,” gumam Belvan. “Benar dugaanku. Dia udah mau pergi.”
Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu tangga darurat dan mulai berlari turun.
Tangga demi tangga dilewati dengan napas berkejaran, dan satu pikiran menggema di kepalanya:
Harus lebih cepat. Harus sampai duluan. Harus cegah Valerie sebelum dia benar-benar pergi.
Dan untuk urusan lari... Belvan memang jagonya. Terutama lari dari tanggung jawab 🤭
“Valerie tidak perlu mirip seperti kamu untuk membuatku berpaling padanya,” ujar Elka yang tiba-tiba datang.Sonya auto diam. Dia mengunci rapat mulutnya untuk sesaat sebab Elka bukanlah pria yang bisa dia hadapi.“Hai... Elka, hai Anne!” sapa Natasya pada Elka dan Anne.Bukannya membalas sapaan Natasya, Anne malah memeluk Valerie. “Apa kabar, sayang?” sapa Anne pada Valerie.Anne dan Valerie memang sudah lama kenal, sebab wanita yang Anne itu adalah sepupu terdekatnya Elka. Jadi, kadang Elka selalu membawa Anne ke mana-mana.“Kau yang apa kabar, Anne? Wah, kau cantik sekali, Anne,” puji Valerie pada Anne.“Kau sendiri yang tambah cantik, Valerie,” balas Anne sambil menggandeng tangan Valerie.“Elka... aku dan Valerie pergi dulu, ya. Mungkin ada banyak hal yang ingin kau bicarakan dengan Natasya dan Sonya pagi ini?” cicit Anne yang langsung membawa Valerie menjauh.“Ya... pergilah bersenang-senang bersama Valerie,” ujar Elka pada sepupunya itu.Kini tinggallah Elka, Natasya, dan Sonya
#Flashback on “Hahaaha... Kakak ipar, kau benar!!” Tama pun ikut tertawa.“Tidak mungkin ada orang yang masuk lewat teras belakang kamar vila, secara kan itu lautan semua!” tukas Tama.“Masa iya, untuk masuk ke kamarmu saja dia harus pakai boat lalu menelusuri jalan bawah-bawah vila pelan-pelan dengan boat-nya agar tidak ketahuan. Memang sih, untuk volume airnya memungkinkan karena sedang pasang sebab malam purnama. Cuma ya tetap tidak mungkin saja kalau dipikirkan dengan seksama,” celetuk Tama.#Flashback off“Benar-benar tebakan yang jitu, Tama!!” ujar Valerie salut, karena apa yang ditebak Tama sembarangan memang benar adanya... Zane memang datang ke kamar ini memakai boat.Setelah tidak lagi melihat boat-nya Zane, Valerie kemudian berjalan ke pintu dan membuka pintu. Terlihat Tama yang sedang berjongkok sambil memeluk kedua lututnya.“Kak Valerie...” teriaknya sambil berlarian ingin memeluk Valerie.Valerie tercengang dengan apa yang ingin Tama lakukan. “Ini bocah kenapa? Kesambe
Dinginnya udara di dalam kamar membuat Zane memeluk erat sang istri. Bodoh kalau Zane meneruskan egonya untuk mengingkari hatinya yang terang-terangan mengatakan kalau dia telah jatuh hati pada wanita yang sedang tertidur cantik di sampingnya saat ini.Pukul-pukulan yang dia arahkan ke Elka malam itu sungguh membuat Zane menyadari bahwa apa yang dia rasakan pada Valerie bukanlah sebuah rasa kepemilikan, bukan karena Valerie adalah miliknya sehingga dia tidak ingin Valerie disentuh oleh orang lain, melainkan karena rasa cemburu yang terus terbakar saat Valerie bersama orang lain.Zane merasa hatinya yang sudah menjadi es selama tiga tahun ini akhirnya mencair karena seorang wanita yang bernama Valerie.Zane membuka pelan matanya. Lalu tersenyum. Dan sesaat kemudian mendaratkan sebuah kecupan selamat pagi di kening sang istri.Zane berjanji mulai hari ini dia akan berusaha membuat Valerie bukan hanya menerimanya sebagai suami tapi juga mencintainya sebagai pria.Cukup lama Zane menatap
“Brengsek si Belvan!” umpat Zane dari dalam kamar mandi, masih mengikuti perkembangan diskusi antara Belvan, Tama, dan Valerie.“Akan aku ingat ini, Belvan! Tunggu saja pembalasanku kelak,” geram Zane.“Ee... aku rasa begitu juga tidak apa-apa,” jawab Valerie sambil menggaruk-garuk alisnya.“Tapi kan di luar dingin, Kak Belvan? Apalagi saat ini kita berada di atas lautan,” protes Tama halus, teringat bagaimana udara dingin menyapa kulitnya saat ia migrasi dari kamarnya ke kamar Valerie.“Kalau kau merasa dingin, cukup hangatkan hatimu dengan mengingat-ingat mobilku yang akan menjadi milikmu setelah kita pulang dari sini,” ketus Belvan.“Issh, kau ini!” sungut Tama.“Cepat ambil selimut dan bantal di atas tempat tidur itu!” perintah Belvan pada Tama.“Kau pintar sekali, Kak Belvan! Paling tidak dengan bantal dan selimut itu, rasa dinginnya akan sedikit berkurang dan aku bisa tidur lebih nyenyak,” sahut Tama, gembira.“Memangnya siapa yang bilang bantal dan selimut itu untukmu? Itu untu
“Praaak...”Pintu itu pun roboh, dan tampaklah dua "superhero" sedang berpose di depan pintu kamar Valerie.“Apa yang kalian lakukan dengan pintu itu...” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Valerie saat melihat pintu kamarnya kini sudah tidak ada lagi.“Kakak ipar, kau baik-baik saja?” Tama berlari ke arah Valerie yang diam mematung memandangi mereka.“Hah?” jawab Valerie terbengong.“Kau baik-baik saja, Valerie?” tanya Belvan, yang kemudian juga masuk ke dalam kamar.“Hem... aku baik-baik saja. Tapi sepertinya pintuku lah yang tidak baik-baik saja,” jawab Valerie, masih menatap lurus ke arah pintu kamarnya.Belvan dan Tama pun menoleh ke belakang, dan saat itulah mereka baru sadar akibat perbuatan mereka.“Eehmmm... kau terlalu keras mendobraknya, Kak Belvan!” sebut Tama, menyelamatkan dirinya.“What? Namanya juga mendobrak, Tama. Tentu saja harus sekuat tenaga,” bela Belvan, tidak rela dikambinghitamkan oleh Tama.“Maaf, Kak Valerie. Karena tenaga otot-ototnya Kak Belvan, pintu
Otak Zane kembali harus melakukan rapat paripurna super kilat untuk mengambil keputusan terbaik dan tercepat dalam situasi ini. Sebab, kalau sampai Zane melakukan kesalahan lagi pada Valerie kali ini, Valerie akan membencinya seumur hidup.“Mengapa kau mengingkari pernikahan kita, Valerie?” tanya Zane lembut.Entah mengapa, di tengah keadaan yang absurd itu, Zane malah terpikir untuk menanyakan hal itu pada Valerie.Deg... Jantung Valerie berdebar saat Zane berbicara sedemikian lembut padanya.Belum sampai lima detik yang lalu mereka saling berteriak, menendang, dan menarik. Tapi mengapa tiba-tiba pria ini bisa...Valerie menolehkan wajahnya ke samping. Kini kakinya tidak lagi menendang Zane seperti tadi. Sikap Valerie pun seolah ikut melembut, selaras dengan perkataan Zane barusan.“Apakah kau membenci diriku, Valerie?” tanya Zane sekali lagi.Zane meraih tangan Valerie dan menautkan jari-jemarinya pada jari-jemari sang istri.“Apakah aku sedemikian buruknya di matamu, Valerie?” Zane