Baru saja Luna mengira dirinya telah masuk dalam dunia kalangan atas, disaat yang sama sebuah rasa aneh mengalir di seluruh tubuhnya.
“Bbrr! Bagaimana bisa Lunna menelan minuman tidak enak ini.” Seru Luna sambil memandangi gelas wine yang telah kosong.
Sementara itu, di dalam tubuh yang sama, di dunia yang hanya bisa mereka rasakan, ketegangan tengah memuncak. Sebuah ketegangan yang sebenarnya telah ada sejak Luna menyetujui ide gila Dian namun masih bisa ditahan oleh Lucy dan Lucky dari dalam sana. Ya sebuah ketegangan yang lebih ke amukan amarah yang dirasakan oleh Lunna setelah di swith on dadakan oleh tiga karakter lainnya.
Dan Boom!! Kinilah akhrinya ledakan amarah itu pun terjadi.
“Apa kau sudah gila, Luna?!” bentak Lunna, suaranya penuh amarah. Ia berusaha memberontak untuk dapat mengambil alih tubuh Luna hanya saja sayangnya saat ini kendali Lucy dan Lucky dengan sekuat tenaga menahannya.
“Kalian berdua cepat lepaskan aku! Aku harus segera membatalkan apa yang telah Luna setujui!!” Amuk Lunna pada Lucy dan Lucky. Tapi dua karakter tersebut sepertinya memang telah bersekongkol dengan Luna. Mereka sama sekali tidak menghiraukan teriakan Lunna.
“Lun!! Kau tidak tahu apa yang baru saja kau lakukan?!! Bagaimana bisa kau setuju untuk bertunangan dengan pria yang bahkan tidak kita kenal!” lanjut Lunna frustrasi.
Dua puluh tiga tahun berbagi satu tubuh, dan ini adalah pertama kalinya Lunna benar-benar marah pada Luna. Luna memang biasa bertingkah seenaknya, hanya saja tidak pernah se-ekstrim ini sebelumnya.
Namun Luna yang mendapati Lunna sedang uring-uringan di dalam malah bersikap santai. Dengan mudahnya, ia menjawab, “Lunna, don’t worry. Toh ini hanyalah sebuah pertunangan. Bukan pernikahan. Benar nggak guys??” Seru Luna seolah-olah sedang menanyakan pendapat karakter mereka yang lain.
Lucy, yang memang antusias sejak awal dengan misi ini sudah pasti berada di pihak Luna. “Luna benar Lunna. Santai bae. Dunia kita nggak akan berakhir hanya karena kita bertunangan dengan si Geovani-Geovani ini. Setelah misi Luna selesai, si Geovani kita tinggalkan. Mudah kan?” ujar Lucy.
Namun, Lunna sebagai karakter yang paling waras di antara karakter lainnya tentu saja tidak bisa menerima begitu saja. Karena dia sangat tahu pertunangan ini pastilah bukan pertunangan biasa. Ini pertunangan antara dua keluarga kaya. Pasti ada deal-dealan bisnis di dalamnya.
“Aku tetap tidak setuju! Kalian semua dengarkan kalau pertunangan ini mempertaruhkan banyak hal? Nama baik keluarga! Perusahaan keluarga kita?! Bagaimana mungkin kita memutuskan pertunangan begitu saja nanti??? Tidak! Aku tetap tidak setuju! Kalau memang keluarga ini harus hancur, aku tidak ingin itu hancur karena aku atau karena kita!” Tolak Lunna keras.
Luna yang merupakan biang kerok dari semua kegaduhan ini menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan nada sok menenangkan, “Lunn, coba dengarkan aku. Aku minta padamu untuk berikan aku waktu satu minggu saja untuk menyelesaikan misi ini. Setelah itu, aku yang akan cari cara supaya Giovani sendiri yang membatalkan pertunangan. Dengan begitu, keluarga yang sangat kau cintai ini akan baik-baik saja. Bagaimana??”
Kali ini nada suara Luna benar-benar penuh keyakinan, seakan semua yang ia katakan akan berjalan sesuai rencana.
Saat Lunna belum sempat merespons penawaran Luna, tiba-tiba suara Lucky menyela dengan nada mengeluh, “Sudahlah, Kak Lunna! Iyain aja! Tanganku udah pegal nih megangin tangan Kak Lunna!”
Mendengar itu, Lunna mengernyit curiga. “Lucky, kau dijanjikan apa oleh Luna sampai mau membelot padanya? Kau tidak pernah ikut campur urusan orang dewasa sebelumnya. Aku sungguh mencium bau-bau nepotisme di sini.” Tanyanya dengan nada sindiran yang tajam.
Karena sebenarnya aneh saja! Lucky, si bocah kecil dalam tubuh mereka yang biasanya tidak pernah ikut campur urusan para orang dewasa. Tapi kali ini malah benar-benar berpihak ke Luna. Pasti ada trik kotor di dalamnya.
Dengan mata berbinar polos, Lucky menjawab, “Kak Luna janji belikan aku es krim satu peti penuh. Dan katanya aku boleh mengambil alih tubuh ini satu jam setiap hari buat menikmati es krim itu.”
Suasana pun hening sesaat hingga Lunna menyadari sesuatu.
“Apa?!” Teriak Lunna membelalak.
Secepat kilat, ia menoleh ke arah Luna, yang saat itu tengah memasang ekspresi polos, seolah-olah tidak tahu menahu soal apa yang baru saja terjadi.
“Lunaaaa!!! Kau sadar nggak, kalau Lucky makan es krim sebanyak itu setiap hari, yang bakal sakit bukan cuma dia seorang, tapi kita semua! Apa kau lupa kalau kita ini berbagi satu tubuh?!” teriak Lunna murka.
Luna mengangkat bahu dengan santai. “Ya nggak apa-apa kali, Lunn. Kan cuma sekali-sekali.” Ucapnya enteng.
Lunna menyipitkan matanya. “Sekali-sekali katamu????! Lucky barusan bilang dia bakal makan es krimnya setiap hari!” teriak Lunna geram.
Luna tertawa kecil sebelum menjawab dengan nada menggoda, “Ya itu benar! Sekali-sekali! Sekali sehari. Jadi kalau seminggu, ya tujuh kali. Sebulan bisa dua puluh sembilan kali, bisa tiga puluh kali, atau tiga puluh satu kali. Kalau tahun kabisat, ya dua puluh delapan kali. Apa perlu aku hitungkan juga untuk satu tahun penuh?” terangnya enteng tapi sungguh terdengar menyebalkan.
Lunna bisa merasakan tekanan darahnya naik. Sumpah serapah yang biasanya disensor dalam tayangan anak-anak keluar dari mulutnya tanpa tertahan.
Untungnya, dengan sigap Luna langsung menutup telinga Lucky agar bocah kecil itu tidak perlu mendengar semua yang Lunna katakan.
Setelah mengembuskan napas panjang untuk menenangkan dirinya, Luna menatap Lunna dengan ekspresi polosnya yang menyebalkan. “Sudah selesai mengeluarkan kata-kata ajaibmu, Lunn?” tanyanya dengan nada ringan.
Lunna melotot. “Ini semua kau yang harus bereskan, Luna! Aku tidak mau ikut campur sedikit pun!” tegas Lunna.
Luna tersenyum lebar, seolah baru saja memenangkan negosiasi tingkat tinggi. Dengan santai, ia menjawab sambil menirukan suara narator dari pembukaan film SpongeBob, “Aye aye, Captain!”
Lucky tertawa kecil, sementara Lucy hanya bisa menghela napas panjang.
Lunna, masih dengan perasaan kesal, hanya bisa menutup mata dan berharap seminggu ini segera berlalu tanpa lebih banyak kekacauan dari Luna. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu satu hal yang pasti—bersama Luna, hidup mereka tidak akan pernah tenang.
"Malam ini aku sengaja mengumpulkan semua anggota keluarga Smith untuk mengumumkan sebuah berita gembira. Pernikahan Giovani dan Luna akan dipercepat. Aku tidak ingin menunggu lama untuk hal baik ini. Apalagi setelah penyerangan waktu itu. Aku sungguh tersadarkan jika aku bisa mati kapan saja. Dan aku tidak ingin mati sebelum melihat Giovani menikah." Terang Diana Smith pada semua anggota keluarga yang bisa hadir malam itu.Darren yang tidak dapat menyembunyikan air wajah kekesalannya, hanya dapat memalingkan wajah."Nek, apa tidak sebaiknya pernikahan ku dan Darren juga dipercepat?" Sela Mona di tengah kehiningan yang tercipta saat."Aku tidak masalah jika memang kau dan Darren siap untuk itu." jawab Diana- tak seperti biasanya. Biasanya dia selalu mencari alasan ini dan itu bila Mona telah membuka pembicaraan mengenai pernikahan dengan Darren. Namun kali ini izin itu keluar begitu saja."Darren, sayang! Kau dengar apa yang nenek katakan? Dia mengizinkan kita untuk mempercepat pernik
"Ini uangnya." Wanita misterius itu melemparkan tas yang berisi penuh dengan uang ke hadapan Rose. Rose mengambil tas tersebut dengan perasaan enggan. Tapi bila dia tidak mengambil tas yang berisi uang tersebut maka taruhannya adalah nyawanya."Aku tidak mau tahu Rose. Kau harus bisa mengetahui apa rencana yang akan dilakukan oleh Luna. Aku yakin dia pasti sedang memikirkan cara untuk menggagalkan pernikahannya dan Giovani." Sambung wanita misterius tersebut pada Rose."Aku akan mencari tahu rencana Luna, nyonya." jawab Rose, lalu memalingkan wajahnya. Dia sungguh merasa tercela karena telah mengkhianati Luna."Kau tidak perlu menampil ekspresi seperti itu di depanku Rose. Bukankah ini bukan pertama kalinya kau menghianati rekanmu? Kau masih ingat apa yang terjadi pada ayah Darren, bukan? Dia juga adalah rekanmu. Tapi demi uang kau mengkhianatinya. Jadi apa bedanya dengan kali ini? Jadi jangan pasang wajah sedih, dan bersalahmu di depan ku. Aku tidak suka itu." Tukas wanita misterius i
"Apa kau sudah tahu, pernikahan Pamanmu dan wanita itu dipercepat?" celoteh Mona saat berduaan dengan Darren di balkon kamar Darren. Darren yang kaget reflek menoleh pada Mona. Ketidakhadiran Luna di rumah sakit saja sudah membuat hati Darren derita tak terkatakan. Kini datang pula kabar mengejutkan yang membuatnya rasa akan jatuh koma sekali lagi. "Dari mana kau mendapatkan info ini? Kau jangan bicara sembarangan, Mona. Pernikahan bukanlah sebuah hal kecil yang bisa diputuskan dalam waktu singkat. Apalagi paman dan Luna baru saja saling mengenal. Mereka butuh waktu untuk bisa saling menerima dan jatuh cinta." Ucap Darren kemudian mengalihkan pandangannya pada hamparan bunga yang terbentang luas di bawah sana. Darren tidak kuasa menahan rasa sesak yang mencekik dirinya dari dalam saat membayangkan Luna dan Giovani menikah. Dia tidak yakin dia siap untuk menerima kenyataan itu.Ya!! Memang Darren salah! Dia salah karena ingin bermain-main dengan calon istri pamannya. Tapi semua itu Da
Tidak banyak yang terjadi malam itu. Giovani dan Lunna hanya mengobrol santai sambil terus mengamati perkembangan Darren.Sehari...Dua hari ...Tiga hari pun berlalu. Darren yang telah sadar pada hari kedua perawatannya di rumah sakit akhirnya diizinkan pulang.Saat itu, Darren sempat merasa heran karena tidak melihat Luna barang sehari pun sejak ia terjaga. Ingin rasanya ia bertanya kepada Giovani tentang keberadaan gadis itu. Apakah Luna memang tidak datang sama sekali untuk melihat keadaannya? Namun, tentu saja Darren tidak bisa menanyakan hal tersebut. Atas dasar apa ia harus menanyakan Luna pada Giovani pula?? Bukankah kalau ada orang yang harus dia tanya, itu adalah Mona?***Satu jam setelah Giovani dan Darren tiba di mansion keluarga Smith, mereka disambut oleh Diana Smith dan Mona yang sudah menunggu di depan pintu. Namun, sekali lagi, Darren tidak melihat Luna. Di mana gadis itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.Karena masih belum diperbolehkan dokter untuk banyak
Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya menyisakan dua orang di dalamnya—Giovani dan Lunna.Keheningan yang menggantung di udara membuat Lunna merasa tak nyaman. Ia sadar, tak ada orang lain di sana selain dirinya dan pria itu."Kalau kupikir-pikir, selama ini kita bahkan belum pernah bicara berdua saja, kan, Luna?" suara Giovani memecah kesunyian.Pria itu yang tadinya berdiri di dekat pintu perlahan melangkah mendekat ke arah Lunna yang duduk di sofa. Tatapannya penuh makna, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa."Maafkan aku," lanjut Giovani, suaranya terdengar tulus. "Pekerjaan di kantor sedang sangat banyak. Ditambah lagi, ada beberapa janji yang sudah terlanjur terjadwal dan tidak bisa aku batalkan. Semua itu membuatku tak punya cukup waktu untuk dihabiskan bersamamu. Padahal, seharusnya kita berdua lebih sering bersama. Tapi lihatlah, karena diriku, kau jadi merasa kesepian."Giovani akhirnya duduk di samping Lunna, namun bukannya menjaga jar
Bunyi monitor kecil berdenging pelan di dalam ruangan, menciptakan ritme monoton yang bercampur dengan suara tarikan napas lemah dari ventilator. Darren terbaring diam di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak selain naik-turun halus di bawah pengaruh alat bantu napas. Delapan jam operasi telah berlalu sejak peluru yang hampir menyentuh jantungnya dikeluarkan. Namun, kesadarannya masih belum kembali.Mona berdiri di samping Giovani, matanya menatap Darren yang terbaring tak berdaya di balik dinding kaca ICU. Suaranya berbisik ketika akhirnya ia bertanya, "Apa Darren akan sadar?"Giovani tidak mengalihkan tatapannya dari Darren. Rahangnya mengeras, matanya tajam seakan berusaha menembus tabir ketidakpastian yang menyelimuti sahabatnya. "Dia harus sadar," jawabnya lirih, tetapi penuh keyakinan.Mona melirik Giovani dari sudut matanya, mengamati ekspresi pria itu dengan hati-hati. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, berusaha menekan kekesalan y