"Valerie! Tunggu!" teriak Belvan begitu melihat gadis itu hampir mencapai pintu keluar.
Valerie menoleh, wajahnya bingung. "Tuan Belvan?" batinnya. Mengapa pria itu sampai mengejarnya dengan napas tersengal seperti itu? Mereka bahkan baru kenal.
"Valerie! Tunggu!" ulang Belvan dengan suara terengah-engah.
"Aku?" tanya Valerie sambil menunjuk dirinya sendiri dengan gestur heran.
"Ya kamu! Memangnya berapa banyak orang bernama Valerie di sini?" protes Belvan, kini sudah berhenti berlari dan berusaha mengatur napasnya.
Valerie menoleh ke resepsionis. "Itu Valerie." ujarnya menunjuk petugas yang sedang berbicara dengan tamu.
“Dia juga namanya valerie.” Tunjuk Valerie lagi pada seorang CS yang sedang membersihkan lantai.
Belvan menyipitkan mata, kesal. "Kau ini! Mana mungkin aku mengejar mereka! Memangnya aku kenal mereka?" sungutnya, merasa dipermainkan.
“Ya mana aku tahu tuan mengenal mereka atau tidak.” jawab Valerie dengan wajah polosnya.
“Bisa-bisanya kau mempermainkanku.” Sungutnya dengan nafas yang masih belum teratur sepenuhnya.
"Aku tidak sedang mempermainkanmu, Tuan Belvan. Aku bahkan tidak sedang dalam mood untuk bermain dengan siapa pun." balas Valeri
“Lagipula, orang yang baru saja dipecat... mana mungkin masih punya waktu buat bercanda.”Cetus Valerie dan wajahnya kembali suram.
Belvan terdiam. Wajah Valerie yang suram menampar rasa bersalah dalam dirinya. Ia tidak bermaksud menuduh—tapi memang, tidak masuk akal banyak orang bernama Valerie di kantor ini.Hanya saja rasa tidak masuk akal ada banyak sekali orang yang bernama Valerie di kantornya.
Tapi ya sudah! Lupakan saja itu. Hal yang terpenting kita ini adalah menyampaikan kabar yang dia bawa untuk Valerie.
“Bukan kah aku sudah meminta mu untuk menunggu di ruanganku? Kenapa kau malah pergi, Valerie!!" Belvan berusaha mengalihkan topik dari para Valerie yang tidak jelas.
""Bukankah Tuan Zane tadi sudah dengan jelas mengatakan kalau aku dipecat?" ucap Valerie lirih. "Apa lagi yang harus kutunggu? Aku tidak ingin membuatmu ikut terlibat... sampai dipecat karena mencoba membantuku."Ucap Valerie. Wajah nya seperti sedang berusaha menutupi rasa kecewa yang sedang dirasakannya.
Belvan menghela napas panjang. "Tetap saja. Kalau aku suruh tunggu, kau harus nurut, Valerie! Dan kau tidak perlu repot-repot mengkhawatirkanku. Ini perusahaan keluargaku. Zane nggak bisa seenaknya memecatku." ucapnya, setengah marah.
Keluarga? Tunggu! Valerie mencoba mengingat-ingat papan nama Belvan yang sempat terbaca olehnya tadi di dalam ruangan Belvan.
Belvan Hardata! Astaga! Ternyata dia masih bagian dari keluarga Hardata!
Valerie sungguh merasa bodoh mengasihani orang yang tidak layak untuk dikasihani. Karena apa? Karena satu-satunya orang yang harus dikasihani di sini adalah dirinya.
"Sekarang kau harus ikut sama aku." Pinta Belvan tiba-tiba tanpa penjelasan apapun.
"ikut kemana tuan?" Valerie masih belum paham arah pembicaraan Belvan.
"Ya ikut! Kau tidak dipecat Valerie" Sorak Belvan, nada suaranya cukup untuk membuat sorot mata Valerie kembali bercahaya.
"Benarkah, Tuan? Kau nggak bercanda?" seru Valerie, matanya mulai memantulkan harapan.
"Tentu saja tidak! Kau tidak dipecat!"
Hening sejenak. Lalu...
"Asalkan kau bersedia jadi sekretaris Zane."
Dan kalimat itu… terasa seperti palu godam, menghantam kepala Valerie tepat setelah jantungnya mulai merasa aman.
***
Valerie masih berdiri tegak di hadapan Belvan, menunggu penjelasan yang belum kunjung keluar.
Belvan menatap langsung ke matanya. “Aku baru saja bertemu Tuan Arka. Dia bersedia membantumu, supaya tidak dipecat Zane. Tapi ada satu syarat: kau harus bersedia menjadi sekretaris putranya. Bagaimana?”
Valerie mengernyit, wajahnya seolah tak percaya. “Tuan? Pertama, aku bahkan tidak tahu siapa Tuan Arka. Kedua, Anda lihat sendiri bagaimana Tuan Zane membenciku sampai ke tulang-tulangnya.” Seru Valerie penuh dengan penekanan intonasi agar Belvan sadar tidak mungkin rasanya Valerie menerima tawaran itu meski tawaran itu 1000 kali lebih baik dari promosi yang dia harapkan beberapa hari yang lalu.
“Baiklah, aku jelaskan.” ujarnya dengan tenang.
“Tuan Arka adalah ayah Zane. Dia pamanku, dan mantan presdir di perusahaan ini. Walaupun dia sudah tidak datang ke kantor dan menyerahkan semua urusan kantor pada Zane, perkataannya tetaplah hal yang harus Zane patuhi” Matanya tajam namun tulus.
“Kalau dia bilang kau tetap tinggal, bahkan Zane pun tidak bisa menentang hal tersebut.” Jelas Belvan dengan sangat hati-hati agar Valerie mengerti.
Valerie tetap diam, tapi ekspresinya mulai goyah.
“Dan aku tidak buta.” lanjut Belvan. “Aku lihat Zane memang tidak suka padamu. Sepertinya sejarah pertemuan kalian... diawali dengan hal yang tidak menyenangkan.” Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan lebih tegas: “Tapi apa pun itu—mau dia benci kamu sampai ke tulang-tulang, ke inang-nangboru, ke Eda sekalipun—dia tidak bisa menyakitimu. Ada aku. Dan ada ayahnya. Kau aman. Kau di bawah perlindungan kami.” Sambung Belvan berusaha meyakinkan Valerie.
Valerie terdiam. Ia berpikir. Satu... dua detik...
Lalu dengan suara berat, ia menjawab: “Tidak. Aku tidak bersedia. Lebih baik aku keluar dari tempat ini.”
Belvan nyaris mengatakan YES! Karena mengira Valerie akan termakan kata-katanya manisnya. Tapi sayangnya, hati Valerie sama kerasnya dengan kapala Zane! Sama- sama batu! Terpaksa kepala Belvan bekerja cepat untuk menemukan celah lainnya.
Dan karena tidak ada waktu lagi. Maka ia bermain kartu pamungkasnya.
“Lima kali lipat.” ujarnya. “Gaji sebagai sekretaris presdir. Kau akan dibayar lima kali dari rata-rata. Bagaimana? Kau masih mau menolak?”
Valerie kembali terdiam. Kali ini lebih lama. Wajahnya menunjukkan banyak hal yang sedang dia pertimbangkan: harga diri, beban hidup, luka, rasa ragu...dan ZANE! Ya, pria brengsek itu juga menjadi salah satu hal yang paling dia pertimbangkan.
Lalu akhirnya...
“Baiklah. Aku setuju.” ucapnya pelan.
Dan bagi Belvan, itu seperti pintu terakhir yang berhasil ia buka—walau ia tahu, jalan di baliknya... mungkin lebih rumit daripada yang bisa ia bayangkan. Tapi biarlah itu menjadi urusan ke 1000 setelah Valerie duduk sebagai sekretaris Zane.