Valerie duduk terpaku di sofa yang sama sejak tadi, matanya tak lepas menatap ke lantai atas—ke arah tempat Clare dibawa. Wajahnya cemas, tubuhnya nyaris tak bergerak. Hanya sorot matanya yang terus mengikuti bayangan bayangan tak terlihat.Namun saat sosok Zane muncul dari balik pintu kamar itu, Valerie spontan mengalihkan pandangan. Matanya menunduk, dada menegang, dan jantungnya menghentak penuh waspada.“Tuhan… jangan biarkan dia mendekati aku,” bisiknya lirih dalam hati. Doa yang tak diucapkan dengan suara, tapi dengan seluruh ketakutan yang mengendap.Dan entah kuasa mana yang bekerja, langkah Zane justru berlalu begitu saja. Tak menoleh. Tak menyapa. Bahkan seolah tak menyadari keberadaan Valerie sama sekali.“Syukur…” gumam Valerie dengan napas lega. Seolah badai besar memilih untuk melewati dirinya kali ini.Tak lama berselang, langkah berat lainnya menyusul. “Valerie?” panggil Arka, suaranya serak dan lelah. Ia baru saja turun, menyusul putranya.“Ya, Paman?” jawab Valerie c
“Bu…” panggil Zane lirih sambil menggenggam tangan Clare yang terbaring tak sadarkan diri. Jemarinya membungkus tangan ibunya erat—seolah jika ia melepas genggaman itu, maka dunia akan runtuh bersamaan.Matanya berkaca, napasnya pendek. Melihat sang ibu terbaring seperti itu adalah mimpi terburuknya. Tapi seperti biasa, Zane tidak pernah menyalahkan diri sendiri. Pikirannya langsung mencari kambing hitam untuk musibah ini.“Ini semua karena wanita murahan itu! Kalau dia tidak bekerja di perusahaan kita dan mencoba menjebak Belvan, semuanya nggak akan begini.” Umpatnya pelan namun penuh dendam.Arka yang berdiri tak jauh dari nya langsung menoleh. Matanya menyorot tajam, seperti pistol yang baru dicock. “Jangan kau pancing emosiku, Zane.” Suaranya rendah, tapi mengandung bara, membuat Zane menunduk. Bukan karena takut. Tapi karena tahu—ibunya sedang terbaring lemah. Dan kalau dia membalas kalimat Arka, bisa saja Clare keadaan Clare semakin memburuk.Melihat Zane yang tidak merespon ap
“Zane!! Cepat katakan sesuatu! Kau jangan diam saja!” Clare menjerit, panik. Tubuhnya menegangkan, matanya bergeser antara suaminya dan putra yang kini berdiri bak patung batu.“Jangan sampai ada pertumpahan darah antara anak dan ayah,” desisnya, suara bergetar menahan ketakutan.Zane menyeka darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Dengan wajah sinis dan tatapan kosong, ia berkata pelan tapi tegas: “Ck… Aku tidak akan membela diri.” Lalu satu kalimat berikutnya mengubah napas seisi ruangan.“Tapi aku juga tidak akan minta maaf pada wanita murahan ini.”“Zane!!!!” Aum Arka pecah. Nafasnya mendesis seperti singa tertahan. Ia tak percaya telinganya mendengar kalimat itu dari putra yang selama ini ia didik dengan tangan sendiri.Sudah sejelas itu kesalahan Zane. Sudah sejelas itu penderitaan Valerie. Tapi anaknya… tetap berdiri di atas ego dan pembenaran yang bejat.Zane menoleh ke arah Valerie, lalu bicara dengan nada lantang: “Wanita yang ayah dan ibu bela itu… tidak lebih dari
Zane menuruni anak tangga dengan langkah santai. Matanya menyapu ruangan bawah yang mulai terang, lalu berhenti pada sosok perempuan yang duduk bersama ibunya. Hanya bagian kepala yang terlihat, tapi ada sesuatu dalam siluet itu yang membuat alis Zane berkerut.“Siapa itu yang duduk bersama Ibu?” gumamnya, setengah penasaran.Clare yang menyadari kehadiran putranya langsung berseru. “Zane! Kemari, Sayang.” Wajahnya cerah, penuh kehangatan. Ia belum menyadari badai yang tengah menunggu di bawah permukaan.Zane turun dengan langkah ringan. Senyumnya terbit, santai, belum menyadari bahwa detik-detik kejatuhannya sudah dimulai.“Kenapa Ibu tidak mengabari aku kalau kedatangan Ayah dan Ibu dipercepat? Kalau tahu, aku bisa ajak Anita menginap. Dia pengen banget ketemu Ibu.”Clare menatap putranya dengan tatapan sayang tapi lembut mengoreksi. “Memangnya kapan Ibu bilang Ibu tertarik bertemu dengan wanita itu?” Nada bicara Clare mulai berubah. “Zane, sadarlah. Wanita itu bukan yang tepat untuk
“Ayah, aku bisa jelaskan semuanya,” ucap Zane buru-buru. Suara itu terdengar tenang—atau setidaknya berusaha terdengar begitu. “Video yang ayah lihat itu hanya sandiwara. Prank ayah! Aku hanya ingin mengerjainya."Arka tak langsung bicara. Ia memandangi putranya yang kini duduk tak tenang di kursi kerja, ekspresinya mencoba menyusun kebohongan demi kebohongan yang terdengar logis.Zane tahu, menyelamatkan dirinya dari badai yang bernama Arka Hardata bukan perkara mudah. Tapi kalau ada waktu untuk berbohong demi menunda kematian, sekaranglah saatnya.“Anak ini… kalau bukan anakku, mungkin udah aku kubur hidup-hidup,” gumam Arka dalam hati.Di sebelahnya, Arka memijit pangkal batang hidungnya. Wajah itu tidak lagi tegang, tapi dari alis yang menukik tajam, Zane tahu bahwa ayahnya belum menerima sepenuhnya jawaban yang dia berikan..“Ayah, sungguh aku nggak bohong. Dan ayah tidak perlu ambil hati dengan apa yang terlihat di video itu! Valerie itu mantan wanita club. Dia sudah biasa seper
“Zane Hardata?” Clare sontak menatap Valerie dengan raut wajah yang mencerminkan keterkejutan luar biasa.“Kenapa nama itu... mirip dengan nama lengkap putra kita, Sayang?” bisik Clare pada Arka.Arka yang duduk di sebelahnya langsung mengerutkan dahi. “Aku juga merasa begitu.” Nada bicaranya sudah berubah. Lebih dalam, lebih berat. Dia semakin yakin kalau apa yang terlintas di otaknya barusan benar.Sebagai ayah dari Zane, Arka tahu betul kecenderungan dan kebiasaan putranya di luar sana—terutama sejak perceraiannya dengan Natasya.Ia memang tak lagi memarahi Zane. Bukan karena tidak peduli, tapi karena sudah kehabisan tenaga.Harapan terakhir Arka selama ini hanyalah satu: suatu hari akan ada wanita yang cukup kuat dan tulus untuk menyumbat lubang hitam di hati Zane. Seperti Clare yang berhasil mengubah hidup Arka sendiri.Sementara itu, Clare masih mencoba menyederhanakan semuanya. “Padahal aku udah susah payah milih nama itu dari belasan Aplikasi AI terbaik Eh... tahu-tahu ada penj