Beberapa hari setelah pemberitaan identitas Dewi ke media massa, publik kembali mengangkat hubungannya dengan Denver. Bahkan, saat ini mereka juga menyayangkan sikap Carissa di masa lalu yang menyia-nyiakan Denver, sekaligus mengagumi Dewi sebagai penggantinya yang jauh lebih baik.Saat ini Carissa menjenguk Bima di rumah tahanan. Wanita itu tampak mendelik pada adik sepupunya yang kini makin kurus dan tidak terurus.“Ada apa ke sini, hah? Mau menertawai nasibku?” sergah Bima sebelum duduk.Carissa melipat tangan depan dada dan berdecak, “Kenapa kamu bisa melewati hal penting seperti itu? Kalau saja tahu dia itu anaknya Pak Danis pasti kehidupan kita enggak begini, huh!”Bima membuang ludah sembarangan dan matanya menatap nyalang. Rahang dengan janggut lebat itu tampak berkedut. “Aku juga tidak tahu Carissa! Seandainya tahu, mana mungkin kuceraikan dia!”“Bima, kamu itu diceraikan, paham!” ketus Carissa.“Dan kamu juga ditendang dari keluarga Bradley. Sudah bagus punya suami muda dan b
Kediaman Bradley.Kursi roda Dwyne meluncur pelan memasuki ruang tamu besar, bergaya Eropa. Di sana, seorang perempuan cantik duduk dengan anggun, menyesap teh sambil bercengkerama dengan Oma Nayla.Tatapan Dwyne melembut, penuh kasih, seperti seorang ibu yang melihat anaknya.Kursi roda itu makin mendekat, didorong oleh seorang perawat.“Apa kabar, Tante?” Dania buru-buru menghampiri Dwyne, mencium tangan wanita itu dengan hormat.Dwyne mengangguk pelan, bibirnya bergetar saat berusaha menjawab, “B-a-i-k.”Dania tersenyum, mengambil alih kursi roda Dwyne, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Papa bilang ini untuk Tante, supaya cepat sembuh.” Dia menyerahkan sebotol multivitamin.Sedangkan Dwyne hanya mengangguk lagi, berbeda dengan mata Dania bergerak gelisah, seperti mencari sesuatu.Tentunya hal gerak-gerik Dania tidak luput dari Oma Nayla yang duduk di seberangnya , memperhatikan denga
Saat Denver menerima telepon, pria itu segera menjauh dari Dewi. Gerak-geriknya membuat gadis itu bertanya-tanya, tetapi dia tidak berani menguping. Itu urusan pribadi Denver, bukan haknya untuk ikut campur. Wajah pria itu yang semula santai kini berubah tegang. Rahang mengeras dan jemarinya mencengkeram ponsel lebih erat. Otot-otot di leher Denver menegang, menandakan sesuatu yang serius sedang terjadi. “Apa Nyonya Dwyne sudah bisa bicara lagi?” gumam Dewi, memperhatikan ekspresi Denver yang penuh kecemasan. “Kenapa kamu pakai ponsel Mama? Sekarang di mana Mamaku?” Suara Denver terdengar lebih rendah, seperti geraman. Dia berbalik menatap Dewi, matanya tajam. “Ponselku ketinggalan di rumah. Sekarang Aunty syok berat, Kak. Mendingan Kakak pulang sekarang. Kita harus bahas siapa pengganti direktur!” Valerie di seberang sana berbicara dengan nada panik. Dewi masih berusaha mendengar, dan perasaan berdebarnya makin menjadi. Ada sesuatu yang terjadi di rumah sakit, dan itu bukan
Tatapan sinis Paman Carissa menusuk tajam ke arah Denver, seakan ingin mencabiknya hidup-hidup. Senyum kecil sosok itu penuh ejekan ketika berkata, "Bukankah tidak harus seorang dokter untuk menjadi direktur?"Denver mengepalkan tangan di bawah meja. Sudut bibirnya berkedut samar, tetapi dia tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Mereka ingin merebut kendali rumah sakit ini—itu sudah jelas.“Anda benar.” Denver akhirnya membuka suara, nada bicaranya tetap terkendali. “Siapa pun bisa menjadi direktur, selama dia memiliki kompetensi dan kepedulian terhadap pasien, bukan hanya keuntungan.”Niang yang sejak tadi diam, menyelipkan senyum tipis. Meskipun sulit bicara, dia memaksakan diri. “Kalau begitu, biar putraku saja yang memimpin rumah sakit ini.”Denver menatapnya tajam. “Aku tidak keberatan, asalkan beliau memenuhi syarat sebagai direktur yang tidak hanya berfokus pada keuntungan semata,” tegasnya, menyelipkan tantangan dalam suaranya.Para anggota dewan mulai berbisik-bisik. Paman
Semenjak menjabat kembali sebagai direktur rumah sakit, kesibukan Denver bertambah berkali-kali lipat. Memang jadwal praktiknya berkurang, tetapi dia harus mengurusi manajemen dan melakukan manuver agar keutuhan rumah sakit jauh dari tangan jahil.Hal itu juga mengurangi komunikasi Denver dengan Dewi.Saat ini, Dewi sedang duduk di dipan di taman, menggendong Dirga yang belakangan ini makin aktif. Di sampingnya, Astuti sedang sibuk membuat rujak, sesekali melirik Dewi yang tampak murung."Ibu perhatiin kamu kok lesu banget, Wi? Kenapa? Kangen Pak Dokter?" goda Astuti sambil mengulek bumbu.Dewi mengangguk pelan, lalu mengembuskan napas panjang. "Ibu bisa saja. Tapi ... Dokter Denver memang sibuk. Apa mungkin pasiennya tambah banyak, ya?""Biar aja, Wi. Tugas laki-laki ‘kan kerja. Demi masa depan si kecil," ujar Astuti, melirik Dirga yang asyik mengemut jari-jarinya.Dewi hanya tersenyum tipis, matanya menerawang. Teringat pada komunikasi terakhir mereka tiga hari lalu, sekarang dia me
Senja ini, kediaman Danis berubah menjadi lautan bunga. Beraneka warna menghiasi gerbang, taman, hingga area utama yang telah disiapkan untuk prosesi sakral. Tiga hari pascapertunangan, keluarga memutuskan mempercepat pernikahan keduanya. Pemberkasan dilakukan dengan tergesa-gesa, nyaris seperti pemaksaan. Di tengah suasana penuh haru dan ketegangan, seorang pria tampan dalam balutan jas putih duduk di tempatnya, ditemani dua saksi di sebelahnya. Sejak tadi, dia tampak gelisah, terus menggoyangkan kakinya seperti seseorang yang kebelet ke toilet. "Tenanglah, Denver! Kamu ini bukan perjaka lagi, kenapa harus tegang?" ucap seorang pria yang duduk tidak jauh darinya. Denver menghela napas panjang dan menoleh. "Uncle Dariel, ini memang bukan pertama kalinya aku menikah. Tapi ini pertama dan terakhir kalinya aku mengikat janji suci dengan wanita yang kucintai." Tiba-tiba, tepukan keras mendarat di punggungnya. Denver menoleh tajam, mengira itu ulah Valerie, tapi ternyata ...m "Aunty F
Ini memang bukan pernikahan pertama bagi keduanya. Namun, ini pertama kalinya mereka merasakan kehangatan dan sesuatu yang mendebarkan saat menghadapi pasangan.Saat ini keduanya, telah memasuki kamar yang terasa seperti surga tersembunyi. Lampu-lampu kristal redup berpendar lembut. Aroma lilin aroma terapi bercampur dengan wangi mawar putih yang tersusun indah di sudut ruangan, menambah nuansa intim yang mendebarkan.Dewi terpaku pada keindahan ruangan yang begitu sempurna, seolah dirancang khusus untuk malam istimewa ini. Dadanya berdebar, melihat taburan kelopak mawar merah membentuk pola hati di atas seprai satin putih."Ini cantik," lirih Dewi, matanya mengembun, menatap sekeliling dengan perasaan haru. Tangannya menyentuh lembut tirai tipis, lalu beralih ke pintu kaca besa besar yang menyuguhkan pemandangan malam yang begitu romantis.Di luar, kolam renang pribadi membiaskan pantulan cahaya bulan yang menggantung di langit."Kamu lebih cantik dibanding semua ini, Sayang," bisik
"Dewi?" panggil Denver lagi karena tidak ada respons dari wanita itu.Punggung Dewi menegang seketika, bukan karena kenikmatan dunia, melainkan rasa takut yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Tangan wanita itu gemetar, napasnya memburu, dan benda kecil putih pun terjatuh dari genggamannya.Denver menyipitkan mata, iris karamelnya mengunci pergerakan Dewi yang tampak panik. Dengan langkah tegap, dia turun dari ranjang dan meraih benda itu."Kamu minum pil KB?" tanya Denver, nada suaranya rendah, tetapi menusuk hingga ke relung dada Dewi.Jantung Dewi berdegup lebih kencang. Dia menelan ludah dengan susah payah, matanya menghindari tatapan suami yang kini mengintimidasi."Jawab aku!" desak Denver lebih dalam.Dewi mundur selangkah, tangannya saling meremas. Bibir mungil itu bergerak, tetapi tak satu pun kata keluar.Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya dia berbisik, "A—ku … belum siap untuk hamil lagi. Dirga … masih terlalu kecil untuk punya adik."Denver tidak langsung menanggapi.
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut.“Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh.“Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu.Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?”Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.”Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan di b
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?”Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka.“Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.”Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung.Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash selalu se
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.