"Kenapa kamu di sini, Darius?" ulang Denver.Meskipun suara Dokter tampan itu terdengar tenang, tetapi sorot matanya tajam. Darius menoleh pelan, wajahnya datar dan tida tergesa menjawab."Minta rekam medis Maharani," ujar Darius singkat."Untuk apa?" tanya Denver lagi, langkahnya makin mendekat.Darius diam. Hanya matanya yang berbicara, ada sedikit rasa bersalah yang coba disembunyikan.Tanpa bicara lagi, Denver menggerakkan dagu, memberi isyarat agar Darius mengikutinya keluar dari ruang arsip. Mereka berjalan tanpa suara, hanya derap langkah dan ketegangan yang mengiringi sampai ke rooftop rumah sakit.Angin sore menyapu wajah tampan mereka, tetapi tidak mampu mendinginkan atmosfer di antara dua pria itu."Jelaskan padaku semua," ujar Denver santai, dengan mata mengamati Darius.Darius menarik napas, bersandar sebentar di pagar pembatas. "Aku butuh data Maharani buat urusan pribadi. Itu saja."Denver tertawa pendek. "Urusan pribadi? Maksudnya … kamu sudah tidur sama dia, ya?"Waja
“Apa? Menikah?”Maharani berdiri terpaku di tengah ruangan, jantungnya berdentum kencang. Tatapan matanya masih tertuju pada Darius yang kini berdiri tepat di depannya, senyum pria itu tampak tenang dan tatapannya serius."Rani, ayo kita menikah," ulang pria itu, kali ini sambil mendekat dan meraih pinggangnya dengan lembut.Maharani tersenyum miris dan lidahnya kelu. Semua ini terlalu cepat dan serba mendadak. Rasanya seperti mimpi. Dia menunduk pelan, lalu hendak menggigit bibir bawahnya untuk memastikan semua ini nyata.Akan tetapi, Darius lebih cepat. Dia mengecup bibir wanita itu singkat dengan sapuan lidah yang hangat dan tegas."Setelah kamu lahiran nanti, aku akan nikahin kamu. Aku serius."Ucapan Darius itu sangat sulit ditanggapi, dan ibu hamil ini hanya bisa terdiam. Ada rasa seperti ingin menangis, dan jelas bahagia. Sebab terdapat sesuatu yang menyesakkan di dadanya.Maharani menatap Darius dalam-dalam, lalu memberanikan diri bertanya, "Terus ... Dokter Dania bagaimana?"
“Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Dewi memapah tubuh Maharani menuju mobilnya."Aku … tidak mau ke RS JB, Dewi ... tolong, jangan ke sana." Suara Maharani bergetar, tangan lemah itu mencengkeram pergelangan Dewi erat-erat. Wajah ibu hamil pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya.Dewi, yang duduk di jok kemudi dengan tubuh sedikit menunduk, mencoba menenangkan, "Rani, kamu butuh pertolongan medis. Di JB peralatannya lengkap. Aku tidak bisa ambil risiko.""Kalau Dokter Darius atau Dania lihat aku di sana, bagaimana?" lirih Maharani, matanya berkaca-kaca. "Aku takut, Wi."Dewi menggigit bibirnya. Dia menoleh ke arah jalan, lalu kembali ke Maharani. "Aku bakal pastiin tidak ada yang tahu kamu di sana. Aku bakal lindungin kamu, ya?"Dengan ragu, Maharani mengangguk, mencoba percaya sahabatanya.Mobil langsung melaju lebih cepat menuju Rumah Sakit JB. Di tengah perjalanan, Dewi menghubungi Dokter Evi. Suaranya terdengar tegang saat menelepon.“Halo, dok? Ini Dewi. Pasien atas nam
“Bagaimana cara kamu lolos dari Dirga? Dia tidak minta hal aneh bukan?” tanya Denver yang fokus mengemudi Audi hitamnya. Dewi menggeleng dan menatap sang suami dengan sorot menggoda. Hari ini dia libur, tetapi ke rumah sakit demi Maharani. “Dia minta es krim sebesar Kiki.” Dewi terkekeh mengingat betapa manisnya wajah Dirgantara pagi ini. Anak itu baru bangun tidur, langsung meraih landak putih peliharaannya. Melihat Dewi dan Denver yang bersiap, Dirga membawa hewan itu dan meminta dibelikan es krim. “Ah, dia memang lucu seperti aku.” Tawa Denver renyah, lalu mengusap kepala Dewi. “Kamu tidak apa masuk sendirian ke dalam? Aku ada meeting di J&B Pharmacy,” ucap Denver dengan nada agak khawatir “Keseharianku memang di rumah sakit. Kenapa tiba-tiba tanya begitu, kamu aneh dokterku.” Dewi tersenyum manis, saat mobil berhenti di lobi dia mengecup bibir Denver, lantas bergegas turun. Setelah Audi hitam Denver menjauh, Dewi lebih dulu membeli bubur ayam di belakang rumah sakit. Dia me
Suara deru ambulans mengiris udara malam saat Darius duduk di kursi belakang sembari menggenggam tangan Maharani yang dingin. Tubuh wanita itu lemas, wajahnya pucat, dan bibir membiru.Ibu hamil itu bahkan tidak bereaksi ketika dipanggil. Darius menunduk dengan napasnya yang berat."Tolong lebih cepat!" titah Darius ke sopir ambulans. Suaranya terdengar pecah."Sudah maksimal, Pak. 15 menit lagi sampai Rumah Sakit JB," jawab sopir itu.Darius menoleh lagi ke arah Maharani. Monitor di sebelah menunjukkan detak jantung yang lambat. Oksigen dialirkan melalui selang kecil di hidung wanita itu. Darius menggertakkan gigi. Perasaan sebak menggelayut dalam dada.Sesampainya di rumah sakit, beberapa tenaga medis langsung menyambut. "Obat tidur dosis tinggi, lebih dari sepuluh jam. Usia kandungan 28 minggu. Jantung janin sempat melemah," jelas Darius dengan cepat."Bawa ke ruang operasi sekarang!" teriak salah satu perawat senior penanggung jawab IGD. “Hubungi dokter anestesi!”Darius ikut men
Darius memutar kunci pintu rumah dengan pelan. Hari itu, tubuhnya lelah luar biasa, pikirannya masih dipenuhi bayangan Maharani yang terbaring lemah di ruang ICU, dan bayi mungil mereka yang belum sepenuhnya stabil. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu saat melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Dania sedang tertawa bersama beberapa temannya. Musik keras berdentum dari speaker, balon-balon berwarna pastel tergantung di langit-langit. Bunga aneka warna berjajar menghiasi meja. Aroma wine dan parfum memenuhi udara.Di dinding ada tulisan besar :Baby ShowerHal yang membuat Darius nyaris tak percaya adalah Dania, dengan perut buncit palsu yang jelas terlihat dari lekuk dress ketatnya."Apa ini?!" Darius bertanya tajam.Tawa langsung menguap. Semua mata menoleh pada pria itu. Dania membalikkan badan dengan wajah yang awalnya terkejut, lalu berubah menjadi kesal.Tentu demi memperlihatkan kehidupannya yang bahagia, dia segera menutup ekspresinya itu denngan senyum b
Darius melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju Rumah Sakit JB. Dia melangkah mantap melewati setiap lantainya.Setelah Malam kemarin terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Kini, dia mendapat kabar membahagiakan yang membawanya ke ruang ICU, tempat Maharani terbaring lemah pascaoperasi darurat.Kondisi wanita itu sempat menurun drastis tadi pagi, membuat para dokter, terutama Denver harus bekerja ekstra demi menstabilkan keadaannya.“Rani,” gumam Darius dengan bibir agak gemetar dan tangan mengeratkan sesuatu dalam jasnya.Dia mendorong pintu perlahan, dan suara monitor detak jantung menyambutnya. Di ranjang putih, tubuh Maharani tampak begitu ringkih. Mata wanita itu terbuka, menatap kosong ke langit-langit ruangan tanpa ekspresi atau senyum. Rambut panjangnya sedikit berantakan, pipinya pucat, dan selang oksigen masih terpasang di hidungnya."Aku datang, Rani."Darius mendekat dan duduk di tepi ranjang. Tangannya merayap pelan menggenggam tangan wanita itu yang terasa ding
Darius berdiri mematung. Detak jantungnya cepat. Dia bagai menanti sesuatu, dan pukulan itu ... tidak pernah datang.Sekarang yang dia rasakan hanyalah tepukan ringan di bahunya. Bukan keras, tetapi setidaknya cukup untuk membuatnya membuka mata dan menatap sosok di depannya. Denver menatap Darius tanpa amarah, hanya ada kelelahan di sana."Kenapa kamu tidak memukul aku?" Darius bertanya dengan suara rendah, masih setengah tak percaya.Denver menghela napas pelans. "Memukulmu bukan menyelesaikan masalah. Aku tidak mau Dewi terluka lagi. Dia sudah cukup menderita karena semua ini."Darius menatap teman sekaligus bosnya itu dalam-dalam. "Mungkin kamu benar. Aku juga sudah meerasa dari awal, seharusnya aku tidak menikah sama Dania. Tapi aku juga tidak menyesal, karena dari semua ini ... aku justru bertemu Maharani."Wajah tampan Denver melunak. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Aura ketegangan yang sempat menyelimuti kini menghilang sepenuhnya. "Itu artinya, mulai sekarang aku tida
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.