“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.
Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver. Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak. Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi. “Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria itu dengan suara lembut yang menggetarkan jiwa. Tidak ada sepatah kata pun dari bibir tipis, Dewi mengangguk patuh duduk di sofa besar. Kedua tangannya saling menyatu dan meremas, bahkan telapaknya sudah banjir keringat. Andai saja boleh memilih, tak mungkin dia mengambil jalan pintas ini. “Tunggu di sini, aku mandi dulu,” bisik pria itu membuat dada Dewi berdentam kuat. Seketika gadis itu berpikir bukankah demi kenyamanan melakukan hubungan, seseorang harus membersihkan tubuh terlebih dahulu? Sama seperti dirinya sudah mandi dan wangi Setelah 15 menit, Denver kembali menghampiri Dewi. Kali ini indera penciuman gadis itu menangkap aroma segar dari sabun mandi yang makin lama terus menyeruak ke dalam rongga hidung. “Berbaringlah,” pinta Denver membuat Dewi membeliak sempurna. Dia tidak langsung mematuhi perintah pria itu, tetapi menengok kiri dan kanan. Ah, ini sungguh gila, yang benar saja melakukan hubungan suami istri di ruang keluarga, di atas sofa, benar-benar jauh dari dugaan. Dewi menggeleng, membayangkan tidur bersama Denver di dalam kamar saja malu, apalagi di sini ada asisten rumah tangga yang masih terdengar suaranya. Dia menggeser posisi duduk menjauhi pria itu, tetapi Denver memaksa Dewi merebahkan tubuh. Kelopak mata sipit gadis itu tertutup rapat dan kedua tangan Dewi terkepal di atas dada. Namun, hingga beberapa detik tidak ada sentuhan apa pun sehingga dia berani mengintip. Ternyata …. “Apa kepalamu masih pusing?” tanya Denver sambil meletakkan stetoskop di atas rongga dada gadis itu. Kemudian dia memeriksa perut Dewi, lalu kembali bertanya, “Sekarang tidak mual lagi ‘kan?” “Tidak, Dokter,” jawab Dewi lugas. “Baiklah, kamu hanya perlu istirahat selama beberapa hari sebelum kita mulai.” Ucapan Denver ini membuat Dewi melongo. Pria itu menyadari perubahan raut wajah gadis ayu di hadapannya, dia pun bertutur halus, “Aku tidak mungkin melakukannya sekarang karena tubuhmu sedang lemah pascapendarahan ringan.” Dewi mengangguk paham. Seketika ketegangan sirna dari hati, dia menjadi tenang karena pria yang menyewa rahimnya ini tetap mempertimbangkan kesehatan. Sayang, malam ini tidak Dewi lewati dengan mudah sebab Bima selalu menghubungi dan mengirimkan pesan padanya. Pria itu mempertanyakan kapan proses bayi tabung di mulai, lantaran tidak sabar dibanjiri uang. Dewi tidak membalas atau mengatakan apa pun terkait batalnya proses bayi tabung yang diganti dengan kehamilan alami. Dia khawatir Bima berbuat sesuatu sehingga menimbulkan kerugian. Semenjak pindah ke apartemen, Dewi bisa bernapas lega karena tidak menerima perlakuan kasar lagi dari suaminya. Dia benar-benar dilindungi di hunian ini. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Denver masih mengizinkan gadis itu bekerja, tetapi merubah jadwal shift menjadi pagi, sehingga Dewi tidak perlu kelelahan dan begadang. Sudah beberapa hari ini Dewi tidak bertemu atau melihat Denver. Menurut kabar orang-orang, direktur sedang sibuk menangani masalah serius. Dia juga enggan bertanya lebih lanjut. Toh sadar diri bukan siapa-siapa selain perempuan sewaan untuk melahirkan keturunan dokter itu. Pukul tiga sore, Dewi pulang kerja. Dia terkesiap ketika sepasang tangan menarik kuat tubuhnya dan sengaja membenturkan ke dinding. Melalui deru napas kasar serta bau pekat asap rokok, Dewi tahu siapa sosok yang memperlakukannya secara kasar. “Beraninya kamu mengabaikan aku! Mentang-mentang sudah dibeli orang kaya jadi sombong, ingatlah statusmu masih istriku!” desis pria itu sambil menghunuskan tatapan tajam. “Aku ingat, Mas. Enggak akan lupa, kalau suamiku yang menjual istrinya sendiri,” balas Dewi dengan sorot mata diselimuti luka. “Kapan proses bayi tabungnya? Jangan coba-coba membatalkan perjanjian ini, Dewi. Dan katakan pada si tua bangka gendut itu untuk memberiku uang tambahan karena kamu tinggal bersamanya!” sentak Bima. Akan tetapi, Dewi menggeleng. Mana berani dia meminta uang pada Denver sedangkan kewajibannya saja belum dilaksanakan. “Lancang sekali kamu menolak perintahku! Oh, jangan-jangan pria itu secara diam-diam memberimu uang, ya?” desak Bima. Sungguh telinga Dewi sudah lelah mendengar kata-kata kasar dari sang suami. Mengandalkan sisa tenaga yang ada, dia mendorong kuat dada Bima sehingga pria itu mundur beberapa langkah. Marah karena mendapat penolakan, membuat Bima naik pitam dan melayangkan tangan di udara. Detik itu juga Dewi melindungi wajahnya menggunakan kedua tangan yang disilangkan. Tiba-tiba suara lantang merasuk ke gendang telinga. Dalam sekejap Dewi merasakan sosok jangkung melindunginya, dan aroma parfum maskulin yang dia hapal menguar dari tubuh orang itu. “Hentikan!” hardik suara serak yang sangat dikenali. Pria itu mencerca, “Seperti inikah caramu memperlakukan perempuan?” Bima menjadi bungkam. Namun, beberapa saat kemudian berdecih sinis, “Dia istriku, aku berhak melakukan apa pun!” Seketika Denver mengepalkan tangan dan tubuhnya bergetar hebat dengan embusan napas kasar keluar melalui celah bibir. Ya, Dewi dapat merasakannya karena berada dalam dekapan pria itu. Denver berkata dengan tegas, “Apa kamu tidak tahu siapa aku?”Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t